Inilah kenyataannya. Korupsi yang telah mengakar di mana-mana bahkan di sekitar kita, jauh benar dari nilai-nilai di dalam Pancasila. Orang-orang terbiasa melakukan kecurangan bagai tak diawasi oleh aturan. Mereka merasa bahwa apa yang dilakukan adalah hal yang lumrah dan tak akan berdampak apa-apa.Â
Masalahnya, korupsi bukanlah hal yang sepele walau terjadi struktur kecil dalam masyarakat sekali pun. Membiasakan perilaku ini untuk "berdampingan" di sekitar kita akan memancing masalah yang lebih besar lagi. Bagai "dipupuk", korupsi kecil seperti menggunakan barang yang bukan milik kita, menyepelekan uang kembalian, menyogok dan menerima sogokan, bisa tumbuh menjadi kasus korupsi yang lebih kompleks dan fatal.
Lantas apabila perilaku merugikan ini melanggar seluruh isi pedoman hidup kita dalam bernegara, mengapa masih bertebaran saja kasus-kasusnya? Apakah orang-orang terlalu apatis hingga sampai saat ini, korupsi di Indonesia terkesan tak akan pernah pudar? Akankah ada ujung dari ini semua?
Mari kita lihat beberapa definisi korupsi. "Korupsi" adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin "corruptio" dari kata kerja "corrumpere" yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, dan maling. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi dijelaskan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagaainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut Kartono, korupsi ialah tingkah laku salah satu individu yang memakai wewenang dan jabatan yang digunakan untuk mengeduk keuntungan demi kepentingan pribadi, dan atau merugikan kepentingan umum dan negara.
Pada awal tahun 2023, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terjun bebas dari peringkat 110 dari 180 negara. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia makin buruk dalam penanganan kasus korupsi dan tidak memiliki penyelesaian yang efektif untuk mengatasinya. Hal ini benar-benar berkebalikan dengan ungkapan bahwa Indonesia menjunjung Pancasila sebagai dasar negara, pedoman hidup, juga civil religion. Seharusnya, masyarakat yang tentu juga mengalami kerugian karena korupsi, memiliki dorongan untuk berubah.
Pancasila bagai tak ada maknanya bagi para koruptor, terlebih apabila kasus korupsi tersebut terjadi pada pejabat yang seharusnya bisa dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Mereka mencoreng nama baik mereka sendiri juga negara, mereka tak lagi malu untuk bersikap egois demi kesenangan semata. Ditambah dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang bisa diutak-atik oleh penguasa beserta hartanya, jelas makin sulit penanganan korupsi di negeri kita.
Maka dari itu, "Banyak solusi, tetapi sedikit aksi" adalah kalimat dari kami yang menurut kami tepat untuk menggambarkan korupsi di Indonesia sekarang. Pasalnya, sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberantasnya, tetapi masih kurang dalam penerapannya di masyarakat. Padahal, korupsi punya banyak jalan keluar yang mudah dilakukan apabila masyarakat memang ingin menjadi warga negara yang lebih baik.
Dari pandangan mahasiswa, sejauh ini upaya untuk memberantas korupsi masih tidak banyak yang dilakukan secara sistematis, apalagi usaha pencegahan dini. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang penangannya juga harus dilakukan secara luar biasa. Maka apa kelanjutannya? Apa solusi lainnya? Apabila bukan kita sebagai generasi penerus selanjutnya, jelas tidak ada lagi yang bisa menghilangkan perilaku ini dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ada cara lain selain menerapkan gerakan "anti-korupsi" di dalam hati kita. Dimulai dari diri sendiri, kita bisa menggerakkan orang lain untuk berubah pula.
Pendidikan anti-korupsi sejatinya punya peran yang sangat krusial untuk mencegah munculnya tindak korupsi. Bukan bertujuan untuk menangkap pelaku korupsi, pendidikan ini penting guna mencegah tumbuhnya bibit-bibir koruptor. Walaupun suatu pemerintahan tidak mungkin kebal dari korupsi, selalu ada jawaban atas permasalahan itu, dan yang paling tampak langkahnya adalah Anti-Korupsi dengan Pancasila. Tak perlu susah payah, berpatokan pada dasar negara pun bisa menjadi solusi yang pasti dalam menyelesaikan itu semua.
Pancasila, sebagai landasan yang fleksibel dan mementingkan kehidupan bangsa, akan selalu relevan kapan pun masa dan situasinya apabila betul dalam pelaksanaannya. Memang tidak mudah untuk mencapai titik terang solusi bagi tindak korupsi, tetapi menanamkan nilai Pancasila di kehidupan ini merupakan upaya "anti-korupsi" yang bisa dilakukan oleh tiap elemen masyarakat untuk memudarkan potensi sifat-sifat korup itu. Apabila dibedah, dasar sekaligus patokan kita dalam bernegara ini benar-benar menggambarkan bagaimana cara kita supaya menjadi warga negara yang baik.
Sila pertama mengajarkan kita bahwa sebagai manusia, kita harus mengikuti ajaran Tuhan yang tentunya mengajak pada kebaikan. Melakukan korupsi sama saja dengan kita berbohong pada Tuhan kita sendiri, dan itu merupakan perbuatan yang keji. Sila kedua mengajarkan kita untuk tidak bersewenang-wenang dengan kedudukan kita saat memiliki jabatan yang tinggi. Pejabat-pejabat yang korup membuat kemanusiaan tidak lagi terasa adil, dan masyarakat banyak dirugikan oleh sifat egois mereka. Sila ketiga mengajarkan kita bahwa manusia harus bersatu apa pun situasinya. Pejabat koruptor sama saja dengan meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada pemerintahan, dan berkemungkinan besar untuk memecah-belah orang-orang. Sila keempat mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah dan bijaksana, sementara itu korupsi adalah tindakan egois yang hanya mementingkan diri sendiri dan merugikan orang banyak. Sila kelima mengajarkan kita untuk bersikap adil pada seluruh rakyat Indonesia sebab bagaimana pun kedudukannya, kita semua adalah setara. Sedangkan korupsi sendiri perbuatan mengambil hak-hak orang lain dan merampas keadilan di dalam masyarakat.