Pertama kali memainkan versi demo video gim Dreadout di tahun 2014 silam, saya langsung yakin bahwa gim ini akan menuai sukses besar setidaknya di Indonesia.
Gameplay yang seru, unik dan mengingatkan akan trilogi gim horor fenomenal asal Jepang di tahun 2001 berjudul Fatal Frame, menjadi beberapa alasan mengapa gim ini memiliki potensi untuk disukai para gamer. Kapan lagi memainkan karakter cewek SMA yang begitu kerennya mengalahkan hantu hanya dengan kamera handphone bukan?
Dan ternyata dugaan saya benar. Video gim yang dijual di platform Steam ini kemudian menuai kesuksesan bahkan hingga ke luar negeri. Gim racikan developer Digital Happiness asal Bandung yang terwujud berkat crowdfunding ini dipuji lantaran menyajikan deretan karakter hantu lokal yang cukup fresh dan belum banyak dikenal gamer internasional.Â
Kini, 5 tahun setelah rilis gimnya, Dreadout mengikuti jejak video gim horor sukses lainnya seperti Resident Evil, Silent Hill dan Alone in the Dark yaitu diangkat ke layar lebar. Menjadi video gim Indonesia pertama yang sangat sukses di pasar internasional yang kemudian diangkat menjadi sebuah film, Dreadout nampak menjanjikan sebagai sebuah film yang segar dan unik pada awalnya.
Bagaimana tidak, semua elemen dalam film ini nampak disiapkan dengan sangat matang. Pemilihan Kimo Stamboel (Headshot,Killers) sebagai sutradara dan penulis, Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi(Dwilogi The Raid, Apostle) di kursi departemen musik dan sound effect, hingga pemilihan bintang muda potensial dengan fan base luar biasa seperti Caitlin Halderman dan Jefri Nichol, menjadi beberapa alasan mengapa film ini nampak menjanjikan kualitas yang sepadan.
Tapi apakah semuanya kemudian berjalan sesuai ekspektasi? Ya mungkin saja bisa iya, bisa juga tidak. Apalagi mengingat kutukan movie based on video game nampak masih menjadi momok menakutkan, tak hanya bagi segenap kru pembuat film namun juga bagi fans gim itu sendiri.
Sinopsis
Kang Heri(Mike Lucock) yang menjaga apartemen tersebut kemudian mempersilakan mereka masuk dengan syarat tidak boleh melewati lorong yang terpasang garis polisi. Namun rasa penasaran yang tinggi menyebabkan mereka menghiraukan larangan Kang Heri. Merekapun akhirnya masuk ke sebuah unit yang juga terpasang garis polisi dan menemukan banyak keanehan seperti kulit ular hingga beberapa perkamen antik.
Salah satu perkamen tersebut memiliki tulisan tersembunyi yang hanya bisa dibaca oleh Linda. Ternyata, bacaan tersebut membuka portal ke dimensi lain dan membawa mereka menemukan berbagai fakta dan petualangan baru. Sebuah petualangan yang kelak memberi banyak pelajaran bagi mereka, khususnya bagi Linda dan kekuatan supranatural dalam diri serta gawainya.
Sebuah Prekuel yang Seru Namun Kurang Maksimal
Namun sama seperti film hollywood adaptasi gim lainnya, Dreadout nampak terjebak diantara keinginan untuk mempertahankan pengalaman bermain gimnya atau menciptakan pengalaman sinematik yang baru.Â
Hasilnya, Dreadout cukup berhasil dalam memvisualisasikan gameplaynya yang seru ke versi sinematik, namun gagal dalam membangun kisah asal muasal yang kokoh. Dengan kata lain, visual gim ini akan memuaskan penggemar gimnya namun ceritanya akan memberi banyak lubang bagi penonton awam.
Meskipun berhasil memberikan beberapa  penjelasan tambahan yang tak ada dalam gimnya, tak bisa dipungkiri Dreadout justru lebih cocok menjadi kisah alternatif gimnya alih-alih menjadi sebuah prekuel. Meskipun bukan fans garis keras, tapi saya bisa katakan bahwa Dreadout belum berhasil menyajikan kisah prekuel yang maksimal dan sesuai keinginan fans gimnya.
Metafora Gawai dan Horor Tanggung
Film ini didominasi jumpscare yang cukup mengagetkan, meskipun di beberapa adegannya terkesan dipaksakan dan tak maksimal. Kemunculan hantu yang sangat sedikit pun cukup mengecewakan mengingat gimnya sendiri memiliki stok hantu yang melimpah. Pocong celurit yang ikonik pun jadi nampak sangat biasa dan tak terlalu menghadirkan keseraman yang maksimal.
Sebuah metafora yang sejatinya berjalan dengan sangat efektif di tengah horor yang tak berjalan maksimal.Â
Teknis Film yang Cukup Baik
Ketika melihat nama Kimo Stamboel di kursi sutradara dan penulis, sangat yakin bahwa film ini akan memiliki teknis memukau namun lemah dalam pengembangan karakter. Harus diakui teknis film ini mulai dari set tempat yang sangat mirip dengan gim nya, CGI yang oke hingga desain karakternya sangat memukau. Hanya saja lemahnya pengembangan karakter khas film-film Kimo bahkan Mo Brothers sebelumnya masih dipertahankan di film ini.
Seperti Headshot yang sangat terlihat bergantian dan menunggu giliran saat adegan bertarung, Dreadout pun seperti itu. Seperti pada adegan menggedor pintu, masuk ke dalam kolam gaib, atau adegan melawan hantu semuanya terlihat seperti menunggu giliran dan tidak cukup natural.Â
Apalagi saat menggunakan sudut pandang layar handphone, suasana mencekam dan horor sangat terasa khas film-film Kimo. Hanya saja, Kimo nampak bermain aman dengan berkurangnya unsur gore ciri khas nya yang kemungkinan dilakukan agar bisa diterima oleh penonton yang lebih luas.
Kepiawaian Aria Prayogi dan Fajar Yuskemal pun rasanya sudah tak bisa diragukan lagi. Scoring dan sound effect yang mereka buat selalu bisa membangun intensitas adegan hingga membuat jantung berdebar. Sebuah sajian musik latar dan sound effect yang tentunya berkelas internasional.
Bahkan peran Marsha Aruan di film ini bisa dibilang yang paling menjanjikan, karena mampu menampilkan karakter anak SMA yang tak hanya menyebalkan namun juga cukup seram pada beberapa adegannya.
Penutup
Maka memvisualisasikan ulang ke dalam versi sinematik jelas merupakan hal yang tak bisa dianggap remeh dan apa yang dilakukan Kimo tentunya patut untuk diapresiasi.
Keputusan berani memang dalam mengangkat gim horor ini ke dalam film, mengingat banyak karakter aneh yang belum biasa dilihat penonton awam. Apalagi bagi penonton yang tidak mengerti film ini berasal dari gim, pasti akan berdecak sebal begitu melihat karakter pocong yang menggunakan celurit bukan melompat. Wajar saja, karena penonton Indonesia masih menyukai horor mainstream dan belum terbiasa dengan sajian horor nyeleneh.Â
Pada akhirnya Dreadout sukses menyajikan thriller seru dan menyenangkan khas gameplay gimnya, namun sangat minim unsur horornya. Beberapa adegan horor yang coba dibangun melalui suara gamelan jawa, kesurupan atau hantu kebaya merah yang terbang kadang berakhir dengan eksekusi yang biasa saja dan tak maksimal.Â
Dreadout kemudian terjebak menjadi film yang hanya mengumbar jeritan alih-alih memberikan jalinan kisah yang kokoh dan hanya menjadi semacam metafora hubungan gawai dan kehidupan remaja saja.
Jika anda menyukai tipikal horor atau thriller yang seru, unik dan tak peduli terhadap jalan ceritanya, maka film ini bisa menjadi pilihan tontonan minggu ini. Namun jika anda menyukai horor atau thriller dengan penceritaan yang kokoh seperti film-filmnya Joko Anwar, maka sudah pasti tidak akan anda temukan di film ini.
So, mengingat ada Keluarga Cemara sebagai lawannya, maka menjadi PR besar bagi Dreadout untuk bisa memenangi persaingan. Pengaruh word of mouth dari masing-masing penonton di hari pertama juga kelak akan menentukan siapa jawara film Indonesia yang rilis perdana di minggu pertama tahun 2019 ini.
Selamat menonton Kompasianer.
*Ok lah kali ini saya berikan skor untuk Dreadout. Melihat usaha maksimal Kimo Stamboel mencoba genre baru meskipun eksekusinya mengecewakan, maka masih Berbaik hati saya beri nilai 6/10Â heuheuheu.
Percayalah, diluar sana lebih banyak yang memberi nilai lebih sadis dari saya :')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H