"So I studied my history, I studied my past, and I put every mistake, all of my triumphs--my 22-year career--into my 2-hour Homecoming performance." -- Beyoncé
Seorang drummer wanita yang memainkan pukulan paradiddle pada single snare miliknya, menjadi penanda dimulainya konser yang begitu dinanti banyak orang dengan penuh antusias. Tak lama berselang, seorang wanita dengan jubah bak ratu muncul bersamaan dengan para "dayang" membentuk barisan yang begitu indah. Meradiasi setiap penonton di sekitar panggung dengan nuansa megah, glamor dan karismatik.
Tak lama berselang, sang ratu seakan menghilang dari kerumunan dan muncul dari bawah panggung dengan berpakaian sporty nan sexy. Tersenyum sejenak ke arah penonton untuk kemudian menggebrak panggung dengan lagu Crazy in Love yang menjadi lagu hits di awal karirnya sebagai penyanyi solo bertahun-tahun silam. Penonton pun berteriak, sementara ia mulai menghibur dengan suara khasnya yang tanpa fals dan gerakan dance yang begitu enerjik.
Itulah sekilas dari 8 hingga 10 menit awal dokumenter konser berjudul Homecoming milik sang diva pop internasional, Beyonce, yang ditayangkan secara eksklusif untuk platform Netflix. Ditulis, disutradarai bahkan diproduseri sendiri oleh Beyonce, menjadikan dokumenter konser berdurasi 137 menit dengan total 40 lagu didalamnya tersebut, begitu personal dan berhasil menunjukkan kreativitas Beyonce yang begitu total dan menggugah.
Homecoming juga menjadi dokumenter yang menampilkan usaha Beyonce untuk kembali ke panggung hiburan lewat festival Coachella, tepat 10 bulan sejak kelahiran anak kembarnya Rumi dan Sir Carter di tahun 2017 silam. Menjadikannya wanita kulit hitam pertama yang menjadi Headline dalam festival musik tersebut.
Mungkin kita sudah sering melihat film dokumenter konser, sehingga memerlukan unsur penguat yang meyakinkan kita bahwa film debut Beyonce sebagai sutradara dokumenter ini begitu menarik untuk disaksikan. Apalagi di platform Netflix sendiri sudah ada beberapa dokumenter konser milik musisi besar lainnya semisal Bruce Springsteen, Taylor Swift, dan Lady Gaga.
Lalu apa yang menjadikan film dokumenter ini begitu spesial? So, ini dia ulasannya.
Letupan Kreativitas Beyonce sebagai Diva Pop
Menyandang status diva pop dimana total penjualan albumnya mencapai 100 juta kopi untuk album solonya, serta 60 juta kopi untuk album bersama Destiny's Child, jelas merupakan suatu pencapaian yang luar biasa. Untuk itulah, harapan akan live performance yang spektakuler pasti begitu dinanti oleh para penggemarnya di seluruh dunia. Beruntung, Beyonce mampu menyajikannya dengan apik di gelaran Coachella Music Festival tahun 2018 lalu.
Membawa serta kru, penari, penyanyi latar, orkestra hingga live band dengan total sekitar 200 orang di panggung Coachella 2018, tentu menjadi hal yang begitu megah dan luar biasa. Dan hebatnya, Beyonce mampu mengkoneksikan itu semua menjadi sajian hiburan berkelas dan spektakuler.Â
Dari mulai kostum, hentakan musik khas kulit hitam, hingga koreo yang mendatangkan decak kagum penonton, seakan menjadi kombinasi hiburan luar biasa yang tak hanya memanjakan mata namun juga telinga. Beyonce mampu menghubungkan para profesional diatas panggungnya dengan berbagai unsur budaya khususnya budaya kulit hitam, hingga menjadi sebuah ide kreatif yang meletup dahsyat di atas panggung tersebut.
Lebih Dari Sekadar Konser SpektakulerÂ
Selain memiliki arti kepulangan Beyonce ke ranah hiburan pasca hiatus di masa kehamilannya, Homecoming juga merupakan sebuah tradisi tahunan di Amerika dimana sebuah SMU atau Universitas, mengadakan acara untuk menyambut alumni mereka yang berkulit hitam.Â
Sebuah budaya yang khususnya begitu dilestarikan oleh himpunan HBCU (Historically Black College and Universities) atau deretan sekolah/universitas-nya orang-orang berkulit hitam di masa lampau semisal Howard University, Hampton University, dan Spelman College.
Acara tersebut biasanya begitu megah dan meriah dengan menampilkan ragam hiburan berupa musik, tarian hingga pertandingan football ataupun softball. Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa sekolah atau universitas tersebut tetap memandang tinggi siswa serta alumni kulit hitam, tanpa pernah mempedulikan perbedaan yang ada.
Konsep tersebutlah yang kemudian diaplikasikan pada pertunjukan Homecoming-nya Beyonce ini. Beyonce jelas ingin menampilkan sebuah panggung dinamis dimana tak hanya dirinya yang menjadi sorotan dan pusat visual, namun juga semua yang terlibat di dalamnya mulai dari personil band, musisi orkestra, penyanyi latar, hingga deretan penarinya.Â
Bahkan Beyonce menyajikan hampir 40 lagu tanpa henti dimana beberapa aransemennya tampak begitu fresh dan menarik. Crazy in Love, Freedom, dan Run The World menjadi beberapa contoh penampilan atraktif yang begitu luar biasa menghibur penonton.
Tak lupa, reuninya dengan dua personil Destiny's Child, Kelly Rowland dan Michelle Williams juga semakin menambah semarak konser tersebut. Nuansa nostalgia lewat lagu Say My Name, Lose My Breath, dan Soldier, sontak membuat konser tersebut semakin riuh dan menjadi arena paduan suara para penonton. Sedangkan Deja Vu, menjadi lagu yang berhasil mempertontonkan kekompakannya dengan sang suami, Jay-Z.
Dokumenter yang Menghibur dan Artistik
Hampir nampak tidak ditemukan kekurangan yang cukup berarti jika berbicara mengenai teknis film ini. Setiap sudut panggung dan detail visual mampu tertangkap dengan sempurna hingga menjadi sebuah film dokumenter yang mampu bertutur dengan sendirinya. Entah dalam menjelaskan kemegahannya, kematangan konsepnya, hingga nilai-nilai artistik tata panggungnya tanpa perlu banyak narasi menyelimutinya.
"What people don't see is the sacrifice."-- Beyoncé
Rekaman kejadian di belakang panggung mulai dari latihan, persiapan hingga menjelang hari H juga tampil begitu artistik berkat penggunaan efek grainy pada tampilannya. Editing ciamik Alexander Hammer (Lennon Report, Taylor Swift: 1989 World Tour) menjadikan footage tersebut cukup unik kala dijadikan selingan dari satu lagu ke lagu lainnya.
Tak lupa, gabungan rekaman pada 2 hari penampilan Beyonce di Coachella, kerap digabungkan jadi satu. Kostum dominan kuning dan dominan pink yang membedakan penampilan 2 hari mereka, menjadi begitu unik kala rekamannya digabung dalam 1 lagu yang sama. Sehingga tentunya memberikan efek pergantian tema warna yang seru dan artistik.
Pesan Kuat untuk Wanita
"I definitely pushed myself further than I knew I could. And I learned a very valuable lesson----I will never, never push myself that far again." -- Beyoncé
Tak bisa dipungkiri lagi, Beyonce merupakan salah satu musisi yang dengan lantang menyuarakan aspirasi dan hak-hak wanita melalui lagu-lagunya. Dan hal itu semakin dipertegas lewat konsernya tersebut.
Rekaman di belakang panggung yang menunjukkan usaha dirinya kembali ke bentuk tubuh semula pasca melahirkan, menjadi salah satu contoh rekaman yang cukup inspiratif. Bagaimana profesionalitasnya dalam bekerja membuat ia mampu mendorong dirinya sendiri untuk bekerja melampaui batasan. Sebuah usaha keras yang menurut penuturannya sendiri tak akan pernah diulanginya lagi di masa depan.
Tak hanya itu, gerakan pada tari-tarian yang menjadi semacam metafora "perlawanan" wanita terhadap dominasi laki-laki, jelas menjadi pesan kuat yang ingin disampaikannya. Bahkan beberapa monolog Beyonce diatas panggung pun menjadi semacam ajakan positif bahwa wanita tak seharusnya lebih lemah daripada laki-laki dalam mengejar impian, cita-cita dan masa depannya.
Hingga pada akhirnya lagu Run The World dinyanyikan, menjadi semacam senjata pamungkas bagi wanita untuk semakin berani menunjukkan eksistensinya melalui talenta yang dimiliki.
Penutup
Menjadi film pembuka dari total 3 proyek hasil kerja sama Beyonce dan Netflix yang konon memiliki nilai kontrak di kisaran 60 Juta Dollar AS, tentu saja membuat Homecoming menjadi sajian yang baik dan memorable.
Tak hanya sekadar menampilkan kemegahan konser dan nama besar Beyonce semata, Homecoming nyatanya juga berhasil menyajikan pesan yang cukup kuat seputar pelestarian budaya Afro-Amerika dan emansipasi wanita.Â
Beyonce tak hanya sukses mengkoneksikan unsur budaya dan talenta hingga menjadikannya sebuah ide brilian, namun juga berhasil menciptakan semacam cultural movement yang kelak akan menjadi benchmark bagi musisi-musisi lainnya, dalam menciptakan dokumenter mereka di masa depan.
Dan hal-hal tersebut lah yang sejatinya tak didapatkan dari dokumenter musisi populer lainnya semisal AÂ Head Full of Dreams-nya Coldplay atau Reputation World Tour-nya Taylor Swift. Dua dokumenter tersebut tak buruk, bahkan cukup baik. Hanya saja, tidak cukup unik dan mengena layaknya yang ditampilkan Beyonce dalam Homecoming.
Nah, mumpung tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini, maka bolehlah mengajak pasangan, teman bahkan ibu yang berjiwa muda untuk menyaksikan dokumenter konser Beyonce ini. Ya, meskipun Beyonce bukan bagian daripada kearifan lokal, heuheu.Â
Hanya saja, sajian yang ringan, spektakuler dan inspiratif ini memang pas untuk dinikmati di hari spesial bagi para wanita Indonesia ini.
Homecoming tayang di platform Netflix mulai 17 April 2019. Selamat menonton!
Selamat Hari Kartini. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H