Jika John Wick Chapter 3 masih jadi bahan perbincangan banyak orang terkait deretan aksi memukaunya di layar lebar, maka di ranah platform streaming pun saat ini muncul 2 film laga yang masuk dalam tab "trending" di platform Netflix. Maka tulisan ini juga menjadi yang pertama kalinya bagi saya mengulas 2 film sekaligus yang memang secara materi hampir sama meskipun jelas berbeda. Jadi kalau tulisannya panjang, mohon maaf ya, heuheu..
Ya, film Furie asal Vietnam dan Maria asal Filipina saat ini menjadi 2 film Asia Tenggara populer dimana menghadirkan deretan aksi yang tak kalah memukau dengan film laga Hollywood lainnya. Baik Furie maupun Maria, memiliki pemeran utama seorang wanita yang dituntut untuk melakukan banyak adegan perkelahian yang cepat, brutal dan mendebarkan.
Dirilis di bioskop masing-masing negara sejak awal tahun ini, Netflix pun kemudian mengakuisisinya untuk didistribusikan ke berbagai negara di luar Filipina dan Vietnam. Netflix Indonesia pun kemudian mendapatkan jatah tayang kedua film ini.
Furie sendiri dibintangi oleh aktris cantik asal Vietnam, Veronica Ngo, yang selama ini juga sudah cukup dikenal di industri film Hollywood. Tercatat ada 3 film Hollywood yang turut dibintanginya yaitu Star Wars Episode VIII: The Last Jedi, Bright, serta Crouching Tiger,Hidden Dragon: Sword of Destiny. Dua film terakhir merupakan film yang eksklusif ditayangkan di platform Netflix.
Tak hanya itu, Veronica Ngo juga dikenal sebagai salah satu aktris laga berbakat Vietnam dimana film lokal yang turut dibintanginya semisal The Rebel(2007) dan Clash(2009), mendapatkan respon positif di Vietnam. Maka tak heran, akting laganya di film Furie kali ini nampak jauh lebih matang dan dewasa.
Berbeda dengan Veronica Ngo, Cristine Reyes yang menjadi karakter utama di film Maria justru berangkat dari film non laga. Cristine Reyes lebih dulu dikenal sebagai aktris spesialis film drama romantis Filipina.
Maka ketika dirinya diberikan tanggung jawab besar untuk menjadi karakter wanita yang lebih gahar, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya. Publik Filipina pun kemudian dibuat penasaran akan bagaimana aksi yang ditampilkannya di film tersebut.
Lantas apa spesialnya kedua film yang kehadirannya ini cukup memuaskan dahaga para pecinta film laga asal Asia Tenggara ? Yuk, kita masuk ke pembahasannya.
Sinopsis
Entah disengaja atau tidak, baik Furie maupun Maria sejatinya memiliki jalan cerita yang bisa dikatakan hampir mirip. Bahkan tema besarnya pun tentang perjuangan seorang ibu yang berjuang mencari keadilan atas apa yang dilakukan si penjahat terhadap anak dan keluarganya.
Pada film Furie, Veronica Ngo berperan sebagai Hai Phuong, seorang ibu berstatus single parent yang hidup bersama putri semata wayangnya. Sebagai seorang mantan gangster, Hai Phuong kemudian mencoba menjalani kehidupan normalnya dengan menjadi seorang debt collector, dimana juga menjadikannya musuh banyak pihak.
Sebuah perdebatan hebat antara Hai Phuong dan para pengunjung pasar yang menuduh anaknya mencuri, Â kemudian menyebabkan sang anak sedih dan berlari hingga lepas dari pantauannya. Tak lagi menemukan sang anak disampingnya, Hai Phuong pun kemudian mencarinya dan menemukan sang anak sedang ada dalam dekapan penculik.
Mengetahui ada yang tak beres, Hai Phuong pun kemudian mengejar mereka dan mengharuskannya beradu pukulan kembali dengan orang-orang jahat yang dulu dikenalnya. Namun tak hanya itu, semakin jauh Ia mencari sang anak, Ia pun semakin berhadapan dengan suatu hal yang mengerikan. Ya, Ia harus berhadapan dengan kartel penjualan organ demi menyelamatkan sang anak.
Sementara pada film Maria, Maria(Cristine Reyes) merupakan mantan anggota organisasi Black Rose yang melarikan diri dan mencoba untuk menjalani kehidupan normalnya. 7 tahun berselang, Maria pun memiliki hidup yang nyaris sempurna bersama suami dan satu orang anak perempuannya.
Namun pada sebuah kegiatan kampanye pemilihan gubernur di pusat kota, tanpa sengaja Maria dan anaknya terlihat di salah satu sudut gedung oleh para anggota Black Rose. Masih meminta pertanggungjawaban atas kelalaian tugasnya dulu, Maria pun kemudian dikejar oleh kawanan tersebut.
Kejadian semakin memburuk kala suami dan anaknya tewas di tangan para penjahat. Mencari keadilan, Maria pun harus kembali ke dunia lamanya dan menggunakan segenap kemampuannya dalam mencari dalang dari semua hal tersebut.
Serupa Tapi Tak Sama
Ya, Furie dan Maria sejatinya serupa tapi tak sama. Serupa dalam hal tema besar dan pesan yang ingin disampaikannya, namun berbeda dalam penggunaan latar ceritanya.
Furie jelas lebih menonjolkan sisi tradisionalnya alih-alih menyajikan film aksi modern. Menyaksikan Furie sepintas mengingatkan kita akan film Merantau yang melambungkan nama aktor Iko Uwais pada saat itu.
Latar desa terpencil Vietnam, kejar-kejaran menggunakan motor bebek, bahkan pakaian tokoh utamanya yang berupa pakaian sederhana ala masyarakat pedesaan Vietnam, membuat film ini tampil begitu sederhana namun di sisi lain juga relevan dengan kondisi yang terjadi.
Maka praktis Furie tak hanya menyajikan deretan adegan pertarungan yang elegan, namun juga menawarkan visualisasi Vietnam yang indah nan eksotik, mulai dari latar pedesaan hingga perkotaannya. Tak lupa, kebudayaan asli Vietnam pun kemudian turut disematkan dalam berbagai adegannya.Â
Ya, kombinasi epik itulah yang menyebabkan Furie memiliki nilai lebih dibalik segala kesederhanaan dalam penuturan kisahnya.
Sementara Maria justru melakukan pendekatan yang lebih modern, stylish dan membungkusnya dengan koreografi beladiri yang cukup gory ditambah dengan aksi tembak-tembakan yang seru. Visualisasi Maria mengingatkan kita akan film aksi macam Headshot ataupun The Night Comes for Us. Seru, namun di satu sisi juga membuat ngilu.
Bahkan tak hanya itu, dalam beberapa aksi yang dilakukannya, Cristine Reyes nampak seperti gabungan Jennifer Garner dalam film Peppermint(2018) maupun Cynthia Rothrock dalam film-film aksi kelas B Hollywood, yang tenar di era 80-an. Stylish dan klasik di waktu bersamaan.
Sederhananya, kedua film tersebut tampil dengan jati diri berbeda meskipun memiliki narasi yang hampir sama. Keduanya memilki ciri khas yang tentunya akan melahirkan fansnya masing-masing.
Tentang Ibu dan Keberanian Wanita di Tengah Budaya Patriarki
Secara jalan cerita, pada dasarnya film ini tak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru. Unsur-unsur yang sudah kita kenal sebelumnya lewat film-film aksi semacam John Wick, Jason Bourne, Trilogi Taken, Dwilogi The Raid bahkan Merantau, menjadikan kedua film tersebut langsung nampak familiar sejak menit pertamanya berjalan.
Namun dua hal yang membuatnya cukup segar dibandingan film-film aksi lainnya adalah terkait karakter utama wanitanya serta tema perjuangan seorang ibu di tengah budaya patriarki yang kental.
Furie sendiri menggambarkan usaha seorang ibu dalam menyelamatkan sang anak, tak peduli betapa besar resiko yang dihadapinya. Maka pengejarannya dari desa terpencil Vietnam hingga ke tengah kota metropolitan, menjadi bukti betapa cinta kasih seorang ibu mampu mengatasi segala halangan yang muncul di hadapan.
Karakter Hai Phuong yang dimainkan oleh Veronica Ngo juga menunjukkan bagaimana wanita kerap direndahkan dan dianggap tak memiliki power dalam berbagai pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki. Maka pekerjaannya sebagai debt collector yang cukup disegani demi menghidupi anak semata wayangnya, seakan menunjukkan bahwa tak selamanya wanita selalu dianggap sebagai makhluk yang tak bisa mengerjakan pekerjaannnya lelaki.Â
Pun begitu dengan aksi beladirinya melawan para lelaki yang cenderung meremehkan dirinya, menjadi sebuah jawaban tersirat bahwa wanita pun mampu begitu mematikan jika prinsip hidup bahkan harta berharga dalam hidupnya direnggut begitu saja.
Pesan kuat lantas menyertai aksi Veronica Ngo. Jangan sekali-sekali merendahkan dan meremehkan kekuatan ibu dan wanita. Sederhananya, jangan sekali-sekali berurusan sama emak-emak. Salah ganggu emak-emak, hidupmu kelar sudah.
Sementara Furie berkisah tentang perjuangan ibu menyelamatkan buah hatinya, maka Maria justru menunjukkan sosok seorang wanita tangguh yang tak takut menghadapi apapun demi menuntut balas dan meminta pertanggungjawaban. Maria ingin menunjukkan bahwa selalu ada kekuatan tersembunyi dibalik lemah lembutnya seorang wanita.
Dengan premis seorang ibu yang teraniaya, maka sisi emosional di kedua film itu pun menggerakkan deretan aksi yang terjadi menit demi menit kemudian. Maka ketika banyaknya aksi baku pukul antara wanita dan pria terjadi, kita tak lagi menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu. Justru empati kita lah yang menjadikan tiap aksi mereka terasa mengena.
Bahkan baik Veronica Ngo maupun Cristine Reyes, keduanya mampu menunjukkan bahwa film laga yang dibintangi wanita juga mampu menyajikan deret aksi memukau, sarat ultra violent, namun sekaligus juga tetap mempertahankan sisi emosional yang dibutuhkan para penonton.
Bangkitnya Aktris Laga Asia Tenggara
Seperti kita tahu, saat ini film laga Asia Tenggara lebih didominasi oleh para aktor laga pria. Bahkan film-film baru pun lebih sering mengorbitkan aktor pria dibandingkan aktor laga wanitanya.
Mantan aktor laga Singapura, Vincent Ng, kemudian si jago Muay Thai asal Thailand, Tony Jaa, hingga para jagoan pencak silat asal Indonesia semisal Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan, merupakan beberapa contoh nama yang lebih dikenal publik sebagai aktor laga Asia Tenggara. Sementara pemeran laga wanita, namanya hampir tak terdengar sama sekali.
Memang dalam berbagai film laga Indonesia mulai dari The Raid 2, Headshot hingga The Night Comes For Us, Julie Estelle sudah menunjukkan kapasitasnya sebagai aktris laga asal Indonesia yang mumpuni, baik dalam akting yang membutuhkan dialog maupun akting yang mengharuskannya bertarung satu lawan satu dengan lawan mainnya.
Namun tetap saja, namanya belum benar-benar bersinar di mancanegara karena belum mendapatkan sebuah film yang khusus menjadikannya bintang utama. Julie masih sering berkutat dalam film yang menjadikannya sebagai supporting actress.
Mungkin Cristine Reyes bisa dibilang aktris yang perjalanan karirnya cukup mirip dengan Julie Estelle. Memulainya dari film drama, hingga kemudian berubah menjadi queen of action movies.
Hanya saja, Cristine cukup beruntung karena perpindahannya dari genre drama romantis ke genre aksi penuh darah disertai dengan penunjukkan dirinya sebagai bintang utama. Maka sudah pasti, performanya di dalam film lebih disorot karena menentukan sejauh apa kualitas filmnya nanti.
Meskipun kualitas Maria tak terlalu baik bahkan kalah dengan Furie, namun berkat performa apik Cristine, film ini pun kemudian cukup digemari. Bahkan muncul banyak headline dari kolom berita online mancanegara yang mengakui kualitas akting Cristine dan yakin bahwa dirinya akan jadi bintang laga baru Asia Tenggara yang semakin harum di masa depan.
Maka melihat potensi karir Cristine Reyes di genre film laga yang akan semakin bersinar di masa depan, maka rasanya ini juga bisa menjadi cambuk bagi perfilman Indonesia. Sudah saatnya Indonesia mengeluarkan film laga yang memaksimalkan potensi bintang utama wanitanya.
Mungkin bisa dimulai dari spin-off The Night Comes For Us yang menjadikan Julie Estelle alias The Operator sebagai karakter utamanya. Atau mungkin justru menjadikan aktris lain semisal Dian Sastro, Tara Basro atau Chelsea Islan sekalipun untuk menjadi the next queen of indonesian action movies? Bisa saja.
Namun yang pasti, kehadiran Furie dan Maria semakin mempertegas posisi Asia Tenggara sebagai produsen film aksi yang tak bisa dianggap remeh. Bahkan tak tertutup kemungkinan menjadi negara pencetak aktris laga kelas dunia di masa depan, dimulai dari generasi Veronica Ngo, Julie Estelle dan Cristine Reyes.
Dan lewat 2 film tersebut, rasanya kita sudah mulai berani mengatakan bahkan mempertegas bahwa ini adalah era kebangkitan aktris laga Asia Tenggara.
Beladiri Asia Tenggara yang Semakin Mendunia
Dengan kemunculan Furie dan Maria, sejatinya juga semakin membuat beladiri asal Asia Tenggara dikenal dunia. Karena jika sebelumnya publik internasional hanya mengenal Muay Thai atau beberapa tahun belakangan mulai mengenal Pencak Silat, kini bertambah referensinya setelah melihat dua film tersebut.
Dalam Furie, kita diperkenalkan dengan beladiri khas Vietnam, Vovinam, yang memiliki kombinasi gerakan Kung Fu dengan Pencak Silat. Vovinam sendiri menggabungkan sifat keras(frontal) dan lembut(gerakan sirkular), sehingga menjadikannya sebuah teknik beladiri yang elegan dengan di satu sisinya juga mematikan.
Sementara dalam Maria, meskipun menyajikan koreografi pertarungan yang berupa gabungan dari berbagai jenis martial arts, namun tetap menghadirkan senjata tradisional Karambit sebagai senjata utama sang jagoan di film tersebut.Â
Seperti kita tahu, meskipun identik dengan silat-nya Indonesia, Karambit sejatinya merupakan senjata tradisional yang jamak ditemukan pada berbagai daerah di negara Asia Tenggara lainnya.
Maka jelas, dengan hadirnya 2 film tersebut, beladiri asal Asia Tenggara semakin bersinar di dunia Internasional. Dan kita sejatinya patut berbangga karena sejak Merantau memperkenalkan sajian laga asal Indonesia ke mata dunia bahkan dipuji banyak kritikus, negara-negara di Asia Tenggara lain pun tergerak untuk menciptakan hal senada.
Maka tak heran jika suatu saat film-film laga asal Asia Tenggara akan makin digemari melebihi film laga Asia yang selama ini ragam beladirinya seperti Kung Fu, Karate dan Tae Kwon Do sudah dikenal lebih dulu. Karena biar bagaimanapun, penonton pasti menginginkan sesuatu yang baru dan segar.Â
Dan sajian aksi dalam balutan teknik beladiri asal Asia Tenggara saya rasa bisa menjadi pelepas dahaga para pecinta film aksi di seluruh dunia, cepat atau lambat.
Penutup
Menjadi dua film asal Asia Tenggara yang sedang trending di Netflix saat ini, baik Furie ataupun Maria jelas tak boleh dilewatkan begitu saja bagi anda para penggemar film laga.
Memang tak bisa dipungkiri, bagi yang kadung menjadikan The Raid sebagai tolok ukur baru film action asal Asia Tenggara, Furie dan Maria masih berada satu strip dibawahnya. Pertarungannya memang tak secepat dan sebrutal The Raid dan kawan-kawan.
Namun nyatanya hal tersebut tidaklah buruk, karena baik Furie maupun Maria tetap mampu menunjukkan jati dirinya masing-masing dengan cukup baik. Furie dan Maria tetap mampu menampilkan apa yang diinginkan fans film laga tanpa harus menjadi sama dengan film laga lainnya.
Skor Furie : 8/10
-Seru, menghibur, segar dan mampu menyajikan ragam pertarungan elegan yang dibungkus dengan visualisasi eksotis negara Vietnam. Isu sosial yang diangkat pun cukup baik, dengan pujian tentu saja disematkan untuk akting Veronica Ngo.-
Skor Maria: 7/10
-Premis menarik, menghibur, sajian pertarungan brutal dan ultraviolent, namun dengan motivasi penjahat yang nampak klise dan hollywood minded. Cristine Reyes jelas menjadi penyelamat film ini.-
Selamat menonton. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H