Mungkin akhir-akhir ini anda pernah lihat kendaraan serupa motor matic kecil berwarna kuning yang berseliweran di sekitar rumah, kantor atau di jalan-jalan tertentu. Atau mungkin justru anda pernah menyewanya untuk sekadar mencoba atau memang digunakan untuk kebutuhan transportasi jarak dekat.
Jika dua hal tersebut sesuai, berarti anda sudah masuk ke dalam sebuah demam baru di Indonesia khususnya di wilayah Surabaya dan Jakarta. Yaitu demam sewa sepeda listrik bernama Migo.
Bagi yang belum tahu, sila melihat gambar-gambar dari berbagai sumber yang akan saya sertakan pada tulisan ini ataupun melihat sendiri lewat laman pencarian Google.
Apa Sih Migo?
Migo e-Bike juga menjadi layanan e-Bike sharing pertama di Indonesia yang diharapkan menjadi solusi kemacetan di kota-kota besar dan tentu saja menjadi moda transportasi alternatif untuk kebutuhan jarak pendek. Pengembalian sepedanya pun cukup mudah dan bisa dilakukan di semua station Migo terdekat di akhir tujuan kita. Jadi tak perlu kembali lagi ke station awal.
Diluncurkan di tanggal 5 Desember 2018 yang lalu di Jakarta, Migo juga sebelumnya sudah mantap berkembang selama 1 tahun di kota Surabaya dengan memiliki sekitar 100 station. Sementara di Jakarta per Desember 2018 lalu baru berjumlah 90 station dengan total 500 sepeda listrik yang lebih banyak tersebar di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Migo dan Segudang Inovasinya
Kehadiran Migo memang membawa segudang inovasi yang baik. Mulai dari teknologi sepeda listrik ramah lingkungan, tarif semurah angkutan umum, sistem berbasis aplikasi dengan tingkat keamanan cukup tinggi, hingga memberikan manfaat berupa tambahan penghasilan bagi masyarakat yang bersedia lahannya dijadikan sub station migo -Ya, meskipun rumor yang beredar akhir-akhir ini menyebut Migo lalai membayar kewajiban terhadap para mitra sub stationnya-.
Migo memang membuka kerjasama apabila kita memiliki lahan kosong untuk dijadikan sub station Migo. Nantinya keuntungannya akan dibagi dengan mekanisme tertentu. Tak perlu besar lahannya, yang penting cukup untuk memarkir 5 hingga 10 unit sepeda listrik Migo. Bahkan sepengamatan saya di daerah dekat rumah, beberapa station migo ini hanya berada di halaman kecil depan toko kelontong.
Kita juga tak perlu khawatir mengenai keamanannya. Dengan semua aktivitas pada sepeda listrik terpusat di aplikasi termasuk menyalakan mesin menggunakan scan barcode dan sepeda yang dilengkapi GPS, maka diharapkan bisa meminimalisir tindakan pencurian sepeda ini.
Lokasi station yang memang didekatkan ke pusat perbelanjaan atau daerah perumahan menjadi sebab mengapa moda transportasi ini dianggap cocok bagi rutinitas harian masyarakat. Ya untuk sekadar pergi ke pasar, minimarket atau menjemput anak sekolah rasanya masih cukup oke menggunakan Migo. Meskipun tak tertutup kemungkinan digunakan untuk berpindah ke tempat yang lebih jauh.
Apalagi bila baterai sepeda dalam keadaan terisi penuh, sepeda ini diklaim mampu menempuh jarak hingga 50 km dengan kecepatan maksimalnya di angka 40Â km/Jam. Memang tidak secepat sepeda motor, hanya saja untuk jalanan di wilayah padat penduduk atau jalanan komplek perumahan misalnya, 40km/jam tentulah cukup ngebut.
Migo dan Tren Indisipliner dalam Berkendara
Berbicara soal kebut-kebutan, tentulah kerap terjadi di hampir semua moda transportasi darat. Begitupun dengan Migo. Kecepatannya yang memang masih cukup mumpuni untuk dibawa ngebut di jalan perkampungan atau komplek perumahan, memang sering disalahgunakan oleh para pengguna Migo.
Beberapa kali saya sering melihat para remaja laki-laki berboncengan dengan teman wanitanya kerap beradu kecepatan dengan pengguna Migo lain yang kemungkinan teman-temannya juga. Bahkan tak jarang mereka terlihat tidak mengenakan helm yang disediakan Migo. Tentu saja perilaku indisipliner dalam berkendara ini sangat membahayakan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Memang, Migo hanya menyediakan 1 helm per 1 motor. Namun hal tersebut seharusnya tak jadi alasan para remaja tersebut untuk tidak mengenakan helm apalagi jika mereka berposisi sebagai rider bukan penumpang.
Selain itu, faktor bahwa kendaraan yang mereka bawa bukanlah sepeda motor juga kemungkinan menyebabkan mereka menganggap enteng perilaku berkendara mereka di jalanan. Mungkin mereka merasa kalaupun ada polisi, toh mereka tidak akan ditilang karena kendaraan itu berjenis sepeda.
Namun begitu, sejatinya ada beberapa kemungkinan lain terkait mengapa Migo sering digunakan para remaja untuk kebut2an. Berikut poin-poinnya;
1) Filtering Data Diri yang(Mungkin)Kurang
Pada saat kita masuk ke dalam aplikasi Migo, memang diminta untuk mendaftar dengan memasukkan data diri yang lengkap termasuk nomor identitas. Karena aplikasi ini ditujukan untuk yang memiliki KTP saja atau 17 tahun ke atas, maka jenis identitas lain seperti kartu pelajar seharusnya tidak bisa.Â
Namun melihat yang terjadi di jalanan justru anak-anak remaja usia sekolah menengah pertama yang membawa sepeda ini kebut-kebutan, maka kemungkinan kartu pelajar bisa digunakan saat pendaftaran cukup besar.
2) Filtering yang Kurang dari Penjaga Sub Station
Kemungkinan yang kedua adalah pengawasan dari penjaga sub station yang masih kurang. Misal pada kasus di nomor pertama kartu pelajar benar-benar tidak bisa digunakan dalam mendaftar, maka kemungkinan besar anak-anak remaja tanggung tersebut menggunakan aplikasi Migo yang didaftarkan dengan kartu identitas kakak atau orang tuanya.Â
Apalagi ketika mendaftar, kita mendapatkan saldo gratis sebesar 20 ribu rupiah untuk menjajal Migo. Maka alasan mencoba saldo itulah yang mungkin kerap dijadikan alasan para remaja menggunakan sepeda listrik tersebut.
Nah, disinilah seharusnya para penjaga bisa melihat, menilai dan bahkan mengawasi lebih jeli agar Migo tidak digunakan sembarangan bahkan oleh penyewa di bawah umur. Karena jika sampai terjadi kecelakaan karena kebut-kebutan, tentu bukan hanya si pengendara saja yang dirugikan, namun juga Migo sebagai penyedia jasa kendaraan.
3) Kesadaran Pribadi yang Masih Sangat Kurang
Meskipun dalam kasus kebut-kebutan pengguna Migo yang saya temui didominasi usia remaja tanggung, tak tertutup kemungkinan juga di tempat lain justru banyak kebut-kebutan migo yang dilakukan pengguna yang berusia lebih dewasa. Hal ini tak lain karena faktor kesadaran pribadi yang masih sangat kurang mengenai keselamatan berkendara di jalan raya.
Tak hanya itu, kurangnya rasa menghargai terhadap sesuatu jasa atau benda yang kita sewa, menyebabkan kita seringkali mengabaikan sense of belonging yang seharusnya tetap dimiliki, agar benda atau jasa tersebut tidak rusak ketika dikembalikan.
Inovasi yang Selalu Menghadirkan Sisi Positif dan Negatif
Memang tak bisa dipungkiri, kehadiran inovasi dalam sebuah teknologi selalu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi memiliki unsur positif yang berguna bagi siapapun. Sementara di sisi lainnya selalu memiliki sisi negatif yang kerap dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Dalam kasus Migo ini sisi negatifnya tentu ada pada diri beberapa remaja tanggung yang memiliki perilaku indisipliner dalam berkendara. Hanya demi sebuah gaya atau pengakuan dari teman-temannya, perilaku berkendaranya kerap mengganggu bahkan membahayakan pengguna jalan lainnya.
Sementara sisi positifnya, moda ini sangat membantu untuk berkendara jarak dekat seperti untuk berbelanja ke pasar, menjemput anak sekolah dan banyak hal lainnya. Tarif yang murah jelas bisa membuat migo menjadi alternatif angkutan umum selain angkot atau ojek.
Apalagi jika station nya dekat dengan hotel atau daerah wisata. Pasti akan semakin membantu khususnya bagi turis asing yang sedang berwisata ke daerah tersebut.
Penutup
Melihat perilaku berkendara yang kerap ugal-ugalan dari para penguna Migo, sejatinya memang harus ada tindakan lebih jauh lagi dari Migo untuk meningkatkan keamanannya. Misalnya dari sisi teknologi aplikasi yang bisa memonitoring kecepatan yang tak wajar dan kebiasaan ugal-ugalan pengguna. Jadi apabila tindakan pengguna dianggap merugikan, bisa diganjar dengan berbagai sanksi blokir berupa larangan menggunakan migo lagi.Â
Juga dari sisi sumber daya manusia yang mengawasi penyewaan Migo, hendaknya harus lebih diperketat lagi agar tidak terlalu mudah "disusupi" anak-anak dibawah umur tak bertanggung jawab.
Sementara dari sisi pengendara tentunya juga harus lebih sadar diri mengenai keselamatan berkendara. Jangan karena menyewa produk yang bukan milik kita, kita bisa seenaknya menggunakan bahkan lalai dalam berkendara hingga mengganggu keselamatan pengguna jalan lainnya.
Dan bagi para orangtua, nampaknya sudah harus mulai berhati-hati apabila memiliki anak remaja yang mau menjajal Migo. Tetap mengingatkan mereka untuk mengendarai Migo secara benar apabila saldo Migonya mau tetap terisi,heuheu. Namun jika mereka masih di bawah 17 tahun, saya rasa jangan sekali-sekali memperbolehkannya.
Jadi bagaimana, tertarik mencoba inovasi Migo ini? Tentunya jangan dipakai kebut-kebutan ya.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H