"Butuh keberanian untuk mengubah hati seseorang" -Green Book-
Perbedaan telah lama menjadi sekat yang cukup kokoh dalam kehidupan. Menciptakan ruang bagi manusia untuk membangun narasinya sendiri sesuai kebutuhan kelompoknya.Â
Agama, ras dan gender merupakan beberapa contoh perbedaan dalam kehidupan manusia yang kerap menimbulkan keresahan bahkan kekecewaan akibat munculnya narasi atau sentimen negatif bagi minoritas dari mayoritas.
Keresahan akan semakin maraknya hal-hal negatif akibat dari ketidakdewasaan dalam menyikapi perbedaan itu pun kerap muncul dalam sebuah film.Â
Sudah banyak film yang mengangkat tema perbedaan dan menjadi sebuah pesan positif yang efektif bagi dunia meskipun memang efeknya tidak bisa cepat dirasakan.
Adalah Green Book, film terbaru yang kembali mengangkat isu perbedaan ras di era segregasi rasial Selatan Amerika tahun 60-an. Diangkat dari kisah nyata musisi jazz klasik Dr.Don Shirley dan supir kulit putihnya Tony 'Lip' Vallelonga, film ini mengambil tema setengah buddy movie dan setengah road trip movie.Â
Buddy movie karena film ini merupakan film tentang arti persahabatan dan kemanusiaan dalam sebuah perbedaan. Sedangkan road trip movie karena film ini mayoritas memiliki adegan-adegan penting dalam perjalanan di dalam mobil.
Hal yang cukup mengagetkan disini dan sempat menjadi keraguan banyak orang adalah fakta bahwa film ini disutradarai oleh Peter Farrelly yang notabene dikenal sebagai sutradara film-film komedi yang isi jokesnya lumayan kasar.Â
Seperti Dumb and Dumber, Me, Myself & Irene dan Shallow Hal. Namun ternyata, Peter mampu menjawab keraguan tersebut dengan sebuah karya yang mampu membuat festival film sekaliber Oscar mengganjarnya dengan banyak nominasi bergengsi.
Sinopsis
Butuh pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat sebelum kembali ke kelab tersebut, Tony pun melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang tambahan bagi operasional rumah tangganya termasuk mengikuti lomba makan hot dog berhadiah 50 Dollar.
Sebuah tawaran kerja kemudian datang dari Dr. Don Shirley(Mahershala Ali) yang merupakan pianis jazz klasik yang produktif mengeluarkan album rekaman dan tur keliling Amerika di era 1950 hingga 1960-an.Â
Mengetahui bahwa Don Shirley merupakan seorang kulit hitam dan Tony harus menjadi sopir sekaligus ajudannya, bahkan harus meninggalkan keluarganya selama 8 minggu untuk tur konser Don Shirley, membuat Tony sempat menolak pekerjaan tersebut.
Faktor uang yang cukup besar dan fakta bahwa pekerjaan yang ditawarkan cukup terlihat mudah bagi Tony, menjadi alasan baginya untuk akhirnya mengambil pekerjaan tersebut.Â
Jika Tony merupakan seorang laki-laki bermulut besar nan urakan, maka Don Shirley merupakan seorang musisi yang menjaga betul sikap hingga tutur katanya layaknya seorang bangsawan.Â
Sesuatu yang jarang terjadi mengingat di tahun-tahun tersebut pria kulit hitam lebih sering terlihat sebagai pelayan dan pekerja kasar dibanding seorang pria terpelajar dengan setelan necis dan mahal.
Namun bukan hanya soal perbedaan dalam sikap dan tutur kata yang menjadi pelajaran bagi Tony. Lebih dari itu, perjalanannya selama mengantar Don Shirley mengajarkannya tentang arti kemanusiaan dalam perbedaan.
Green Book yang merupakan sebuah buku panduan perjalanan khusus yang isinya merupakan hotel, pom bensin bahkan restoran khusus orang kulit hitam, kemudian menjadi sebuah buku panduan yang mengantar Tony melihat sisi lain Amerika bagian Selatan.Â
Betapa segregasi rasial di masa tersebut begitu jamak ditemui hingga ke hal-hal terkecil sekalipun. Sesuatu yang dikemudian hari menyadarkan dan mengajarkan Tony tentang manis dan getirnya sebuah perbedaan.
Penceritaan yang Kokoh dan Hampir Tanpa Cacat
Film ini mampu menghadirkan sebuah kisah persahabatan yang begitu hangat dan menyentuh. Layaknya kita meminum segelas kopi espresso double shots yang meninggalkan after taste yang cukup lama, film ini pun demikian.Â
Setelah film berakhir, perasaan campur aduk dari bahagia hingga sedih masih begitu membekas hingga kita keluar dari ruangan bioskop.
Hal itu disebabkan kepiawaian Peter Farrelly meramu unsur drama dengan selipan humor cerdas di tiap adegannya. Tak hanya itu, perkembangan tiap-tiap karakternya pun begitu halus dan ditampilkan dalam beberapa adegan titik balik yang menyentuh.
Begitupun ketika Tony tampak kesulitan membuat surat cinta untuk istrinya, Don Shirley hadir membantunya dengan susunan kalimat puitis nan romantis.Â
Kedua adegan tersebut seakan menggambarkan bahwa keduanya memiliki ketergantungan satu sama lain di antara kontrasnya perbedaan di antara mereka.
Secara premis film ini sebenarnya mirip dengan film lawas Driving Miss Daisy(1989) yang mendapatkan penghargaan Best Picture di ajang Oscar tahun 1990.Â
Hanya saja kali ini kebalikannya. Jika Driving Miss Daisy orang kulit hitam yang menjadi supir kulit putih, maka Green Book menceritakan orang kulit putih yang menjadi supir orang kulit hitam.
"Kau tidak pernah menang dengan melakukan kekerasan. Kau hanya akan menang ketika berhasil mempertahankan martabat"
Green Book juga menampilkan pesan moral yang cukup kuat seputar perbedaan ras dan orientasi seksual baik secara eksplisit maupun subtil. Pesan-pesan tersebut kemudian berpadu dengan berbagai rangkaian adegan yang hangat dan lucu.
Akting Jempolan dari Dua Aktor Utama
Tentu saja tak mengherankan jika kemudian kedua aktor ini diganjar berbagai nominasi di berbagai ajang penghargaan film, bahkan beberapa penghargaan tersebut berhasil diraih Mahershala Ali.
Viggo Mortensen jelas berbeda dengan penampilannya kala memerankan Aragorn di trilogi LOTR. Viggo yang konon menaikkan berat badannya hingga 20 kg lebih, begitu meyakinkan memerankan tokoh lelaki paruh baya dengan problem pekerjaan di tengah statusnya sebagai suami dan ayah dari 2 anak.Â
Perkembangan karakternya dari yang tadinya begitu menghindari kontak dengan orang kulit hitam menjadi begitu menghargai perbedaan, mampu ditampilkan dengan eksekusi yang brilian.Â
Tak hanya penampilan, perubahan sikap dari sebelumnya urakan menjadi lebih tertata juga mampu ditampilkan dengan eksekusi yang pas dan nyaris sempurna.
"Jika aku tidak cukup hitam untuk menjadi seorang kulit hitam, jika aku tidak cukup putih untuk menjadi orang kulit putih, lalu aku ini apa, Tony?"
Begitupun Mahershala Ali. Sosoknya yang nampak kaku, berkelas dan nampak menyembunyikan sesuatu jauh di dalam lubuk hatinya juga mampu ditampilkan dengan cukup baik.Â
Hingga akhirnya semua alasannya terbuka di suatu adegan titik balik, tentu saja kemudian menjadi sebuah adegan yang sangat kuat dan menguras emosi.Â
Aktingnya disini jauh lebih matang dari apa yang ditampilkannya dalam film Moonlight yang membuatnya diganjar penghargaan di ajang Oscar 2 tahun lalu.
Ali sukses menampilkan sosok musisi Afro-Amerika era 60-an dengan sangat meyakinkan. Bahkan Ali pun rela belajar piano demi memaksimalkan penampilannya sebagai pianis di film ini. Maka tak salah jika di tahun ini Ali kembali diganjar berbagai nominasi di berbagai ajang festival film bergengsi Internasional.
Teknis yang Semakin Menunjang Film
Jika ada hal lain yang patut dipuji selain sutradara dan aktor-aktrisnya tentu saja ada pda bagian penulis skenario dan sinematografi film ini. Nick Vallelonga yang merupakan anak kandung Tony Vallelonga, jelas menjadi kunci bagaimana film ini bisa menggambarkan hubungan yang cukup detail antara Tony dan Don Shirley.
Meskipun cukup kontroversial terkait penggambaran tokoh Don Shirley yang dianggap tak aktual oleh keluarga besar Don Shirley, namun tak bisa dipungkiri bahwa skenarionya hadir dengan detail penceritaan yang kuat.Â
Jika masalah ini tak berlarut-larut, saya yakin Nick bisa memenangkan kategori Best Original Screenplay di ajang Oscar 2019 kelak.
Kombinasi warna hangat yang bergabung dengan warna-warni pakaian, mobil atau bangunan era 60-an jelas menjadikan film ini tampil begitu unik dan memukau.
Tak lupa, detail shoot nya membuat adegan sesederhana memarkir mobil di pinggir jalan pun nampak artistik dan menarik. Percayalah, 2 jam waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan film ini tak akan membuat anda bosan.
Penutup
Akting brilian, cerita sederhana namun menggugah, unsur komedi cerdas dengan plotting yang pas, sinematografi dan musik yang ciamik, hingga pesan kemanusiaan yang kental di sepanjang film membuat film ini menjadi tontonan yang layak dinikmati semua orang.Â
Percayalah, dengan segala hal positif di segala lini, Green Book menjadi film yang saya unggulkan untuk memenangkan Best Picture tahun ini, mengungguli Roma yang saya jagokan sebelumnya. Tapi untuk kategori Best Director, pilihan saya masih jatuh ke sineas Roma, Alfonso Cuaron.Â
Kenapa? Karena adegan menyiram kotoran anjing saja bisa begitu artistiknya di tangan Cuaron. Jadi, bisa dibayangkan bukan bagaimana artistiknya Cuaron?
Tak perlu berlama-lama, segeralah menonton film ini sebelum serbuan film-film hollywood lain dan film lokal datang di Februari ini. Green Book mulai tayang hari ini, tanggal 30 Januari 2019 di jaringan bioskop CGV, Flix dan Cinemaxx.
Skor dari saya, 9.5/10. Green Book sangat layak menjadi film drama komedi terbaik tahun ini.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H