Australia memang tak setenar Hollywood dalam hal produksi filmnya. Namun beberapa produksi filmnya berhasil menyamai capaian film Hollywood lainnya meskipun dibuat dengan budget tak terlalu besar. Crocodile Dundee, Happy Feet, dan The Great Gatsby, merupakan beberapa film Australia yang mendunia bahkan dipuji banyak kritikus.
Begitu pun dengan aktor dan aktrisnya, Australia merupakan benua penghasil aktor dan aktris berkualitas dalam industri perfilman dunia. Hugh Jackman, Nicole Kidman, Naomi Watts, Rachael Taylor, dan Chris Hemsworth merupakan beberapa contoh nama-nama tersebut.
Tak hanya itu, FSAI yang sudah memasuki tahun keempatnya tersebut juga dibuka untuk membuka peluang koneksi serta kolaborasi antara sineas Indonesia dan Australia. Maka tak heran, gelaran beberapa masterclass juga diadakan selama event FSAI ini berlangsung.
Semua gelaran tersebut ditayangkan di bioskop CGV masing-masing kota yaitu CGV Grand Indonesia, CGV Transmart Mataram, CGV Daya Grand Square, CGV 23 Paskal Shopping Center dan CGV Marvell City.
Bagi rekan-rekan Kompasianer yang tak sempat mengunjungi acara ini di Jakarta atau memang berdomisili di luar daerah, bisa cek langsung event FSAI melalui laman FSAI2019. EVENTBRITE.COM dan langsung mendaftar untuk mendapatkan tiket gratis. Nah, bagi yang mau ke FSAI untuk menyaksikan Ladies in Black, yuk langsung ikuti tulisan ini.
Sinopsis
Sambil bermimpi untuk bisa diterima di Sydney University, liburan musim panasnya kemudian diisi dengan bekerja di sebuah departemen store terbesar di kota Sydney, Goode's Department Store.
Selain bertemu dengan atasannya yang galak namun baik hati, Miss Cartwright (Noni Hazlehurst) juga pemilik butik kecil yang seorang imigran asal Eropa, Magda (Julia Ormond), Lisa juga dipertemukan dengan 2 orang pegawai wanita lainnya yang memiliki masalah hidup cukup kompleks. Masalah hidup yang mungkin belum Lisa pahami di usianya namun juga membuka pengetahuan lebih lagi sebagai wanita dewasa.
Fay (Rachael Taylor) adalah seorang wanita lajang berusia diatas kepala 3 yang sedang mengalami problem dalam pencarian pasangan, sementara Patty (Alison McGirr) adalah seorang wanita yang mengalami problem keturunan meskipun sudah menikah lama. Kedua wanita tersebut menjadi rekan sekaligus mentor bagi Lisa di Goode's.
Melalui kedua orang inilah, kelak Lisa mendapatkan banyak pelajaran hidup. Tak hanya bagaimana menjadi orang dewasa, namun juga bagaimana mengajarkannya untuk berani melawan struktur sosial dan menjalani kebebasan berpendapat meskipun dia seorang wanita. Sebuah kontrakultur yang lahir dari tiga orang wanita yang mewakili budaya patriarki masyarakat Australia di masa lalu.
Sebuah Film yang Membawa Mood Bahagia
Konflik yang terjadi memang tak semuanya dijabarkan dengan detail. Konflik yang dimiliki Lisa terkait keinginan kuatnya untuk kuliah sekaligus meyakinkan ayahnya yang kolot, praktis menjadi satu-satunya konflik dari ketiga tokoh utama yang paling memiliki penceritaan detail.
Sementara konflik yang dimiliki Fay terkait masa lajangnya di usia 30-an serta Patty yang memiliki hubungan kurang baik dengan suaminya yang pendiam, nampak tampil begitu saja dan kurang kuat. Padahal, konflik yang dimiliki Fay dan Patty berpotensi jauh lebih baik jika diberikan porsi lebih.
Bukan bermaksud spoiler, namun dengan ending film yang bahagia, jelas semakin menegaskan bahwa film ini memang ingin menghadirkan kebahagiaan bagi siapapun yang menontonnya.
Film ini juga seakan ingin menunjukkan bahwa sepelik apapun permasalahan hidup, tetap memiliki sisi cerianya. Dan yang paling penting, di akhir sebuah permasalahan selalu menghadirkan kebahagiaan yang luar biasa.
Sementara Goode's Department Store seakan merupakan gambaran kehidupan yang begitu besar dengan ragam konflik di dalamnya, namun jika dilihat dengan sudut pandang yang lebih luas, kehidupan selalu mendatangkan kebaikan dan keceriaannya.
Penuh Pesan Emansipasi Wanita
Mendengar nama sutradara Bruce Beresford, mungkin tak semuanya langsung bisa mengenalnya. Selain karena namanya tak setenar sutradara beken Hollywood lainnya, film-filmnya pun jarang ada yang menyandang predikat blockbuster. Padahal beliau sudah memproduksi banyak film sejak era 80-an.
Dan kali ini lewat Ladies in Black, Bruce Beresford ingin mengangkat isu kemanusiaan kembali dengan fokus utamanya pada tema emansipasi wanita. Ladies in Black jelas memiliki pesan bahwa wanita tak selamanya harus terjebak dalam sebuah kultur yang merugikan dirinya. Wanita harus berani berbicara, memiliki ketegasan bahkan boleh bermimpi serta menentukan sendiri akan seperti apa jalan hidupnya di masa depan.
Dan ketiga wanita tersebut jugalah yang mewakili perempuan-perempuan pemberani yang tegas menghadapi kultur yang berlaku, hingga mampu menjadi agen perubahan bagi wanita-wanita di sekeliling mereka.
Fay mewakili kaum perempuan yang kerap dipandang rendah laki-laki hanya karena memiliki masa lalu yang kelam, padahal dirinya sudah berubah dan mencoba untuk melupakan kehidupan kelamnya di masa lalu.
Sementara Patty mewakili kaum perempuan yang nampak terjebak dengan doktrin bahwa istri tidak boleh "mendahului" suami dalam hal pembicaraan masalah ranjang dan kehamilan, sehingga diam adalah pilihan yang tepat. Padahal, komunikasi jelas menjadi faktor utama dalam hubungan sebuah keluarga.
Dengan poin-poin itulah film ini semakin menegaskan posisinya sebagai film yang mengangkat tema girl power. Sebuah tema yang nampak relevan, entah sebagai pembelajaran akan kondisi di masa lalu ataupun sebagai pengingat akan kontribusi wanita di era modern ini.
Kaya akan Kebudayaan Australia
Suasana dan aktifitas di pusat perbelanjaan yang seru namun juga sedikit menyebalkan akibat beragamnya sikap konsumen, mampu ditranslasikan ke dalam visual yang penuh warna, hangat dan ceria. Sehingga kita seakan turut dibawa ke dalam suasana ceria sekaligus diperkenalkan pada budaya berbelanja masyarakat Sydney di musim liburan.
Dimana detail kostum di film ini digarap dengan begitu maksimal dan mampu memberikan gambaran meyakinkan akan pengaruh mode yang dibawa oleh para imigran asal Eropa, kepada masyarakat kelas menengah atas Australia di masa itu.
Poin kedua adalah begitu kentalnya aksen Australia lengkap dengan bahasa slang seperti penyebutan "refos" bagi kaum refugee atau imigran. Tak hanya itu, Australia yang kerap dikenal sebagai negerinya kaum budak di masa lalu, kerap disindir dalam beberapa jokes sarkas yang cukup mengocok perut.
Tak lupa, suasana natal yang cukup unik di Australia pun berhasil disajikan dengan sangat baik. Seperti kita tahu, natal di Australia berbarengan dengan liburan musim panas negara tersebut. Sehingga jika kita biasanya menyaksikan latar salju pada film-film Hollywood berlatar akhir tahun, dalam film ini kita justru disuguhi serunya suasana natal sekaligus liburan musim panas yang hangat.
Penutup
Tone yang ceria juga semakin membangun mood bahagia ketika selesai menyaksikan film ini. Tak lupa, pesan yang kuat tentang emansipasi wanita menjadi pesan yang dominan dan cukup mengena dalam film ini.Â
Hal lainnya ada pada scoring yang meskipun bagus, namun cukup terdengar membosankan karena monotonnya tipe scoring yang digunakan. Namun begitu, segala kekurangan tersebut sejatinya tak mengurangi keasyikan dalam menonton film ini.
Jadi, apabila tertarik langsung saja cek jadwal FSAI di kota anda. Karena film ini sangat disayangkan tidak masuk ke bioskop reguler Indonesia. Dan jangan lupa saksikan juga film Australia lainnya di FSAI, agar menambah referensi film dari benua yang terkenal akan eksotisme budaya serta lanskap alam liarnya yang cukup ekstrim tersebut.
Skor: 7/10
Selamat menonton. Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H