Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Ballad of Buster Scruggs", Sajian Antologi Kematian ala Coen Brothers

21 November 2018   17:20 Diperbarui: 21 November 2018   17:25 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian bagi banyak orang tentu merupakan suatu hal yang menakutkan dan tabu untuk dibicarakan. Entah itu bahasan tentang kejadian yang menyebabkan kematian, waktu kedatangan kematian atau mungkin kehidupan setelah kematian itu sendiri. Semuanya merupakan bahasan yang sangat jarang dibicarakan bahkan cukup dijauhi banyak orang.

Namun di tangan Coen Brothers, justru kematian lah yang menjadi bahasan dan menu utama pada film terbaru mereka. Kematian digambarkan Coen Brothers dengan  cara yang lebih "fun" lewat pendekatan cerita yang berbeda-beda dan penuh filosofi. Entah itu dark comedy, musikal, drama tragis, drama romantis hingga kisah surealis semuanya disatukan dalam antologi 6 film berlatar Amerika zaman koboi atau dikenal dengan sebutan old west, berjudul The Ballad of Buster Scruggs.

Ethan Coen & Joel Coen (filminquiry.com)
Ethan Coen & Joel Coen (filminquiry.com)
Ethan Coen dan Joel Coen yang hampir selalu bersama dalam produksi sebuah film, entah itu sebagai sutradara, produser atau penulis naskah, mencoba sebuah warna baru dalam film ini. Sebelumnya Coen Brothers sudah lebih dulu dikenal lewat film-filmnya yang selalu memiliki kualitas tinggi. 

Sebut saja Fargo(1996)yang merupakan drama thriller dan sempat disajikan versi alternatifnya dalam bentuk miniseri di tahun 2014, kemudian No Country for Old Men(2007) yang nampaknya menjadi film wajib bagi setiap penggemar film, kemudian True Grit(2010) yang juga menceritakan kisah zaman koboi, serta menulis naskah yang memukau untuk film yang disutradari Angelina Jolie berjudul Unbroken(2014).

Dengan membawa kekuatan naskah dan teknik penyutradaraan yang cukup tinggi, The Ballad of Buster Scruggs mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda dari yang selama ini disajikan oleh Coen Brothers. Sesuatu yang mengalir dengan lembut namun kuat di satu sisi layaknya lagu balada klasik yang kita dengarkan setiap hari.

The Ballad of Buster Scruggs dan 6 Segmen di Dalamnya

Hollywoodreporter.com
Hollywoodreporter.com

The Ballad of Buster Scruggs menyajikan 6 segmen film pendek dengan kisah yang tidak berhubungan satu dengan lainnya, namun disatukan oleh dua poin utama yaitu kematian dan latar Amerika zaman koboi. Menyajikan kisah old west dalam berbagai sudut pandang dengan kematian sebagai roda penggerak tiap segmen.

6 segmen tersebut antara lain berjudul The Ballad of Buster Scruggs, Near Algodones, Meal Ticket, All Gold Canyon, The Gal Who Got Rattled dan The Mortal Remains. Semuanya disajikan dalam satu film berdurasi 135 menit dengan tiap segmennya diawali dengan visualisasi halaman buku bergambar layaknya buku anak-anak klasik. Hal tersebut membuat kita seperti membaca halaman demi halaman buku tua dimana tulisan demi tulisan kisahnya divisualisasikan kemudian.

Konon, film ini awalnya dijadikan proyek miniseri untuk Netflix sebelum akhirnya diputuskan menjadi sebuah film antologi. Belakangan keputusan ini cukup tepat karena berhasil menyajikan sebuah film yang unik.

Sinopsis

Segmen
Segmen

Segmen pertama berjudul The Ballad of Buster Scruggs. Tim Blake Nelson memerankan sosok koboi yang suka menyanyi dan dijuluki "The San Saba Songbird". Kecepatannya dalam menembak membuat dia disegani oleh berbagai penjahat di berbagai kota hingga banyak yang mengajaknya berduel untuk menentukan siapa yang terhebat. Pun dirinya selalu sesumbar akan skill yang dimiliki dengan selalu bernyanyi dan mengejek tiap membereskan lawannya. Meskipun pada akhirnya, sesumbarnya itu membawanya kedalam kematian.

Segmen ini bisa dibilang merupakan segmen yang paling segar dan unik. Menyajikan gabungan musikal dan latar koboi serta Tim Blake Nelson yang bisa berkomunikasi dengan penonton layaknya Deadpool atau dikenal dengan sebutan Breaking the 4th Wall. Praktis segmen ini menyajikan kisah komikal zaman koboi yang kental layaknya sajian kartun Looney Tunes, disamping juga menyajikan adegan kekerasan yang paling tinggi dibandingkan segmen lainnya.

Segmen
Segmen
Kemudian segmen kedua berjudul Near Algodones menceritakan tentang seorang koboi muda(James Franco)yang mencoba merampok bank. Dimana si Teller(Stephen Root) kemudian melawannya dengan menggunakan armor dari peralatan dapur. Si koboi muda itu pun berhasil ditangkap si teller sebelum kemudian diselamatkan orang lain hanya untuk lebih dekat dengan ajalnya.

Segmen ketiga yang berjudul Meal Ticket merupakan kisah yang sangat kelam juga mengkritisi dunia hiburan saat ini yang dengan mudahnya "mematikan" karir seseorang dan menggantinya dengan orang baru.

Bercerita tentang pemilik teater berjalan(Liam Neeson) dan penyairnya yang seorang disabilitas (Harry Melling), dimana telah menemui senjakala performa. Pendapatan shownya dari penceritaan ulang karya-karya Shakespeare ataupun kisah Alkitab seperti Kain dan Habel tidak pernah banyak lagi. Justru show tandingan yang hanya berupa seekor ayam penebak angka, lebih diminati banyak orang. Disinilah menjadi konflik keputusan si pemilik dan penyair, yang kemudian harus melibatkan kematian.

Segmen
Segmen
Kemudian ada sajian drama one man show yang sangat memikat lewat segmen All Gold Canyon. Tom Waits memerankan sosok penambang tua yang disebut The Prospector yang setiap harinya berjuang mencari emas.

Kerja keras dan kesabarannya dalam mencari pusat emas pada akhirnya justru mendekatkan dirinya pada kematian. Seorang pengelana jalanan yang mengetahui kegiatan menggalinya, menodongkan pistolnya untuk merebut emas-emas tersebut. Kematian disini pun akhirnya menjadi sangat dekat. Bukan hanya bagi si prospector, namun juga bagi si penodong pistol tersebut.

Segmen kelima yang berjudul The Gal Who Got Rattled merupakan kisah paling romantis namun juga tragis di film ini. Bercerita tentang Alice Longabauch(Zoe Kazan) bersama kakaknya, Gilbert(Jefferson Mays)dalam perjalanan ke Oregon untuk urusan bisnis dan juga perjodohan Alice. Di tengah perjalanan Gilbert justru meninggal karena kolera.

Disinilah konflik mulai muncul apakah Alice harus kembali atau meneruskan perjalanan tanpa kakaknya. Sementara di perjalanan tersebut Alice juga akhirnya bertemu dengan pria yang nampak akan jadi cinta sejatinya, Billy Knapp(Bill Heck). Billy yang memiliki niat baik serta memiliki kepribadian yang membuat Alice jatuh cinta, kelak harus menerima kenyataan akan Alice yang jauh lebih pahit daripada yang Alice rasakan kala melihat kepergian kakaknya.

Lalu pada segmen terakhir berjudul The Mortal Remains, Coen Brothers menyajikan kisah surealis penuh filosofi. Berkisah tentang seorang wanita(Tyne Daly), seorang Trapper atau penjebak hewan liar(Chelcie Ross), seorang pria Perancis(Saul Rubenik), seorang pria Irlandia(Brendan Gleeson) dan seorang pria Inggris( Jojo O'Neill) yang bersama-sama menaiki sebuah kereta kuda dalam perjalanan satu arah tanpa tiket kembali. Sebuah perjalanan ke dalam alam maut.

Pria Perancis, Trapper dan Wanita saling berdebat tentang sifat manusia. Sang wanita yang merupakan sosok relijius melihat manusia hanya dalam batasan pendosa dan orang benar, Trapper melihat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang yang diburu dan dikulitinya, sementara si Pria Perancis melihat bahwa setiap manusia bisa dirubah tergantung keinginan dan keadaan di sekelilingnya. 

Benar atau tidaknya argumentasi mereka, pada akhirnya di tengah perjalanan si pria Inggris dan Irlandia mengaku bahwa mereka adalah pemburu bayaran yang membawa korbannya di atas kereta kuda. Dengan mengatakan bahwa apapun pandangan tentang manusia, manusia tidak bisa mengelak dan berdebat dari yang namanya kematian. Dan semuanya lebih terbuka saat mereka sampai di hotel yang merupakan tujuan akhir mereka.

Visualisasi Terbaik dari Coen Brothers

Pitchfork.com
Pitchfork.com

Meskipun sudah memperoleh banyak penghargaan bergengsi dari berbagai festival film dunia berkat film-film terdahulu yang diproduksinya, tak bisa dipungkiri The Ballad of Buster Scruggs merupakan salah satu film terbaik yang pernah digarap Coen Brothers. Bukan hanya karena mampu memvisualisasikan bahasan yang dianggap tabu, namun juga kemampuannya menyatukan 6 cerita berbeda warna menjadi satu kesatuan kisah yang harmonis, yang membuat kita betah duduk menyaksikan selama dua jam lebih.

Meskipun film ini tergolong film art atau nyeni dimana sejatinya bukan tipikal film konsumsi umum, namun berkat narasi yang diolah dengan sederhana film ini mampu menyampaikan setiap pesan dalam cerita dengan cukup kuat bahkan untuk segmen yang penuh dengan filosofi tinggi sekalipun. Singkatnya, film ini mampu dinikmati semua penikmat film tak terkecuali.

Visualisasi film ini juga merupakan salah satu yang terbaik tahun ini. Sinematografer Bruno Delbonnel yang prestasinya sudah dikenal lewat film-film Coen Brothers terdahulu serta film Darkest Hour yang banjir kritik positif, menyajikan kelasnya lagi di film ini. Visinya dalam menentukan sudut pengambilan gambar terbaik patut diapresiasi.

Banyak tampilan landscape yang luar biasa serta mendominasi film ini berkat teknik pengambilan gambar wide shot yang digunakannya pada latar padang tandus serta perbukitan yang dialiri sungai. Hal tersebut seakan menghipnotis kita akan keindahan alam zaman itu. Persis seperti kita yang terhipnotis pemandangan indah Sumba dalam film western lokal, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak.

 Selain itu kesan sinematik nan artistik juga dengan apik ditampilkan berkat kepiawaian Bruno memainkan sudut pandang kamera yang dipadu dengan CGI minimalis di beberapa adegan.

Gambaran Klasik Dunia Koboi

Geektyrant.com
Geektyrant.com

Coen Brothers juga tetap mempertahankan aspek umum dari gambaran dunia koboi zaman old west. Bar dengan pintu koboi khasnya, wardrobe khas dunia koboi, para jawara tembak yang memenuhi meja bartender hingga latar berdebu khas zaman old west semuanya ditampilkan dengan detail yang sempurna. Hanya saja suku Indian yang biasanya menjadi antagonis di film koboi Hollywood, kali ini ditampilkan Coen Brothers lebih manusiawi dan logis dengan menjadikan mereka bagian dari rantai peradaban yang kelak mempengaruhi perubahan kebudayaan Amerika itu sendiri.

Setiap Segmennya Begitu Mengena

Screenrant.com
Screenrant.com

Mengutip bahasa yang sering digunakan Joko Anwar, setiap segmen film ini terasa begitu gremet-gremet. Ya, setiap segmennya terasa begitu mengena karena setiap kejadian yang dikisahkan terasa relevan dan meninggalkan pesan yang kuat dibalik setiap kisah kematian yang muncul.

Masing-masing aktor yang dipercayakan untuk menghidupi tiap segmennya juga tidak ada yang mengecewakan. Si aktor mampu menghidupkan tiap segmen yang ada sementara kisah pada tiap segmen itu sendiri mampu mengeluarkan potensi maksimal dari masing-masing aktor.

Meskipun tone film ini gelap, namun bukan berarti tidak bisa menjadi karya seni yang menyenangkan. Layaknya sebuah lagu balada yang menggugah, tiap segmen film ini menghasilkan irama yang menarik dalam tiap interval kisah yang ada. Sehingga semua segmen seakan menghasilkan melodi serta harmonisasi yang apik yang kemudian ditutup dengan punchline yang maksimal lewat segmen akhir film ini. Segmen akhir sebuah balada yang membuat kita tertegun sesaat untuk merasakan lebih dalam lagi karya megah dari Coen Brothers ini.

Karya megah yang telah diakui dunia lewat berbagai penghargaan dan penghormatan yang diterimanya di ajang Venice Film Festival, New York Film Festival, London Film Festival dan Adelaide Film Festival.

Penutup

Geekofdoom.com
Geekofdoom.com

The Ballad of Buster Scruggs jelas bukan film yang bisa dinikmati bersama popcorn dan segelas minuman bersoda. Juga bukan film yang bisa ditinggal sejenak untuk pergi ke kamar kecil atau memasak makan malam. Perlu waktu khusus untuk menikmati segmen demi segmen, juga tiap detail kecil dalam penceritaannya.

Bahkan tulisan ini pun tidak cukup detail untuk bisa menggambarkan pengalaman menyaksikan balada koboi ini. Karena memang banyak sekali momen yang hanya bisa dirasakan tanpa bisa ditafsir melalui tulisan.

Saran saya, luangkanlah waktu sejenak untuk menyaksikan film yang sangat layak tonton ini. Beruntung di Indonesia film ini diedarkan lewat Netflix sejak 16 November lalu. Jadi kalau anda memang tipikal mudah beser dan tidak tahan lapar, ya mungkin bisa pause sejenak film ini untuk menyelesaikan segala urusan. Meskipun memang sensasinya tidak akan sama lagi, heuheuheu.

Selamat menonton. Selamat menikmati sajian antologi balada kematian khas Coen Brothers.

Salam Kompasiana.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun