Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Terpancing Polarisasi di Tahun Politik

9 September 2023   12:21 Diperbarui: 9 September 2023   12:30 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima tahun berlalu dan kontestasi Pemilihan umum Indonesia datang lagi dengan berbagai dinamikannya. Pada Pilpres 2014 dan 2019 serta pilkada Jakarta, agama dipakai sebagai alat untuk meraih suara.

Di Pilkada Jakarta tahun 2017 misalnya, orang mencaci etnis tertentu dengan ucapan tak sopan dan itu dilakukan oleh banyak orang, bahkan oleh anak-anak dan remaja yang saat itu belum punya hak suara. Itu lima tahun yang lalu. Jika saat itu sang anak berumur 13 atau 12 tahun , maka kini dia punya hak suara. Maka yang ada di kepala nya adalah ucapan kebencian terhadap etnis tertentu tadi.

Begitu juga rumah ibadah yang sebelumnya jauh dari hal-hal yang bersifat konflik,  pada saat itu, dipakai untuk ceramah yang berisikan narasi politik. Narasi-narasi ceramah yang berbau politik itu dilakukan oleh ustadz yang mengarahkan umat untuk memilih calon tertentu. Di momentum inilah banyak pihak yang menuding bahwa pada masa itu ada penodaan rumah ibadah untuk kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh agama.

Belum lagi ada imbas ujaran kebencian melalui rumah ibadah dan medsos itu di tataran nyata. Mereka menolak memandikan dan mensolatkan seseorang yang menurut orang sekitar memilih calon pemimpin daerah yang tidak beragama muslim.. Belum lagi teriakan anak -anak dan remaja atas calon non muslim tersebut.

Di tingkat nasional, momentum Pilpres dipakai para influencer (tokoh yang punya banyak followers di media sosial) untuk menqrasikan sanjungan kepada calon yang mereka pilih dan sebaliknya cacian kepada lawan calonnya itu. Akibatnya, para folowers masing-masing influencer itu kemudian saling memaki semisal dengan cebong dan kamprest seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu.

Sehingga Pilpres dan pilkada yang seharusnya menjadi puncak bagi demokrasi, kehilangan rohnya. Orang menjadi sibuk saling bermanuver dan menjadi akrab dengan fitnah, pengkhianatan dan rasa benci dan akhirnya umat atau masyakarakat terpolarisasi alias terpebelah (terpecah).

Keadaan terpecah ini membuat kelompok-kelompok radikal mendapat angin segar. Lalu mereka dengan dibantu oleh teknologi dan media sosial. Menniupkan hal-hal lain seperti kegagalan pemerintah atau soal demokrasi yang dicap sekuler dan akhirnya hanya system khilafahlah yang akan membawa kemaslahatan.

Maka, moderasi beragama harus hadir secara implementatif untuk membendung potensi polarisasi dan keterpecahan, sehingga masyarakat akan semakin dewasa menghadapi perbedaan yang memang sudah menjadi sunnatullah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun