Sejak kemunculan zombi atau mayat hidup pertama kalinya dalam film Night of the Living Dead garapan sutradara George A.Romero di tahun 1968 silam, sudah tak terhitung lagi jumlah film zombi yang muncul menghiasi layar bioskop dengan berbagai temanya.Â
Ada yang tetap mempertahankan unsur horor semisal pada film 40 Days of Night atau World War Z. Kemudian ditambahi bumbu aksi yang memukau semisal pada seri Resident Evil dan Overlord. Hingga Ditambahi unsur drama kemanusiaan seperti pada film I Am Legend, Cargo hingga serial tv The Walking Dead.
Terlalu banyaknya film zombi itu jugalah yang membuat kita sebenarnya cukup bosan terhadap film bertema zombi. Meskipun kemudian ada film zombi yang ditambahi unsur komedi cerdas semisal pada film Shaun of the Dead dan Zombieland, namun nampaknya belum cukup untuk menghadirkan sebuah kisah zombi yang baru, unik dan segar.
One Cut of the Dead yang merupakan film Jepang dengan menyertakan zombi sebagai unsur utama kisahnya, kemudian menawarkan sebuah film komedi satire yang cukup cerdas dengan ide cerita yang orisinil.Â
Sebenarnya gegap gempitanya film ini di berbagai festival film dunia sudah saya dengar sejak beberapa bulan lalu karena diberikan rating positif oleh media asing semacam Variety dan Hollywood Reporter. Pun film ini mendapatkan predikat juara di 4 gelaran festival film dunia yaitu Austin Fantastic Fest, Fantaspoa Fantastic Film Festival, MotelX Film Festival dan Yubari International Fantastic Film Festival.
Hanya saja twit dari Joko Anwar yang membahas film ini serta menginformasikan bahwa film ini ditayangkan juga di Indonesia, semakin menambah keinginan saya untuk menyaksikan film ini. Kapan lagi bisa menyaksikan film festival seperti ini ditayangkan di bioskop reguler bukan?
Untuk itulah, akan saya bahas film unik yang tempo hari saya saksikan pada tulisan kali ini. Hanya saja cukup mustahil membahas film ini tanpa spoiler. Jadi bagi yang tidak mau menanggung risiko spoiler, bisa berhenti membaca hingga sinopsis saja. Let's go!
Sinopsis
Masalah baru kemudian muncul. Di lokasi yang berupa tempat pengolahan air zaman Perang Dunia II tersebut, muncul serbuan zombi asli yang mengancam segenap aktor dan kru film tersebut. Apa yang terjadi 37 menit kemudian dalam rekaman single take, menjadi jawaban akan semua hal aneh yang terjadi sejak awal.
Kualitas Film yang Melebihi Budgetnya
Tak hanya pendapatannya yang berhasil melebihi budgetnya, kualitas film ini pun sejatinya melewati ongkos pembuatannya. Bagaimana tidak, selain suguhan kisah yang segar, kita pun seakan disuguhi 3 film berbeda dalam satu film ini. Munculnya film dalam film atau biasa disebut dengan movieception, berhasil membuat setiap penonton terkecoh akan akhir kisahnya. Kekuatan cerita film ini benar-benar membuat lupa desain zombi yang apa adanya itu.
Sutradara dan Aktor Debutan
Pun merujuk data milik iMdb.com, nama-nama aktor semisal Takayuki Hamatsu, Yuzuki Akiyama serta Harumi Shuhama tidak memiliki database film lain. Namun begitu, semua aktor dan aktris di film ini mampu berperan dengan maksimal dan menguatkan cerita di film ini.
Lebih dari Sekedar Film Zombi
Pada 37 menit pertama film ini benar-benar diproses dengan kamera handheld layaknya syuting acara reality show dan diproses dalam satu single take atau pengambilan gambar tunggal secara terus menerus tanpa cut. Bahkan teknik single take tanpa editan CGI ini melebihi film Touch of Evil nya Orson Welles yang melakukan teknik single take selama 11 menit.Â
Di fase 37 menit single take ini, unsur horor diutamakan karena menampilkan banyak darah dan adegan kekerasan lainnya. Namun setelah adegan penutup film tersebut muncul, tombol reset seakan ditekan dan membawa kita ke cerita 1 bulan sebelum film horror murahan tersebut diproduksi hingga ke proses syutingnya.Â
Proses syutingnya pun ternyata banyak kesalahan dan tak sesuai skripnya. Namun semuanya berhasil menyatu menjadi film utuh dan prosesnya ditampilkan dengan adegan komedi segar dan komikal khas Jepang yang benar-benar mengocok perut.
Sisi emosional terkait hubungan antara sang sutradara dengan anak semata wayangnya pun ditampilkan dengan porsi yang cukup dan menjadi titik balik produksi film tersebut nantinya. Bahkan komedi satire yang sekaligus menjadi pelajaran akan realita pertelevisian serta proses kerja para kru pembuat film selama syuting berlangsung, menjadi sebuah visualisasi yang unik dan menyegarkan dari film ini.
Dengan ditampilkannya kejadian serta realita di depan serta di belakang kamera, jelas film ini tidak hanya menyuguhkan cerita untuk para penikmat film saja. Film ini jelas dibuat juga sebagai bentuk penghormatan bagi segenap kru film di seluruh dunia.Â
Sindiran Acara Televisi dalam Komedi Satire yang Kuat
Adegan saat sang sutradara melawan keputusan produser terkait bagaimana ending film ini harus berjalan namun pada akhirnya menemui jalan buntu, juga merupakan sindiran bahwa seidealis apapun seorang sutradara pada akhirnya akan kalah dengan keputusan manajemen televisi yang lebih mementingkan rating dibanding isi. Sebuah sindiran dalam balutan komedi satir yang tentunya relevan dengan perkembangan pertelevisian saat ini.
Penutup
Dengan membayar harga 1 tiket bioskop, kita tidak hanya disuguhi sebuah film horor menggigit dengan tampilan produksi murahan ala film kelas B, namun juga kisah drama kehidupan dan komedi satir yang cerdas serta mengocok perut sejak pertengahan hingga akhir film. Tak hanya itu, sajian movieception nya juga membuat kita geleng-geleng kepala dan tak ragu untuk berdecak kagum serta bertepuk tangan pada beberapa adegannya.
Sepantauan saya, film ini masih ditayangkan sejak seminggu lalu hingga hari ini di jaringan bioskop CGV, Cinemaxx dan Flix. Namun jika kelewatan, film ini masih bisa ditonton di gelaran Japan Film Festival tanggal 15 Desember 2018. Silakan cek jadwal tayangnya dan pesan tiketnya, karena sayang sekali jika melewatkan film yang sungguh ciamik ini.
Sebenarnya nilai atau rating film sudah tidak pernah lagi disematkan dalam tulisan review film saya. Karena sejatinya nilai sebuah film itu tergantung persepsi dan selera orang yang menonton. Namun khusus film ini, saya sematkan nilai pribadi dari saya.
Ya, saya memberikan nilai 8,5/10 untuk filmnya yang benar-benar segar dan menggugah. Karena sejatinya nilai 9 hanya milik Steven Spielberg dan Christopher Nolan semata, heuheuheu.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H