Corinthians Democracy berupaya untuk mengutamakan demokratisasi dalam internal klub. Socrates memberi masukan mengenai sistem pemungutan suara untuk mengambil keputusan klub, mulai dari waktu Latihan, kebijakan transfer, makan siang, bahkan merokok dan alkohol sekalipun.
"Kami mulai mendiskusikan berbagai macam hal dan itu menciptakan suasana yang benar-benar bersahabat. Masing-masing dari kami mulai memberikan pendapatnya dan mengungkapkan perasaannya. Pada dasarnya, tujuan kami adalah untuk mendemokrasikan ekspresi. Semuanya perlu didiskusikan," ujar Socrates dalam serial "Football Rebels" yang disadur dari Tirto.
Alhasil, adanya demokrasi dalam tubuh Corinthians membantu memenangi Liga Brasil tahun 1982 dan 1983 secara beruntun. Pencapaian yang belum pernah disentuh Corinthians selama lebih dari 30 tahun.
Setelah prestasinya di Corinthians memuncak dan sukses mengapteni Selecao selama gelaran Piala Dunia 1982, Socrates mulai dilirik klub Eropa. Pilihannya jatuh kepada Fiorentina.
Namun Socrates tetaplah Socrates dengan rasa niat untuk belajar dan rasa keingintahuan yang tinggi. Hingga pada kedatangannya di Firenze, pesepak bola yang punya kebiasan sebagai perokok dan peminum berat itu mengutarakan tujuan utamanya datang ke Italia.
Ketika wartawan bertanya pemain manakah yang paling ia hormati di antara (Sandro) Mazzola atau (Gianni) Rivera, Socrates memberi jawaban tidak diduga oleh orang-orang.
"Saya tidak kenal mereka. Saya di sini untuk membaca dan mempelajari (buku-buku) Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus mempelajari sejarah pergerakan buruh" ujarnya dilansir dari Calcio Mercato.
Hanya semusim di Italia dan dicap tak berhasil, Socrates Kembali ke Brasil dan bermain hingga tahun 1989. Setelah pensiun, ia kembali menekuni kedokteran dan lulus sebagai dokter. Socrates juga masih sering beraktivitas di dunia politik sebelum akhirnya ia wafat pada 2011 silam.
Selain Socrates, tentu masih banyak pesepakbola yang mementingkan edukasi. Pada era sekarang, tidak sedikit pesepak bola top dunia yang memiliki gelar studi. Giorgio Chiellini dan Vincent Kompany bahkan berlabel lulusan S2 dengan gelar yang sama yakni Master's in Business Administration.
"(Setelah pensiun) kamu menghadapi sisa hidupmu dan hanya bisa bermain sepakbola saja tidak cukup," ujar Chiellini kepada CNN Ketika ditanya mengenai pentingnya edukasi.
Mantan bintang Arsenal, Andrey Arshavin juga memiliki gelar di bidang desain busana. Serta penggawa MU Juan Mata yang memiliki gelar di bidang marketing dan sains olahraga.