Aladdin mungkin jadi salah satu film yang sedang ramai dibicarakan di bulan Mei ini. Selain menghadirkan nostalgia akan versi animasinya yang dirilis di tahun 1992 silam, Aladdin juga menjadi salah satu proyek ambisius Disney dalam menghadirkan film live action yang diangkat dari deretan animasi populernya.
Apalagi John Wick sudah memasuki minggu keduanya yang pastinya pembahasannya sudah tak seramai penayangan di minggu pertamanya. Sementara Endgame, tinggal menunggu waktu hingga benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada para penontonnya di seluruh dunia.Â
Praktis, Aladdin lah yang saat ini sedang jadi pusat perhatian sebelum Godzilla dan kawanan monster lainnya menyerang bioskop di seluruh dunia akhir bulan ini.
Banyak kerikil tajam yang coba menghambat kehadiran film ini mulai dari penolakan Mena Massoud sebagai Aladdin dan Will Smith sebagai Genie si jin berwarna biru legendaris, hingga penunjukkan Guy Ritchie di kursi sutradara yang dianggap terlalu beresiko untuk sebuah proyek film remake dengan status legendaris.
Meskipun secara mengejutkan Ritchie mendulang sukses lewat 2 film Sherlock Holmes-nya, namun dengan tidak adanya latar belakang film musikal yang digarapnya ditambah dengan Ritchie yang merupakan spesialis film-film berbudget kecil, menyebabkan banyak orang meragukan Aladdin garapannya.
Apalagi sebelum ini, tentu kita masih ingat bagaimana King Arthur garapannya gagal total baik secara kritik maupun pendapatannya di box office, serta The Man From U.N.C.L.E yang meskipun tak terlalu buruk tapi tetap gagal di pasaran.Â
Jadi, sangat wajar jika banyak orang ragu atas penunjukannya di kursi sutradara Aladdin yang notabene merupakan film besar.
Namun ternyata, apa yang dihadirkan Aladdin jauh melebihi ekspektasi banyak orang. Aladdin ternyata tampil cukup baik, stylish khas Guy Ritchie, memukau dan tak kalah menghibur dari deretan film live action Disney lainnya.Â
Meskipun rating film ini berpredikat rotten karena hanya memiliki nilai 58% di rottentomatoes.com, namun film ini mendulang nilai 94% dari kolom audience score-nya. Bahkan selaras dengan hal tersebut, Cinemascore yang berperan sebagai exit poll di industri Hollywood pun memberikan nilai A, yang mana merupakan nilai yang cukup tinggi bagi sebuah film.
Lantas, apa yang membuat Aladdin begitu diterima? Dan bagaimana tantangan film live action Disney di masa depan? Yuk, masuk ke pembahasannya.
Formula Penceritaan Ulang Disney dengan Isu Sosial yang Relevan
Satu hal yang pasti, Aladdin menunjukkan bahwa formula retelling the stories atau penceritaan ulang ala Disney masih berjalan cukup efektif. Ya, setidaknya sampai saat ini.
Alice in Wonderland garapan Tim Burton yang rilis di tahun 2010 silam menjadi awal dari deretan film live action hasil adaptasi animasi Disney di era modern. Hingga kemudian Maleficent (2014) dan Cinderella (2015) dirilis, kita pun tahu bahwa Disney mulai ambisius dalam menelurkan proyek live action hasil adaptasi animasinya, setidaknya 1 film tiap 1 tahun.
Disney tak hanya menghadirkan kisah klasiknya begitu saja, namun juga ditambahi beberapa bumbu penguat kisah yang lebih baru sehingga versi live action ini bisa juga dibilang sebagai "revisi" atas kisah klasiknya yang mungkin tak sempat disajikan lebih mendalam kala itu.
Di film Cinderella, Lily James tak hanya sukses memerankan sosok Cinderella yang cantik dan menawan, namun juga menunjukkan sosok Cinderella sebagai wanita muda yang penuh integritas juga ambisi, dengan satu sisinya tetap memiliki kesabaran dan kerendahan hati.
Maleficent justru membuat kita empati pada karakter yang seharusnya tak layak mendapatkan empati. Dan disitulah kekuatan ceritanya, yang membuat kita melihat kisah klasik Disney dengan cukup berimbang dan manusiawi.
Aladdin pun demikian. Meskipun secara plot hampir sama dengan animasinya, namun Guy Ritchie berhasil memasukkan unsur baru yang lebih relevan khususnya pada penokohan putri Jasmine.
Seperti kita tahu, versi animasi menggambarkan Jasmine sebagai sosok putri yang rupawan namun di satu sisi juga tak bisa berbicara banyak di lingkungan dengan budaya patriarki yang kuat. Maka di film live action-nya ini, Jasmine menunjukkan karakter wanita yang lebih kuat bahkan berani berbicara lebih dan layak mendapatkan posisi istimewa pada akhirnya.
Hal-hal tersebut tentunya tak bisa ditampilkan dalam film animasinya dulu. Maka formula retelling the stories cukup tepat, karena tak perlu mengubah kisah keseluruhan melainkan hanya memasukkan unsur-unsur yang dirasa perlu untuk direvisi. Maka cerita klasik dengan sentuhan baru pun siap disajikan baik kepada fans lama maupun fans baru dari generasi Z.
 Ya, setidaknya kita patut berterima kasih pada film Brave, Frozen dan Moana yang juga turut memberi kesan kuat bahwa penceritaan princess di era modern harus lebih berisi dari sekadar kisah cinta putri dan pangeran.
Unsur Hiburan Tetap Nomor Satu
Maka meskipun Aladdin dicerca para kritikus, nyatanya film ini tetap diterima baik oleh para fans karena masih memiliki unsur hiburan yang kental melalui lagu, koreografi dan permainan warna yang atraktif. Sedikit perubahan pada jalan ceritanya nyatanya tak terlalu berpengaruh karena film ini masih cukup asyik untuk dinikmati baik oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Lupakan kritik tajam, cinemascore menjadi jawaban bagaimana film ini begitu menghibur dan menyenangkan. Dan hal itu juga berlaku bagi film live action Disney lainnya yang selalu mendapat nilai cinemascore A. Bahkan Dumbo yang dicap gagal sekalipun mendapatkan nilai A- karena masih menyenangkan untuk ditonton.
Keputusan Tim Burton untuk membuat kisah Dumbo lebih kelam dan menghilangkan unsur tarian dan nyanyian layaknya film animasinya dulu, terbukti mendapatkan respon yang masih baik meskipun tak semuanya setuju. Fans garis keras tidak senang sementara kritikus pun mencerca.Â
Namun penonton kasual masih menikmati karena kisah Dumbo tetap menarik diikuti ditambah dengan polesan CGI yang juga ciamik untuk disimak. Tak lupa, kisah yang lebih relevan dengan isu sosial saat ini juga membuat Dumbo versi live action memiliki kekuatannya sendiri.
Ini membuktikan bahwa pundi-pundi Disney tetaplah aman meskipun filmnya tak cukup spesial di mata kritikus. Karena nyatanya, fans dan penonton kasual tetap suka dan poin inilah yang membuat Disney tetap mempertahankan unsur hiburan all out bagi para penontonnya.
Disney dan Tantangannya di Masa Depan
Namun si sisi lain tentu saja fans bahkan penonton kasual tak cukup sampai disitu saja. Layaknya harapan akan penyegaran kisah MCU, live action Disney pun dituntut menghadirkan sesuatu yang lebih segar dimana bukan sekadar formula pengulangan semata.
Namun pertanyaannya, di masa depan ketika Disney telah "selesai" menggarap semua animasi klasiknya menjadi film live action, lantas apa lagi yang akan dilakukan Disney terhadap karakter-karakter klasik tersebut? Apakah masih mempertahankan formula yang sama?
Tentu baik fans maupun penonton kasual menginginkan sesuatu yang baru. Tak hanya sekadar adaptasi full, namun juga pengembangan cerita hasil adaptasi yang jauh lebih dalam dan menampilkan imajinasi lain dari inti cerita yang sudah tersedia tersebut.
Maleficent dengan cerita alternatifnya telah membuktikan bahwa film tersebut cukup diterima baik oleh fans, penonton kasual maupun kritikus. Meskipun tak semuanya senang dengan kisah alternatif Dumbo, namun nampaknya tak salah jika berharap Disney akan lebih banyak memproduksi banyak film dengan kisah alternatif yang berasal dari animasinya, apalagi dengan mengutamakan unsur character driven.
Cruella De Vil tentu menjadi salah satu kisah karakter antagonis populer paling ditunggu selain Jafar, Ursula ataupun The Coachmen. Entah akan digarap seperti Maleficent atau tidak, yang pasti Cruella akan membuat kisah 101 Dalmatians lebih berwarna karena kita akan melihat bagaimana proses terbentuknya salah satu penjahat paling mengerikan tersebut.
Dan semua hal tersebut tentunya semakin menghadirkan tantangan bagi Disney. Apakah akan bertahan dengan kisah adaptasi full nya, atau berani keluar dari pakem untuk menghadirkan kisah baru yang lebih beragam meskipun sama-sama lahir dari kisah klasik legendarisnya.
Penutup
Dengan penonton Disney tak hanya didominasi anak-anak namun juga penonton lawas yang telah berkembang ke usia dewasa, maka praktis Disney pun harus menyelaraskan perkembangan tersebut agar tak dianggap hanya mengeksploitasi kisah klasiknya demi mendulang banyak dollar semata.
Maka menarik untuk melihat bagaimana cara Disney mengakomodir kebutuhan penonton dari berbagai usia tersebut nantinya. Jika ditanya apakah bisa, saya rasa jawabannya bisa karena sumber daya yang besar telah dimiliki Disney.Â
Tak perlu menjadikan film-film Disney se-real film-film Christopher Nolan. Karena bagaimanapun juga unsur magis, imajinatif dan fantasi khas Disney tetap harus dipertahankan.Â
Hanya saja, menghadirkan kisah alternatif dari semesta animasinya di masa depan nampaknya akan jadi hadiah yang tak kalah menarik bagi fans Disney dan juga para moviegoers seluruh dunia. Jadi, fans garis keras yang tetap idealis terhadap kisah aslinya bisa terakomodir, fans yang terbuka terhadap penceritaan baru pun juga terakomodir.
Kalau cakupan penontonnya sudah seluas itu, siapa yang bisa mengalahkan dominasi Disney di jagat sinematik nantinya? Heuheuheu
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H