Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Koes Plus dan Film Biopik Musisi yang Perlu Digarap Lebih Matang

6 November 2018   00:13 Diperbarui: 6 November 2018   19:50 1667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak lama musik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari industri film. Entah sebagai lagu pendukung suatu film melalui soundtrack, ataupun musik dalam film itu sendiri atau biasa disebut dengan scoring. 

Film pun berperan besar dalam perkembangan industri musik dunia. Melalui film, sajian dokumenter konser musik bisa ditampilkan dengan visualisasi yang lebih jelas dan utuh, bahkan melebihi pengalaman menonton konser secara langsung.

Melalui film juga, kisah para musisi dunia yang menginspirasi bisa disajikan ke publik dan memberikan manfaat pengetahuan yang baru bagi siapapun yang menyaksikannya.

Berbicara tentang film yang mengangkat biografi musisi, sejatinya sudah menjadi hal yang sangat lazim pada industri film Hollywood. 

Sebut saja Walk the Line yang mengangkat kisah Johnny Cash, Ray yang menceritakan Ray Charles, serta biopik band The Doors yang dibintangi Val Kilmer. Bahkan di tahun ini, sudah ada Bohemian Rhapsody yang mengisahkan perjalanan band Queen serta Rocketman di tahun depan yang mengisahkan perjalanan karir Elton John.

Namun di Indonesia, tercatat baru film Chrisye yang merupakan biopik musisi legendaris Indonesia. Karena untuk urusan biopik, industri film Indonesia nampaknya masih lebih tertarik mengangkat kisah pahlawan nasional dan public figure non musisi.

Sebut saja biopik Soekarno, Habibie, Soegija, Kartini, Merry Riana hingga yang terbaru nanti Ahok, semuanya digarap ke dalam layar lebar.

Proyek Koes Plus Diumumkan

Detiksumsel.com
Detiksumsel.com
Lewat laman instagramnya beberapa waktu lalu, rumah produksi Falcon Pictures memberikan informasi proyek terbaru mereka yang cukup mencuri perhatian. Ya, kabar tersebut merupakan proyek film biopik band Koes Plus yang akan segera dirilis meskipun belum diketahui kapan tanggal pastinya.

Tak hanya Koes Plus, Dara Puspita yang merupakan band wanita pertama Indonesia yang juga dikenal di Eropa kala itu juga ikut dikembangkan.

Dara Puspita (thejakartapost.com)
Dara Puspita (thejakartapost.com)
Rencananya, film yang mengisahkan band wanita yang terkenal berkat penampilannya sebagai pembuka konser Koes Bersaudara medio 60-an tersebut akan menjadi film dalam semesta Koes Plus. Tentu saja diharapkan akan ada hubungan antara film Dara Puspita dan Koes Plus kelak.

Sebagai penonton, sejatinya kita diuntungkan berkat semakin beragamnya genre film dan sajian biopik musisi nasional yang lebih banyak.

Namun tentu banyak yang kita harapkan dari sebuah film biopik musisi khususnya film Koes Plus dan Dara Puspita kelak. Harapan agar nantinya film ini bukan hanya dirilis sebagai tren semata, namun juga sebagai pijakan yang kokoh bagi masa depan film biopik musisi tanah air.

Perlu Riset Mendalam dan Cukup Lama

Visualindonesia.com
Visualindonesia.com
Tentu perlu riset mendalam untuk menghasilkan film biopik musisi yang berkualitas. Bukan berarti film biopik pahlawan nasional serta public figure lainnya tidak memerlukan riset mendalam untuk menghasilkan film yang baik, hanya saja memvisualisasikan kehidupan seorang musisi menurut saya jauh lebih kompleks. 

Selain akurasi perjalanan karir yang sudah jadi konsumsi publik sehingga tidak boleh melenceng jauh, drama kehidupan pun harus digali lebih dalam. Si pemeran utama pun wajib mendalami ilmu bermusiknya untuk menghasilkan karakter yang otentik.

Jika melihat apa yang dikerjakan Hollywood pada film biopik khususnya biopik musisi, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangannya jelas tidak sebentar.

Ray membutuhkan 15 tahun pengerjaan filmnya. Walk the Line yang dirilis tahun 2005, perencanaannya sudah sejak tahun 1997. Pun Bohemian Rhapsody sudah sejak 2010 memulai pengembangan filmnya.

Jamie Foxx di Ray (rogerebert.com)
Jamie Foxx di Ray (rogerebert.com)
Waktu yang cukup lama tersebut sebagian besar digunakan untuk riset, pengumpulan dana untuk menghasilkan rekayasa set sesuai tahun penceritaan si musisi, latihan musik bagi si aktor/aktris, hingga penentuan sudut pandang apa yang diambil untuk filmnya kelak. 

Lihat saja bagaimana waktu satu tahun digunakan Rami Malek untuk belajar bernyanyi dan bermain piano sebelum produksi film Bohemian Rhapsody dimulai.

Meskipun di film tersebut dia lipsync, namun hasil latihan intensnya jelas membuat cara dia bernyanyi dan bermain piano tampak otentik dan meyakinkan layaknya musisi asli. Padahal Rami tidak bisa bermain musik sama sekali sebelumnya.

Bandingkan dengan waktu produksi yang dibutuhkan film Chrisye garapan Rizal Mantovani. Rencana ke publik mengenai film tersebut disampaikan di tahun 2016, kemudian produksinya pun dilakukan tak jauh dari itu.

Tahun 2017, filmnya tiba-tiba sudah keluar. Bahkan menurut info yang didapat dari beberapa laman berita online, Vino G. Bastian yang didapuk memerankan almarhum Chrisye tersebut hanya memiliki waktu 2 bulan untuk riset mendalam.

Hasilnya jelas sudah bisa ditebak. Chrisye tampil kurang memuaskan. Pendalaman cerita pun dangkal sehingga menjadi sebuah biopik yang nampak kehilangan arah. 

Meskipun kisah film ini mengambil sudut pandang sang istri, sejatinya hal tersebut bukan menjadi alasan untuk Chrisye kemudian kehilangan identitas biopik musisi yang dibutuhkan publik.

Tentu hal ini jangan sampai terjadi lagi pada film Koes Plus dan Dara Puspita kelak. Mengingat saat ini, masih dalam tahap pencarian aktor dan aktris yang sesuai untuk memerankan karakter duo band legendaris tanah air tersebut, alangkah baiknya jika rumah produksi Falcon Pictures tidak terburu-buru dalam memproduksi karena (mungkin) terbawa hype Bohemian Rhapsody baru-baru ini. 

Alangkah baiknya prosesnya berjalan lebih lama, namun detail penting sebuah biopik tidak terabaikan. 

Chrisye dan Pengalaman "Jebakan" Kisah Romantis

Solo.tribunnews.com
Solo.tribunnews.com
Tidak hanya Chrisye, sejatinya film biopik tokoh nasional di Indonesia masih sering masuk dalam jebakan kisah romantis. Kisah romantis si tokoh utama jauh lebih dominan dan menarik untuk diselami lebih jauh dibandingkan permasalahan hidup lainnya yang mungkin saja jauh lebih penting. 

Pada film Chrisye contohnya, publik pun sejatinya memerlukan kisah hidup dan perjalanan karir Chrisye di dunia musik yang lebih gamblang, sementara kisah cintanya diharapkan menjadi bumbu penguat si inti cerita.

Namun, alih-alih sosok Chrisye sebagai maestro yang ditonjolkan, film tersebut justru menampilkan Chrisye sebagai sosok suami, ayah dan pria sejati. Itu saja.

Memang film tersebut berasal dari sudut pandang sang istri, hanya saja disinilah riset seharusnya memegang peranan. Riset mendalam jelas memungkinkan sineas mendapatkan sudut pandang lain untuk melengkapi sudut pandang utama, sehingga nantinya akan menghasilkan sebuah penceritaan yang maksimal.

Untuk itulah, jangan sampai Koes Plus terjebak dalam kisah romantis yang lebih dominan. Karena kita tentu menginginkan kisah yang lebih intim dari suatu musisi.

Semisal, bagaimana akhirnya Koes Bersaudara mendapatkan awal ketenarannya, atau kisah dibalik lagu-lagu hits mereka, kisah sulitnya mereka di dapur rekaman yang masih menggunakan teknologi analog, atau mungkin kisah mereka selama dipenjara di era presiden Soekarno.

Dan semuanya itu bisa diwujudkan selama kisah romantis hanya menjadi bumbu pelengkap dalam film, bukan bumbu utama. 

Totalitas Aktor dan Aktris Peran

Aktor dan aktris jelas menjadi garda terdepan dalam menentukan kesuksesan sebuah film biopik. Bukan hanya soal kemiripan fisik, namun juga totalitasnya dalam menghidupi karakter yang dimainkannya.

Jpnn.com
Jpnn.com
Tentu kita tidak ingin melihat karakter Yon Koeswoyo tampak kaku ketika memegang gitar layaknya Chrisye-nya Vino G. Bastian yang terlihat sangat kaku pada adegan memainkan bass. Untuk itulah seorang aktor harus total bahkan belajar musik lebih dulu sebelum dimulainya proses produksi.

Apalagi film yang akan dimainkannya kelak merupakan film biopik musisi legendaris Indonesia. Menguasai alat musik atau teknik bernyanyi jelas merupakan kewajiban yang harus dipenuhi demi menghasilkan film yang otentik dan meyakinkan bagi penonton.

Skenario Harus Maksimal

Seperti yang dikatakan Joko Anwar pada laman sosial medianya, skenario merupakan tulang punggung sebuah film. Tanpa skenario yang baik, film pun akan berjalan tanpa arah.

Jangankan kesimpulan, untuk mendapatkan after taste setelah menyaksikan filmnya pun mungkin tidak bisa didapatkan jika skenarionya buruk.

Rako Prijanto (Muvila.com)
Rako Prijanto (Muvila.com)
Untuk itulah, patut ditunggu bagaimana skenario yang akan dikembangkan untuk film Koes Plus kelak. Koes Plus dinakhodai Rako Prijanto yang sebelumnya sukses menggarap Sang Kiai dan Teman Tapi Menikah.

Peran Rako di kursi sutradara diharapkan mampu memberikan visi terbaiknya bagi film Koes Plus yang digadang-gadang akan menjadi trendsetter film biopik musisi Indonesia di masa depan.

Tantangan Untuk Menggaet Milenial

Tantangan terbesar bagi film Koes Plus adalah bagaimana caranya menggaet milenial untuk datang ke bioskop menyaksikan film biopik sang musisi legendaris tersebut.

Untuk itulah diperlukan deretan pemeran yang mewakili milenial namun juga tak melupakan esensi dasar penggambaran karakter yang dibutuhkan. Selain itu, pemasaran film ini pun harus kreatif agar menarik perhatian milenial.

Jangan sampai berakhir seperti Chrisye yang hanya mendapat penonton di kisaran angka 300 ribu, dimana sebagian besar penonton juga merupakan generasi lawas. Sementara milenial nampaknya tidak terlalu peduli dengan biopik sang maestro tersebut.

Penutup

Pada akhirnya proyek film Koes Plus jelas menjadi angin segar bagi perfilman tanah air. Film biopik musisi jelas dibutuhkan bagi generasi milenial untuk bisa mengetahui kisah inspiratif para musisi lawas yang mungkin belum pernah didengarnya.

Bagi generasi lawas, film biopik musisi jelas menjadi sarana yang ampuh untuk berdendang dan bernostalgia bersama di bioskop.

Penggarapan yang lebih matang jelas sangat diharapkan demi melihat sebuah biopik yang inspiratif, akurat sekaligus menyenangkan. Jangan karena ada potensi bisnis besar dan "terbantu" hype film biopik Hollywood, lantas membuat penggarapannya bak angkutan umum yang kejar setoran.

Patut ditunggu akan seperti apa filmnya kelak. Apakah sukses menjadi role model film-film biopik musisi tanah air di masa depan atau justru tenggelam dalam deretan kritik negatif serta pendapatan yang tidak maksimal?

Tapi yang pasti memerankan Koes Plus tidak boleh main-main. Koes Plus sama sakralnya dengan deretan musisi dunia semisal The Beatles, Queen dan The Doors.

Fans banyak, lagu memikat, serta personil yang karismatik, jelas menjadi poin penting dalam penggarapannya kelak agar kisahnya tidak melenceng jauh. Semoga Falcon mampu memberikan sajian film yang menarik dan akurat.

Jadi bagaimana, tertarik menunggu proyek film Koes Plus ini teman-teman?

Salam kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun