Film Jepang memang terkenal dengan ide cerita sederhana yang diangkat dari drama kehidupan sehari-hari, namun tetap memasukkan unsur humanis dan pesan kehidupan yang kuat. Itulah mengapa film Jepang selalu memberikan pengalaman menonton yang cukup berbeda dari kebanyakan film Hollywood. Termasuk film Shoplifters yang saya tonton minggu lalu di Pekan Sinema Jepang yang diadakan di CGV Grand Indonesia.
Bahkan yang terbaru, Shoplifters berhasil masuk ke dalam shortlisted kategori Best Foreign Film di ajang Oscar 2019 bersama 9 nominator lainnya termasuk Roma. Mengalahkan puluhan film berbahasa asing lainnya dari seluruh dunia termasuk film nasional kebanggaan kita Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.
Ide cerita Shoplifters ini bisa dibilang sederhana namun juga jujur dalam bertutur. Secara garis besar film ini menyampaikan 3 poin utama yaitu hubungan antar keluarga, cara bertahan hidup masing-masing anggota serta ditutup pertanyaan tentang arti keluarga sebenarnya ketika berbagai fakta negatif muncul menaungi. Semua poin tersebut kemudian dibungkus dengan kisah yang hangat serta tak lupa menambahkan bumbu kritik sosial yang kental.
Bukan Film Keluarga Cemara
Sepintas Shoplifters nampaknya menjanjikan sebuah kisah keluarga hangat nan menggugah layaknya Keluarga Cemara. Dilihat dari posternya saja memang nampaknya film ini menyajikan hal sejenis. Tapi sayang, film ini sama sekali tidak menyajikan kisah seperti keluarga Abah dan Emak. Shoplifters justru lebih kaya dari itu.
Shoplifters tidak hanya bertutur tentang keluarga baik-baik yang bekerja dengan cara baik di dunia yang dikelilingi dengan hal-hal jahat. Shoplifters justru bercerita dengan jujur bahwa segala hal yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, juga tetap dipandang baik oleh keluarga meskipun hal yang dilakukan tersebut merupakan hal yang jahat. Tak peduli anggapan orang lain, keluarga adalah yang utama.
Namun sepulangnya mereka dari supermarket, Osamu dan Shota menemukan seorang gadis kecil di tumpukan sampah bernama Yuri(Miyu Sasaki). Terdorong rasa kasihan melihat kondisinya, Osamu pun membawa pulang Yuri untuk bisa ikut makan dan beristirahat.
Kedatangan Yuri pun menimbulkan pro dan kontra dari anggota keluarga yang lain yaitu sang istri Nobuyo(Sakura Ando), adik perempuan Nobuyo bernama Aki(Mayu Matsuoka) dan nenek Hatsue(Kirin Kiki), hingga akhirnya diputuskan untuk memulangkan Yuri ke tempat asalnya.
Namun ternyata Yuri merupakan anak yang ditolak oleh kedua orangtuanya, sehingga Nobuyo dan Osamu memutuskan untuk membiarkan Yuri tinggal di rumah mereka. Tinggalnya Yuri di rumah mereka pada akhirnya memunculkan banyak fakta baru. Bukan hanya terkait fakta keluarga asli Yuri namun juga fakta terkait masa lalu Shibata yang cukup kelam. Fakta-fakta yang kemudian tampil kontradiktif dengan kehangatan yang selama ini muncul diantara mereka.
Kritik Sosial yang Jujur
Osamu yang merupakan buruh bangunan misalnya, terpaksa melakukan pencurian kecil-kecilan karena pendapatannya tak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya yang berjumlah 5 orang. Shota pun menjadi anak yang melewati masa-masa wajib sekolah. Bukan hanya karena masalah ekonomi, Shota memang sengaja tidak boleh sekolah oleh sang ayah dengan sebuah alasan klise yang tentunya bakal dibuka di akhir kisah.
Atau contoh lainnya berupa kritikan pada kebijakan workshare yang banyak diberlakukan di perusahaan Jepang saat ini misalnya, muncul dalam kisah hidup sang istri Nobuyo. Nobuyo yang merupakan buruh cuci di sebuah perusahaan laundry, harus berbagi jam kerja normalnya dengan orang lain.Â
Dimana kebijakan tersebut nyatanya tidak membantu kehidupan ekonominya. Kurangnya uang juga memaksanya mengutil barang-barang berharga pelanggannya yang tertinggal di baju. Sebuah fakta terkait kebijakan workshare yang memang tidak memberikan solusi kemapanan ekonomi namun justru menambah angka kemiskinan.
Entah hanya sekadar mengobrol, berpelukan, atau hanya sekadar tiduran di kedua paha Aki. Sebuah potret miris realita di Jepang yang saat ini memang banyak diberitakan yaitu mengenai maraknya jasa "rental peluk" untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat Jepang yang sering kesepian.
Deretan fakta miris tersebut konon memang benar terjadi di Jepang namun jarang diangkat ke permukaan. Tertutup dengan keindahan kota dan pesatnya perkembangan teknologi disana.
Film yang Hangat namun Penuh Teka-teki
Sementara 30 menit terakhir, menjadi konklusi yang menutup banyak pertanyaan selama 60 menit awal tadi. Sebuah kesimpulan yang menghadirkan plot twist elegan dan mengundang pertanyaan tentang arti keluarga itu sendiri. Adegan kala mereka berlibur ke pantai kemudian menjadi momen penentu akhir cerita ini yang kemudian ditutup dengan adegan klimaksnya yang cukup haru dan meninggalkan kesan mendalam.
Oh iya sekadar catatan, ada satu adegan yang cukup lucu dan menarik di film ini. Dimana dengan rumah sepenuh dan sesempit itu, Shibata dan istrinya jarang melakukan hal romantis nan intim. Momen rumah kosong tersebut kemudian tiba-tiba datang dan menjadi kesempatan emas untuk menumpahkan hasrat suami istri yang tak bisa mereka lewatkan begitu saja.Â
Namun sayang, tak berselang lama hujan besar turun yang menyebabkan anak-anak pulang cepat ke rumah. Adegan kikuk nan serba salah pun kemudian muncul dan mengundang gelak tawa penonton. Sebuah adegan yang nampak sangat natural dan selayaknya gambaran hidup sehari-hari.Â
Dan naturalnya adegan seperti itu tidak hanya muncul di satu adegan tersebut, namun muncul juga pada ragam adegan lainnya. Itulah sebabnya mengapa film ini bagaikan potret jujur sebuah keluarga yang drama dan konfliknya tidak mengada-ada.Â
Penutup
Shoplifters menjadi film yang membuatmu kembali ke bumi jika selama ini terus dibawa melayang dalam imaji keluarga kaya ala Crazy Rich Asians. Shoplifters akan membuatmu lebih menghargai akan apa yang dipunya saat ini. Shoplifters juga akan membuatmu mengerti arti keluarga dan pengorbanan yang sesungguhnya.
Dengan sinematografi sederhana karena didominasi pengambilan gambar statis khas Jepang, kemudian ditambah penggunaan tone warna yang cukup hangat, menjadikan film ini sangat nyaman untuk disaksikan.
Dan rasanya hampir tidak ada poin negatif yang cukup krusial untuk film ini. Itulah sebabnya, film ini benar-benar saya rekomendasikan untuk ditonton.
Festival film ini bekerjasama dengan jaringan bioskop CGV. Maka teman-teman kompasianer yang ada di domisili Bandung dan sekitarnya atau memang sengaja merencanakan ke Bandung di tanggal 21-23 Desember ini hanya untuk mengunjungi festival film tersebut, sila cek jadwalnya di website CGV atau aplikasi ticketing online di gawai anda agar tidak kehabisan tiket.
Selamat menonton. Selamat liburan. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H