Bagaimana jika koboi yang sudah identik dengan pistol, kuda dan tentunya Amerika digabungkan dengan sejarah dan budaya lokal Indonesia? Tentunya akan menjadi sesuatu yang unik dan menghasilkan versi alternatif dari gambaran Indonesia klasik bukan?
Hal itulah yang coba diangkat oleh Mike Wiluan selaku sutradara film ini. Film ini juga menjadi film debut Mike Wiluan setelah sebelumnya lebih banyak berkutat sebagai produser eksekutif di Infinite Studios dan menghasilkan film-film seperti Rumah Dara (2009), Dead Mine (2012), Serangoon Road (2013) dan Headshot(2016).
Film yang kabarnya sudah dipersiapkan selama 3 tahun ini kemudian mulai dikerjakan secara agresif di tahun 2017 dengan menggandeng Screenplay Films dan Zhao Wei Films. Bersama Infinite Studios, mereka pun bekerjasama dalam memproduksi proyek ambisius film western rasa Jawa ini agar segera bisa dinikmati publik lokal maupun internasional.
Budget puluhan milyar pun konon dipersiapkan rumah produksi film ini untuk menghasilkan set dan sekuen aksi yang western banget. Film seperti The Last Samurai, Django Unchained dan The Magnificent Seven kemudian menjadi referensi Mike untuk membuat atmosfer desa dan penokohannya. Dengan kata lain film ini benar-benar digarap dengan serius agar bisa diterima berbagai kalangan publik.
Sinopsis
Tahun 1860, Kakak beradik Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) serta pamannya Arana (Tio Pakusadewo) bekerja di dunia wild west California. Dalam suatu kejadian di kereta yang pada akhirnya hampir merenggut nyawa Arana, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menuntaskan misi yang belum selesai bertahun-tahun sebelumnya.
Arana muda (Donny Alamsyah) dan kedua keponakannya yang masih kecil kala itu berhasil kabur dari kepungan Kapten Van Trach dan pasukannya dan melarikan diri ke Amerika. Sultan Hamza (Mike Lucock) yang merupakan ayah dari Jamar dan Suwo kemudian menghadapi sendirian Van Trach dan antek-anteknya. Sultan mati dan menyisakan dendam bagi Arana dan kedua keponakannya kelak.
![feedyeti.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/20/images-54-5b515f366ddcae2a60435533.jpeg?t=o&v=770)
Pertemuan Jamar dan Suwo dengan Sri (Mikha Tambayong) dan Suroyo (El Manik) kala membebaskan mereka dari perompak jahat, Fakar( Alex Abbad) kemudian menuntun Jamar dan Suwo ke dalam desa yang sedang dalam pengawasan Belanda untuk kerja paksa penanaman opium. Nurani mereka pun bergejolak. Belanda harus ditumpas dari tanah air.
Poin Positif
Apa yang ingin disajikan Mike Wiluan sejatinya patut diapresiasi. Menggabungkan sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia khususnya di tanah Jawa dengan tradisi koboi yang identik dengan Amerika, tentu bukanlah hal yang mudah. Selain karena kebudayaannya jelas berseberangan, landscape dan jenis bangunan pun sangat berbeda.
![www.bintang.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/20/images-55-5b515cd6bde57562fb1012d3.jpeg?t=o&v=770)
Bangunan rumah di pedesaan yang didominasi kayu dan jerami, bisa disandingkan dengan bangunan ala wild west Amerika lengkap dengan pintu koboi nya. Peran Infinite Studios dalam menghadirkan set yang surealis ini patut diacungi jempol.Â
Jangan lupakan juga wardrobe yang dipakai para aktor dan figuran disini. Terlihat bahwa wardrobe nya didesain dengan serius, sehingga menghadirkan nuansa klasik yang kental dengan menggabungkan model pakaian barat klasik dengan Indonesia klasik.
![seleb.tempo.co](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/20/700363-720-5b515cffab12ae050134a772.jpg?t=o&v=770)
Teknik pengambilan gambar pun sungguh menarik. Teknik pengambilan gambar secara melebar, zoom dan juga slow motion mendominasi film ini. Menjadikan setiap sekuen aksi begitu menarik dan artistik.
Lagu latar atau scoring yang digunakan pun cukup baik. Dengan tema musik ala koboi mendominasi disepanjang film. Bahkan yang menarik, terdapat scoring dengan progresi chord khas Jawa yang digabungkan dengan tema wild west. Sangat unik dan kreatif.
Poin Negatif
Apa yang ditampilkan dengan nyaris sempurna oleh film Buffalo Boys ini sejatinya tercederai oleh lemahnya skrip dan karakter yang ditampilkan di sepanjang film.
Plot hole atau lubang dalam cerita begitu banyak menghiasi adegan demi adegan, sehingga bila kita menonton film ini dalam koridor mencari hiburan saja pun tetap terasa banyak kejanggalan dalam penceritaannya. Contohnya, kurangnya penjelasan bagaimana Arana, Jamar dan Suwo bisa sampai di Amerika dan hidup disana jelas mengganggu keseluruhan cerita ini. Jelas terlihat bahwa adegan awal mereka di Amerika hanya untuk menguatkan latar belakang mereka sebagai koboi.Â
Contoh lainnya, penggunaan cap tangan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat juga tidak dijelaskan dengan detail kegunaannya. Sehingga ketika banyak rakyat yang kabur saat proses pengecapan berlangsung semakin membuat bingung karena tidak ada motivasi yang jelas kenapa sampai rakyat harus bersembunyi dan menghindari pengecapan tersebut.
![www.pikiran-rakyat.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/20/buffalo-boys-5b515fd0677ffb56d41afe73.jpg?t=o&v=770)
Padahal dengan latar belakang karakter yang diperankan mereka, sejatinya mereka bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari ini. Apalagi kehadiran karakter wanita disini bertujuan sebagai penggerak terhadap isu emansipasi gender yang saat ini marak di seluruh dunia.
![www.pikiran-rakyat.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/20/images-56-5b515d3ebde5753a0a74e3f2.jpeg?t=o&v=770)
Akting Ario Bayu, Yoshi Sudarso dan Tio Pakusadewo jelas tidak bisa dipungkiri kualitasnya. Hanya saja, skrip yang lemah membuat karakter yang diperankan mereka seakan hanya berjalan datar saja. Tidak ada pengembangan karakter yang jelas. Apalagi mengingat hubungan mereka bertiga sebagai saudara, sejatinya hal ini yang harus dieksplorasi lebih dalam. Karena tidak bisa dipungkiri, hubungan keluarga jelas akan menjadi roh yang akan menguatkan film ini.
Kesimpulan
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, film ini sejatinya mampu menghadirkan oase yang menyegarkan dalam industri film Indonesia. Di mana saat ini sangat jarang film Indonesia yang mengadopsi genre aksi fantasi ini.
Tata visual, wardrobe, musik dan suguhan set klasik yang megah jelas tidak bisa dilewatkan begitu saja. Adegan pertarungan baik menggunakan senjata api maupun martial arts juga patut disimak. Layaknya film Marlina, film ini pun mampu menghadirkan senasi eyegasm bagi kita penonton yang rindu akan visual yang artistik nan megah berkat set dan sinematografi yang memukau.
Hanya saja, jangan terlalu memberi ekspektasi berlebih dalam film ini. Mengingat ini merupakan genre baru dari sutradara debutan, sudah jelas bahwa kekurangan masih akan muncul disana sini. Namun harapannya, film ini akan menjadi pembuka jalan bagi banyak film bergenre fantasi kelak di Indonesia.
Jadi, silahkan beli tiketnya, nonton dan nikmati filmnya di weekend ini. Untuk skor nya, saya beri nilai 7 dari 10.
Selamat menonton kompasianer!!