Keberadaan gawai saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok hampir setiap orang. Selain karena berbagai fungsinya yang luar biasa canggih dan memudahkan segala urusan, gawai juga menjadi semacam tempat penyimpanan terbaik bagi segala hal yang berkaitan dengan privasi seseorang. Entah itu foto, video, nomor kontak hingga histori situs-situs kesayangan semua bisa tersimpan dengan aman didalam gawai yang kita miliki.
Namun apa jadinya jika privasi yang ada di dalam gawai milik kita harus dibuka secara paksa dalam sebuah obrolan di meja makan? Pasti tidak nyaman bukan? Narasi inilah yang kemudian coba diangkat oleh sutradara asal Perancis Fred Cavaye dalam film dark comedy berjudul Le Jeu atau dalam bahasa Inggrisnya berjudul Nothing to Hide yang dirilis bulan November ini.
Film ini yang juga sempat ditayangkan di Indonesia lewat gelaran festival film Europe on Screen di awal tahun 2018 ini, memperoleh pendapatan 30 juta dollar AS dari penayangannya di Italia dan Spanyol, padahal budget film ini hanya 3 Juta dollar AS. Hal itulah yang menyebabkan film tersebut diadaptasi ke versi berbahasa Perancis yang kemudian produksi dan distribusi internasionalnya dibantu oleh Netflix.
Masih menggunakan narasi yang sama yaitu sisi gelap sebuah gawai dan privasi didalamnya yang mempengaruhi hubungan persahabatan, film ini menyajikan sebuah cerita ringan yang mengalir dengan lembut sembari mengkritisi arti sebenarnya dari sebuah privasi dan persahabatan itu sendiri.
Sinopsis
Marie yang nampak gerah karena masing-masing sibuk beraktifitas dengan gawainya, mengusulkan untuk memainkan permainan dengan cara meletakkan semua gawai mereka di atas meja makan. Nantinya, permainan tersebut menerapkan aturan bahwa semua notifikasi yang masuk baik itu telepon, sms, facebook chat dan video call harus diangkat atau dibacakan bersama-sama.
Semula hal tersebut tidak ada masalah meskipun Vincent sempat melakukan prank ke Thomas dengan cara berpura-pura sebagai perempuan simpanannya.Â
Namun semua mulai berubah ketika Marco meminta pertukaran smartphonenya dengan Ben yang kebetulan modelnya sama. Marco yang selama ini selalu dikirimi foto berbau porno di jam-jam tertentu oleh selingkuhannya, memaksa Ben untuk bertukar gawai agar tidak ketahuan oleh istrinya. Ben yang awalnya tidak mau, terpaksa harus mengikuti keinginan Marco atas nama persahabatan.
 Namun ternyata apa yang ada di dalam gawai Ben lebih "berbahaya" bagi Marco. Konflik pun mulai memanas dan terbuka rahasia mereka satu per satu. Di sini lah acara makan malam yang hangat berubah seketika menjadi mimpi buruk.
Pengalaman Menonton yang Menyenangkan
Tak bisa dipungkiri, banjir aktor dan aktris kelas atas Perancis di film ini memang membuat film sederhana ini memiliki kualitasnya sendiri. Bérénice Bejo yang terkenal dalam film peraih Best Picture The Artist misalnya, mampu menampilkan akting natural sebagai seorang ibu dan istri yang disayang suaminya namun faktanya tak cukup sempurna bagi dirinya sendiri.
Pun perkembangan kisah masing-masing karakternya dengan kuat disampaikan meskipun hanya melalui dialog sederhana khas obrolan meja makan. Sehingga mulai dari beragam jokes ringan yang mengawali  acara makan malam tersebut hingga kepada konflik yang memainkan emosi, semuanya ditampilkan dengan interval yang pas.
Pun kita akan disuguhi ekspresi kaget, frustrasi serta khawatir yang cukup natural ketika sebuah gawai mengeluarkan suara notifikasinya. Ekspresi yang sejatinya merupakan faktor minor kelak menjadi penentu atas tindakan apa yang terjadi ketika notifikasi terbuka.
Film ini pun menyajikan metafora berupa adanya gerhana bulan yang bersamaan dengan perayaan makan malam tersebut.Selubung gelap gerhana yang semakin lama semakin terbuka seiring dengan rahasia masing-masing peserta makan malam yang makin terbuka.
Sederhana Namun Penuh Arti
Atau memang privasi tetap dibutuhkan untuk mencapai sebuah hubungan yang lebih berkualitas? Tentu penonton sendiri yang bisa menyimpulkan. Karena layaknya film-film Eropa yang selalu memberikan akhir cerita penuh pertanyaan, film ini pun menyajikan sebuah akhir yang bisa diambil sendiri kesimpulannya oleh masing-masing penonton.
Layaknya permainan Russian Roullette yang meneror pemainnya dengan sebuah pistol, gawai di film ini merupakan interpretasi modern dari permainan Russian Roullette itu sendiri. Bedanya, gawai di film ini menghasilkan efek domino yang jauh lebih besar dari sebuah pistol. Karena bukan hanya "mematikan" jati diri seseorang, namun juga membuka kisah yang kelam serta membuka pandangan seseorang terhadap sebuah hal yang dianggap tabu.
Kepiawaian Fred Cavaye Meramu Cerita yang Cukup Dalam
Ada satu adegan yang cukup menguras emosi di film ini. Adegan dimana Vincent harus mengangkat telepon dari anak perempuan semata wayangnya yang beranjak dewasa. Pembicaraan yang juga didengar seluruh peserta makan malam itu berubah menjadi momen haru dan penuh pelajaran terkait pandangan orangtua terhadap budaya hubungan sex remaja di Eropa.Â
Sang anak meminta saran kepada Vincent akan apa yang harus dilakukannya terkait ajakan menginap di rumah kekasihnya yang kebetulan sedang tidak ada orangtuanya di rumah. Sang anak takut harus mengiyakan atau menolak. Menolak berarti membuat hubungannya menjadi renggang, sementara jika mengiyakan dirinya pun belum siap melakukan hubungan tersebut. Kegalauan sang anak yang kemudian dijawab dengan cukup bijak oleh Vincent sebagai berikut;
"Sampai kapanpun kau tetap kuanggap sebagai putri kecil Ayah. Dan aku tentu akan bilang jangan lakukan jika kau masih kuanggap anak-anak. Namun kau saat ini sudah dewasa dan bukan menjadi hak ku lagi untuk menentukan segala keputusan yang akan kau lakukan. Namun aku hanya bisa berpesan, jika kau yakin akan keputusanmu maka kau jawab iya, jika tidak maka jangan. Percayalah, akan selalu ada yang pertama untuk melakukan hal tersebut. Namun kau harus melakukannya dengan orang yang benar-benar kau cintai seumur hidupmu."
Penutup
Film ini jelas bukan film konsumsi semua umur dan ditujukan untuk penonton dewasa. Hal ini karena banyaknya konten dewasa seperti konten seksual yang muncul dalam obrolan dan jokes ringan, isu perselingkuhan, hubungan sesama jenis dan perselisihan keluarga yang cukup kompleks yang juga menjadi salah satu unsur utama film ini.
Le Jeu tidak memberikan akhir kisah yang memberikan kita pemahaman atau pencerahan baru seputar sisi gelap gawai atau penting tidaknya sebuah rahasia bagi suatu hubungan. Le Jeu membiarkan kita mengambil sendiri kesimpulan dari keseluruhan konflik yang tercipta bahkan mempersilakan kita untuk introspeksi diri kalau-kalau ada hal yang ternyata cukup mengena terhadap pribadi kita.
Hanya saja, narasi yang relevan dengan keadaan saat ini memang cukup membuat film ini menjadi film yang wajib masuk daftar tonton oleh siapapun yang usianya sudah mencukupi untuk menerima gelapnya komedi dan vulgarnya obrolan di sepanjang film ini.Â
Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa diambil setelah selesai menyaksikan film ini. Juga semakin membuka pandangan kita terhadap sisi positif-negatif gawai dan perlakuan terhadap privasi yang terkandung didalamnya.
Gawai oh gawai. Kehadiranmu memang bak pedang bermata dua.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H