Sudah puluhan bahkan ratusan tahun, street food atau jajanan pinggir jalan sudah menemani banyak orang dan menjadi semacam tradisi yang terus berkembang di banyak negara khususnya Asia.
Harga jual yang murah, ragam makanan yang menggugah selera, hingga rasa spesial yang menggoyang lidah menjadi alasan mengapa street food begitu digemari banyak orang.
Bahkan dari jajanan pinggir jalan itu jugalah kemudian banyak bermunculan ragam makanan lain hasil modifikasi dari jajanan tersebut. Bahkan tak jarang hasil modifikasi tersebut kemudian dijual pada resto yang lebih mewah dengan harga yang jauh lebih mahal.
Martabak dengan topping nutella, bakso isi keju mozarella bahkan surabi rasa green tea, menjadi beberapa contoh jajanan pinggir jalan yang dimodifikasi, diberi merk dan dijual dengan harga lebih mahal.
jajan pinggir jalan yang sudah dikenal. Murah, enak, dan suasana hangat tanpa perlu tempat mewah, menjadi sebab street food tetap dicari dan menjadi favorit siapapun.
Namun tetap saja, konsep original dari jajanan pinggir jalan lah yang tetap dicari konsumen hingga saat ini. Karena tak hanya menawarkan kelezatan yang khas, street food juga membawa kita ke konsep awalAdalah dokumenter berjudul Street Food produksi Netflix yang menggambarkan sisi lain dari jajanan pinggir jalan tersebut. Menjadikan Asia sebagai fokus utama penceritaan dalam musim perdananya ini, Street Food akan membawa kita berkelana mencicipi berbagai jajanan pinggir jalan Bangkok, Delhi, Osaka, Singapura hingga Yogyakarta.
Dengan total 9 episode dengan durasi masing-masing 25-30 menit, Street Food membagi segmennya per masing-masing kota, untuk bisa fokus tak hanya pada makanan tapi juga pada kisah dibalik makanan tersebut.
Kisah Inspiratif dibalik Sepiring Makanan
Dibalik rasa lezat dan harga murah yang ditawarkan jajanan pinggir jalan, sejatinya tersimpan banyak cerita yang orang-orang mungkin tak banyak mengetahuinya. Sebuah cerita yang membuat para penjual street food terus semangat berjualan setiap hari dan menyiapkan sajian lezat bagi pelanggan setia mereka.
Disinilah yang membedakan Street Food dengan dokumenter tentang makanan lainnya. Alih-alih fokus pada resep dan sejarah makanannya, Street Food justru fokus mengeksplorasi sisi manusia serta tradisi di balik makanan itu sendiri. Street Food tak hanya menyajikan visual makanan yang memanjakan mata, namun kisah dibaliknya yang juga menyentuh dan inspiratif.
Seperti contoh kisah mbah Satinem pada episode Yogyakarta. Sebagai penjual lupis dan ragam jajan pasar lainnya di sudut kota Yogyakarta, mungkin kita hanya mengetahui dirinya sebagai penjual jajan pasar legendaris dan salah satu yang terbaik di kota Yogyakarta. Namun lewat Street Food, kita bisa mengetahui lebih banyak tentang apa yang terjadi di balik sebakul jajan pasar yang selalu habis terjual itu.
Mbah Satinem yang tak mengetahui tahun berapa beliau dilahirkan tersebut, memiliki masa kecil yang penuh tragedi. Ayahnya pergi bersama wanita lain di depan Ia dan ibunya secara terang-terangan ketika mereka sedang berjualan jajan pasar. Sementara, ibunya mengalami gangguan kejiwaan tak lama setelah itu, sebelum akhirnya meninggalkan Satinem kecil untuk selamanya.
Satinem kecil yang tak lagi memiliki orang tua kemudian melanjutkan berjualan jajan pasar yang dilakukan ibunya. Rasa klasik yang tetap terjaga, bersih dan murah menjadi sebab jajan pasar mbah Satinem terus ada hingga hari ini. Alm. mantan Presiden Soeharto yang menjadikan jajan pasar mbah Satinem sebagai panganan favoritnya, membuat jajan pasar mbah Satinem semakin kondang dan dikenal seantero Yogyakarta bahkan daerah lainnya.
Jajan pasar yang Ia jual sampai hari ini kemudian tak hanya menjadi sekadar sumber penghasilan bagi keluarganya saja. Lebih dari itu, Mbah Satinem terus berjualan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan yang diturunkan ibundanya. Entah generasi penerus Mbah Satinem akan meneruskannya atau tidak, yang pasti mbah Satinem mengajarkan kita untuk terus berjuang melawan segala kesedihan dan keterbatasan.
Makanan di Persimpangan Generasi Lama dan Baru
film dan buku, makanan menjadi salah satu hasil seni yang mampu menembus lintasan waktu. Lewat rasa klasik suatu makanan, kita mampu "bertemu" dengan masa lalu dan mencicipi nikmatnya resep yang mungkin sudah menggoyang lidah banyak orang sejak ratusan tahun yang lalu.
Selain musik,Makanan bisa terus ada karena pertemuan antar generasi yang terus membawa resep klasik ke meja penikmatnya hingga saat ini. Tak hanya itu, generasi baru pun kemudian memodifikasi baik cara pembuatannya maupun cara berjualannya, hingga menjadi lebih efektif, higienis dan modern.
Seperti halnya Grace di Taiwan yang meneruskan bisnis sup kepala ikan yang menggunakan resep warisan turun-temurun keluarganya. Dengan tetap mempertahankan rasa asli makanannya, Grace memodifikasi kedainya menjadi lebih modern dengan menggunakan sistem kasir P.O.S dan layanan antar online.Â
Meskipun sempat ditentang ayah dan ibunya karena menganggap inovasi tersebut sebagai sesuatu yang mahal, pun pada akhirnya mereka merasakan dampak positif dari apa yang dilakukan Grace, karena kini kedainya jauh lebih ramai dan bahkan mengundang banyak pelanggan dari seluruh dunia.
Begitupun dengan kisah Nizam dan istrinya yang menjual Putu Piring warisan keluarga mereka di Singapura. Sempat depresi karena pembuatan putu piring yang memakan waktu berjam-jam sehingga tak bisa maksimal dalam proses penjualannya, mereka pun kemudian memodifikasi prosesnya.Â
Proses pembuatan putu piring yang semula 10 jam, kini dipangkas hingga menjadi 2 jam saja. Produktivitas tersebut kemudian tak hanya membuat mereka semakin mudah menjualnya, namun juga membuat mereka mampu membuat 5 cabang putu piring yang digemari seantero Singapura.
Namun tak semua penjaja makanan pinggir jalan mengalami hal-hal beruntung seperti itu. Mbah Lindu si penjual gudeg legendaris di Yogyakarta yang kini berusia 100 tahun misalnya, tak tahu bisnis tersebut akan dibawa kemana. Tak ada anak, cucu bahkan kolega yang tertarik meneruskan jualannya, membuat racikan gudeg ala mbah Lindu mungkin hanya tinggal kenangan di masa depan.
Begitupun dengan Jay Fai di Bangkok yang tak tahu akan meneruskan resepnya kemana, karena anak-anaknya tak ada yang mau meneruskannya. Berjualan masakan khas Bangkok dengan menu andalannya tom yam kering, membuat kedai Jay Fai selalu ramai setiap harinya sejak dulu.
Dengan usia 70-an tahun, Jay Fai tahu bahwa tenaganya mungkin tak lagi sama beberapa tahun ke depan meskipun semangat memasaknya masih terus membara. Dan resep aslinya, harus sesegera mungkin diwariskan ke seseorang jika tidak ingin punah begitu saja.
Pertemuan antar generasi itulah yang sejatinya menjadi kunci sebuah makanan akan terus ada atau tidak di tahun-tahun mendatang. Generasi baru atau milenial bisa jadi akan membawa perubahan besar terkait bisnis makanan keluarga hingga menjadikannya bertambah eksis.
Namun tak jarang, generasi muda tak mau melanjutkan karena telah memiliki jenis pekerjaan impian sendiri. Resep atau jenis makanan itulah yang pada akhirnya akan punah dengan sendirinya karena tak ada yang meneruskan tradisi tersebut.
Tradisi yang Mempersatukan
Selain olahraga, makanan juga menjadi salah satu hal yang mampu mempersatukan segenap bangsa. Lewat makanan, identitas sebuah bangsa tentunya akan lebih dikenal. Itulah sebabnya, sebuah negara justru sering dikenal lebih dulu lewat makanan khasnya dibandingkan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Dan lewat Street Food, sang kreator dokumenter ini yaitu David Gelb dan juga Brian McGinn, mampu memfokuskan cerita serta tradisi di balik sebuah makanan hingga mampu dikombinasikan dengan sinematografi apik garapan Alexander D. Paul dan Matthew Chavez yang mampu menggugah selera. Visualnya begitu menarik hingga membuat kita terkesima akan tiap cerita yang kuat di tiap segmennya.
Seperti halnya Singapura yang tak memiliki lagu ataupun baju daerah, maka makanan khas menjadi satu-satunya hal yang bisa mempertahankan tradisi serta identitas penduduk lokal disana. Begitupun dengan kisah Entoy di desa miskin Cordova, Filipina, yang racikan masakannya mampu membangun ekonomi desanya karena banyaknya turis yang berkunjung ke Cordova untuk mencicipi masakannya.Â
Kisah Entoy menjadi contoh nyata bahwa hanya dari sepiring makanan, mampu membawa suatu wilayah menuju ke perubahan nyata dan tentunya menuju peradaban yang baru. Makanan tentu saja menjadi sebuah tradisi yang tak hanya mampu mempersatukan bangsa namun juga mampu membangun suatu wilayah dan menaikkan taraf hidup masyarakatnya.
Penutup
Sebagai sebuah film dokumenter tentang makanan, Street Food jelas tak hanya sekadar menyajikan tampilan makanan yang menggugah selera. Lebih dari itu, Street Food menawarkan kisah hidup yang kuat dibalik tiap makanan khas pada suatu wilayah.
Kita bisa mengetahui betapa kerasnya perjuangan masing-masing penjual dalam menyiapkan sepiring makanan lezat bagi pelanggannya setiap hari. Kita juga dituntun untuk lebih bisa menghargai tiap porsi makanan jalanan yang disiapkan bagi kita. Karena lebih dari itu, tiap seporsi jajanan pinggir jalan mengandung banyak kisah, tradisi dan warisan yang tak lekang oleh waktu, dimana beruntung kita masih bisa merasakannya hingga saat ini.
Tontonlah dan rasakanlah sentuhan magis penceritaan tiap-tiap makanan khas di wilayah Asia, lewat visual yang memanjakan mata dan tentunya menggugah selera.Â
Jika kemudian saya pribadi menjadi tertarik untuk mengunjungi Jogja kembali, maka hal tersebut tak lagi sekadar mencicipi gudeg Mbah Lindu ataupun jajan jajanan pasar Mbah Satinem. Lebih dari itu, saya ingin menjadi saksi dan tentunya mendengarkan cerita langsung dari para orangtua yang masih semangat berjuang mempertahankan warisan keluarganya dalam sepiring makanan murah meriah tersebut.
Ah, Street Food memang membuka wawasan baru.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H