Mbah Satinem yang tak mengetahui tahun berapa beliau dilahirkan tersebut, memiliki masa kecil yang penuh tragedi. Ayahnya pergi bersama wanita lain di depan Ia dan ibunya secara terang-terangan ketika mereka sedang berjualan jajan pasar. Sementara, ibunya mengalami gangguan kejiwaan tak lama setelah itu, sebelum akhirnya meninggalkan Satinem kecil untuk selamanya.
Satinem kecil yang tak lagi memiliki orang tua kemudian melanjutkan berjualan jajan pasar yang dilakukan ibunya. Rasa klasik yang tetap terjaga, bersih dan murah menjadi sebab jajan pasar mbah Satinem terus ada hingga hari ini. Alm. mantan Presiden Soeharto yang menjadikan jajan pasar mbah Satinem sebagai panganan favoritnya, membuat jajan pasar mbah Satinem semakin kondang dan dikenal seantero Yogyakarta bahkan daerah lainnya.
Jajan pasar yang Ia jual sampai hari ini kemudian tak hanya menjadi sekadar sumber penghasilan bagi keluarganya saja. Lebih dari itu, Mbah Satinem terus berjualan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan yang diturunkan ibundanya. Entah generasi penerus Mbah Satinem akan meneruskannya atau tidak, yang pasti mbah Satinem mengajarkan kita untuk terus berjuang melawan segala kesedihan dan keterbatasan.
Makanan di Persimpangan Generasi Lama dan Baru
film dan buku, makanan menjadi salah satu hasil seni yang mampu menembus lintasan waktu. Lewat rasa klasik suatu makanan, kita mampu "bertemu" dengan masa lalu dan mencicipi nikmatnya resep yang mungkin sudah menggoyang lidah banyak orang sejak ratusan tahun yang lalu.
Selain musik,Makanan bisa terus ada karena pertemuan antar generasi yang terus membawa resep klasik ke meja penikmatnya hingga saat ini. Tak hanya itu, generasi baru pun kemudian memodifikasi baik cara pembuatannya maupun cara berjualannya, hingga menjadi lebih efektif, higienis dan modern.
Seperti halnya Grace di Taiwan yang meneruskan bisnis sup kepala ikan yang menggunakan resep warisan turun-temurun keluarganya. Dengan tetap mempertahankan rasa asli makanannya, Grace memodifikasi kedainya menjadi lebih modern dengan menggunakan sistem kasir P.O.S dan layanan antar online.Â
Meskipun sempat ditentang ayah dan ibunya karena menganggap inovasi tersebut sebagai sesuatu yang mahal, pun pada akhirnya mereka merasakan dampak positif dari apa yang dilakukan Grace, karena kini kedainya jauh lebih ramai dan bahkan mengundang banyak pelanggan dari seluruh dunia.
Begitupun dengan kisah Nizam dan istrinya yang menjual Putu Piring warisan keluarga mereka di Singapura. Sempat depresi karena pembuatan putu piring yang memakan waktu berjam-jam sehingga tak bisa maksimal dalam proses penjualannya, mereka pun kemudian memodifikasi prosesnya.Â
Proses pembuatan putu piring yang semula 10 jam, kini dipangkas hingga menjadi 2 jam saja. Produktivitas tersebut kemudian tak hanya membuat mereka semakin mudah menjualnya, namun juga membuat mereka mampu membuat 5 cabang putu piring yang digemari seantero Singapura.
Namun tak semua penjaja makanan pinggir jalan mengalami hal-hal beruntung seperti itu. Mbah Lindu si penjual gudeg legendaris di Yogyakarta yang kini berusia 100 tahun misalnya, tak tahu bisnis tersebut akan dibawa kemana. Tak ada anak, cucu bahkan kolega yang tertarik meneruskan jualannya, membuat racikan gudeg ala mbah Lindu mungkin hanya tinggal kenangan di masa depan.