Film ini didedikasikan untuk yang berani bermimpi akan masa depan yang lebih menghargai perbedaan- Film Pria
Rabu pagi sebelum saya berangkat ke kantor, kebetulan saya menyempatkan diri sejenak untuk membuka aplikasi Youtube. Pencarian beberapa video sebagai mood booster sebelum bekerja, pada akhirnya menuntun saya kepada video yang cukup unik dan menarik. Adapun pesan pembuka videonya yang cukup kuat saya sertakan di awal tulisan ini.
Video yang merupakan film pendek karya sutradara Yudho Aditya tersebut, ternyata merupakan video yang sudah diunggah satu tahun lalu atau November 2017. Namun entah mengapa video tersebut masuk ke dalam kategori video pilihan dari Youtube untuk saya pagi itu.
Adalah Pria judul film pendek karya Yudho Aditya tersebut. Dilihat dari data pada situs iMdb.com, film ini meraih 10 penghargaan dari total 23 nominasi yang diterimanya dari berbagai ajang penghargaan film Internasional.Â
Hawaiian International Film Festival, Festival Film Rio de Janeiro, hingga VC FilmFest merupakan beberapa nama festival film yang dimenangi Yudho Aditya dan film Pria nya.
Yudho yang juga tercatat sebagai mahasiswa dalam program Master of Fine Arts di Columbia University, Amerika Serikat memang sering mengambil tema drama LGBT dalam proyek-proyek film pendeknya.Â
Tema yang sejatinya memang menjadi bahasan Internasional seperti seruan gerakan anti homofobik, seruan toleransi atas nama kemanusiaan hingga pengesahan pernikahan sesama jenis ini memang menjadi topik yang cukup hangat meskipun tak sedikit yang memicu kontroversi dan silang pendapat apalagi jika digabungkan dengan ranah Agama.
Lewat film Pria, Yudho mencoba tema LGBT dalam pendekatan kultur Indonesia setelah di film-film sebelumnya Yudho menampilkan tema LGBT yang lebih universal. Ruang lingkup yang lebih kecil itulah yang kemudian menjadikan film ini lebih memiliki kejujuran dalam bertutur serta makna dan kisah yang lebih kuat dan dalam dibandingkan film-film Yudho sebelumnya.Â
Yudho yang berani menembus batasan akan hal yang dianggap tabu mayoritas penduduk Indonesia, pada akhirnya berhasil melahirkan sebuah karya yang sarat pesan kemanusiaan walaupun tak luput dari serangan berbagai macam pihak yang mengecam eksistensi LGBT di Indonesia. Tak hanya kecaman terhadap LGBT, kecaman terhadap sutradara dan jajaran kru filmnya pun tak luput dari sasaran. Tak percaya? Baca saja kolom komentar Youtube film ini.
Tentang Film Pria
Pertanyaan demi pertanyaan dalam hatinya pun muncul seiring dengan segeranya dia menjadi suami untuk wanita yang mungkin tidak dicintainya. Pertanyaan tentang apa itu arti bahagia sebenarnya, apa itu arti cinta hingga apa arti pria sebenarnya bergantian muncul di kepalanya.
Tekanan yang muncul dari orangtua, calon mertua hingga calon istrinya pada akhirnya membawa Aris kedalam situasi tak menentu. Emosinya pun bergejolak, siap memuntahkan berbagai partikel sedih, cemas dan marah dalam satu kesatuan, membentuk satu ledakan dahsyat. Ledakan yang pada akhirnya memberinya jawaban akan apa arti pria sebenarnya.
Sinematografi Mengagumkan
Pemandangan sawah dan perbukitan khas pedesaan yang diambil dengan teknik melebar dan sesekali mengikuti gerakan sang tokoh utama menjadi salah satu adegan pembuka film yang cukup epik dan menggetarkan. Tidak heboh, namun cukup membawa pesan yang kuat pada film serta nostalgia suasana pedesaan bagi siapapun yang menyaksikannya.
Pun dengan cerdas Eun-ah Lee menghasilkan dramatisasi lebih dalam film ini berkat dominannya teknik pengambilan gambar jarak dekat untuk memperlihatkan detail mimik wajah dan emosi karakternya yang memang menjadi sajian utama film ini. Maka tak heran, film ini sukses menghasilkan beberapa adegan yang menguras emosi penontonnya termasuk (ehem)adegan ciumannya yang cukup berani.
Akting Berkelas dari Chicco Kurniawan
Namun di film ini, Chicco menunjukkan kelasnya dengan berani mengambil peran yang cukup kontroversial. Peran sebagai gay jelas bukan perkara mudah, mengingat stereotip negatifnya yang tersemat di negeri ini. Namun, Chicco benar-benar tampil meyakinkan dan mendalami peran ini hingga dinominasikan sebagai aktor terbaik dalam 2 ajang festival film Internasional meskipun urung dimenangkannya.
Peran Chicco sebagai pria penyuka sesama jenis ditampilkan dengan cukup natural. Tak perlu menggunakan gambaran umum seperti ultra melambai, laki-laki berotot khas member gym atau berbusana warna-warni layaknya wanita, Chicco menunjukkan tokoh Aris yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan cara yang cukup elegan. Hanya dengan memainkan sedikit mimik wajah, gestur tubuh ditambah unsur emosional pada beberapa konflik, karakter Aris pun langsung bisa diketahui memiliki orientasi seksual yang berbeda dari pria pada umumnya meskipun busana serta tingkah lakunya masih khas pria desa.
Lebih dari Sekedar Film tentang LGBT
Pria jelas menyajikan film yang lebih dari sekedar film bertema LGBT. Ada begitu banyak pesan yang terkandung di dalamnya yang bisa diambil nilainya oleh siapapun.
Film ini pun banyak menyindir dengan cerdas beberapa tradisi yang melekat pada masyarakat Indonesia. Seperti perjodohan, pernikahan di usia muda yang kerap dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan serta beratnya tuntutan yang dilimpahkan ke tiap anak laki-laki untuk mendatangkan kebahagiaan bagi keluarganya meskipun belum tentu menghadirkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Disinilah seharusnya orangtua berperan lebih banyak dengan cara lebih peka terhadap perbedaan perilaku anak sejak dini. Sehingga nantinya orangtua bisa memilih seperti apa penanganan yang tepat dalam menghadapi anak seperti itu. Dan sikap orangtua terhadap Aris inilah yang coba dijelaskan dengan ringkas pada satu adegan yang singkat.
Pantas Menjadi Film Pendek Terbaik
Jujur saja, tak banyak film pendek yang saya saksikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena terbatasnya platform penayangan. Namun dengan berbagai poin positif mulai dari kekuatan naskah hingga sajian visual yang memanjakan mata, film ini layak menjadi salah satu film pendek terbaik yang bisa disandingkan dengan film pendek dalam negeri semacam Jalanin Aja, Rotasi, Matchalatte hingga Maryam.
Pun tema film seperti ini sangat cocok diangkat menjadi film penuh suatu saat, menandingi film-film LGBT-nya Hollywood semisal Brokeback Mountain, The Danish Girl bahkan Moonlight yang memenangi Best Picture. Atau menjadi salah satu bagian omnibus film dalam tema toleransi misalnya. Ya, meskipun pastinya menimbulkan kontroversi dan penolakan masif di negara ini.
Penutup
Setidaknya kita bisa ikut belajar mengenai pikiran, perasaan serta latar belakang apa yang mempengaruhi seseorang hingga akhirnya mengubah orientasi seksualnya. Sehingga kita pun bisa menyikapinya dengan tepat dan memandang mereka tetap sebagai manusia.
Apalagi baru-baru ini muncul perda di satu wilayah yang semakin memojokkan LGBT di daerah tersebut. Maka menyaksikan film ini tentu akan membuka wawasan baru kita seputar orang-orang dengan orientasi seksual seperti itu. Karena jika kita tidak bisa menerima mereka dari sisi agama, setidaknya terimalah mereka dari sisi kemanusiaan.Â
Jika kita merasa apa yang mereka lakukan salah, maka lakukanlah pendekatan yang lebih manusiawi untuk "mengembalikan" jalan mereka. Bukan dengan cara memperlakukan mereka layaknya seorang penjahat yang meresahkan bahkan mengancam stabilitas negara.
Oh iya, bagi yang ingin menyaksikan film ini, sila kunjungi akun Youtube Yudho Aditya atau melalui link video yang saya sertakan di akhir tulisan ini. Selamat menonton, selamat belajar.
Salam kompasiana.