Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari-Hari Nirkarya

6 September 2021   14:29 Diperbarui: 6 September 2021   14:35 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompasiana.com.

 

Kurang lebih dua hari ini aku lalui tanpa karya tulis untuk dipublikasi. Itu karena aku harus menjalankan tugas mulia menyunting tulisan teman-teman pegiat literasi. Para literat yang tergabung di GWA MBI (grup WA Menulis Buku Inspirasi).

Karya tulis para pegiat literasi ini bertemakan: Terima Kasih Guruku. Mereka diberi kesempatan mengekspresikan rasa bangga dan terima kasih untuk para gurunya. Para pahlawan tanpa tanda jasa yang telah menjadikan manusia berbudi luhur. Bahwa karena gurulah mereka ada sebagaimana mereka ada hari ini.

Karya-karya ini akan dijadikan sebuah buku antologi. Rencananya akan ada lebih dari satu buku antologi karena banyak teman guru sangat antusia untuk bertutur tentang sang guru.  Dan buku ini menjadi hadiah terindah bagi para guru di Hari Guru nanti.

Sampai hari ini belum tuntas proses penyuntingan itu bersebab masih menunggu setoran. Ada beberapa teman yang tulisannya belum sampai di meja 'redaksi.' Maksudku meja penyunting. Aku sengaja pakai kata 'redaksi' biar kedengarannya keren saja.

Kesan yang didapat dengan menempelkan kata itu adalah sangat profesional. Mungkin juga bereputasi nasional atau malah internasional. Padahal kenyataannya tidak sedemikian heboh dan sementereng itu. Sebab aku sebagai penerima tugas prestisius dan bergengsi tersebut hanyalah seorang guru kecil yang tinggal di kampung terpencil, Tilong.

Kembali lagi ke substansi coret-coretan ini tentang hari-hari nir karya. Aku masih menunggu karya yang lainnya. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan. Barangkali karena kemacetan lalu lintas yang mencegat di tengah jalan. Aku kurang tahu pasti.

Maka di hari kelengangan tanpa suntingan ini, aku manfaatkan untuk menulis sedikit. Mengisahkan serbasedikit tentang apa yang aku rasakan sehubungan dengan kegiatan penyuntingan naskah. Baik segala sesuatu yang menyenangkan pun yang sebaliknya.

Sejujurnya hal menyunting itu sangat menyenangkan. Tidak ada hal yang menyebalkan atau menjengkelkan. Yang ada adalah hal-hal yang kadang membingungkan atau kurang meyakinkan. Karena itu, aku agak kesulitan menerka alur berpikir teman-teman penulis.

Hal yang kurang enak dibaca itu tidak di seluruh tulisan. Enak dibaca yang aku maksud adalah adanya penggambaran ide yang jelas. Artinya dapat dipahami oleh khalayak pembaca kelak. Sebab karya intelektual ini akan dinikmati banyak orang dari segala kalangan. Entah orang berpendidikan rendah, sedang pun tinggi.

Karena itulah, maka apa yang tertulis itu sebaiknya memberi kelegaan bernalar. Sebisa mungkin karya tulis yang ditayangkan tidak memaksa pembaca mengernyitkan kening. Mereka mengerutkan dahi sebab tidak bisa menangkap idenya.

Memang kondisi ini tidak terdapat pada semua karya. Hanya di bagian-bagian tertentu dari tulisan tertentu pula. Secara menyeluruh, semua karya memberi informasi yang menggelitik dinding nalar dan rasa pembaca. Bahkan mengusik budi dan emosi.

Kenapa bisa demikian? Sebab setiap penulis menyatakannya dari apa yang mereka rasa dan alami. Sebab ia berasal dan tercipta dari pengalaman hidup sang penulis. Dan, pastinya, ia bukanlah sebuah karya rekaan yang melayang-layang.

Atas pengalaman dan kekayaan batin yang aku peroleh dari hasil menyunting itu, aku ingin berbagai. Aku ingin menyampaikan kembali hal-hal kurang pas yang membuat tulisan kurang enak dibaca.

Tapi ini bukan hasil bedahan secara teoretis akademik ilmiah. Ini hanya berdasarkan secuil pengalamanku bergelut dengannya. Sehingga bisa saja ia tidak benar. Oleh karena itu, apa yang kusampaikan ini bukanlah suatu keharusan untuk diikuti. Ini hanya sekadar berbagi informasi.

Dari pengalaman itu, hal-hal inilah yang aku dapati.

Kata Bahasa Asing

Menyelipkan kata bahasa asing dalam tulisan adalah sebuah kekayaan. Tapi mesti dengan cara yang semestinya dan sekiranya belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Supaya tidak terkesan bahwa bahasa asing itu lebih keren lagi wah dibanding bahasa Indonesia. Atau yang lebih parah lagi adalah agar orang tahu bahwa kita hebat.

Aku dengan hormat dan kerendahan hati mengajak teman-teman untuk giat berliterasi menggunakan bahasa Indonesia. Mari berbangga menulis menyampaikan isi hati dan pikiran dalam bahasa Indonesia di setiap tulisan kita. Sebisa mungkin tidak membiarkan kata-kata asing berseliweran dalam tulisan.

Kenapa? Pertama, agar orang yang membaca tidak tersendat terganjal kata asing. Kedua, sebagai wujud bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa. Ketiga, demi mengimplementasi UU No. 24 Tahun 2009. Intisarinya adalah, (www.kemendikbud.go.id.): "Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa Daerah dan kuasai bahasa Asing!"

Kita diimbau, tepatnya diperintahkan, oleh undang-undang untuk menguasai bahasa asing. Tapi bukan untuk mengambil alih kedudukan bahasa Indonesia dalam keseharian kita. Apakah dalam bertutur secara lisan dan/atau tertulis.

Kalimat dan Alinea

Tujuan menulis agar orang menangkap kandungan hati dan pikiran penulis. Yaitu sebuah ide di setiap kalimat dan alinea yang dibangun. Sehingga sesudah itu, pembaca dapat menarik satu kesimpulan, manfaat atau pembelajaran bernas dari tulisan kita.

Agar gampang dicerna, sebaiknya tidak banyak kata dalam sebuah kalimat. Itu imbauan dari para maestro yang sudah kupraktikkan. Mereka mengatakan antara delapan hingga sepuluh kata. Kisarannya demikian. Itu bukan sebuah harga mati. Tapi idealnya begitu.

Tapi terkadang bisa bablas kelewatan di kala asik mengulik kata. Oleh karena itu, perlu dilatihkan sesering mungkin agar makin hari kian terampil. Cara berlatih yang efektif adalah menyatakan sesuatu secara langsung pada obyeknya. Jangan berputar-putar dan melebar ke mana-mana.

Demikian juga dengan alinea. Ide atau pokok pikirannya mudah ditangkap jika alineanya tidak menggelembung. Maka jumlah kalimat di dalamnya harus diperhatikan. Yaitu berkisar antara tiga hingga lima kalimat saja. Itu sudah cukup merangkum sebuah pokok pikiran yang ingin disampaikan.

Kata Depan dan Awalan

Penulisan kata depan dan awalan perlu dan wajib dikuasai. Yaitu kapan ia diposisikan sebagai kata depan dan sebagai awalan. Menurutku, ia ditempatkan sebagai kata depan jika diikuti oleh dan terpisah dengan kata keterangan. Sebagai awalan jika ia di depan dan menyatu menempel dengan kata kerja.

Contohnya, 'di' sebagai kata depan. Di masa pandemi ini, kita harus tinggal di rumah. Di mana ada Papa, di sana pasti ada Mama! Yang berikut, 'di' sebagai awalan. Cara ini disampaikan oleh para pakar. Hadiah disediakan oleh panitia! Dan masih ada kata depan lainnya yang perlu diketahui dan digunakan secara benar.

Ini adalah cara lain untuk mengetahui apakah ia adalah kata depan atau awalan. Ambil contoh, 'di.' Coba menggantikannya dengan 'me.' Kalau enak dilaval saat membaca berarti itu awalan. Tapi kalau terasa janggal ganjil saat diucap berarti kata depan. Sebaliknya jika nyaman dikatakan maka ia adalah awalan.

Misalanya: Di masa menjadi memasa. Di saat jadi mesaat. Apakah kata memasa dan mesaat dapat dipakai dalam tuturan dan bisa dipahami? Yang berikut: Diambil jadi mengambil. Disimpan jadi menyimpan. Disangkal jadi menyangkal. Apakah mengambil, menyimpan dan menyangkal bisa digunakan dan dipahami? Anda putuskan!   

Penempatan Tanda Baca

Sebagai penulis, penguasaan penempatan tanda baca adalah sebuah keniscayaan. Yang aku maksudkan adalah cara meletakkan atau menempatkannya. Dan menurutku tanda baca terbagi dalam dua golongan sehingga cara menempatkannya pun harus disesuaikan.

Yang pertama, aku menyebutnya sebagai tanda baca primer. Yaitu: Titik (.), koma (,), titik koma (;), titik dua (:), tanda tanya (?), tanda seru (!). Yang kedua, aku menyebutnya tanda baca sekunder. Yaitu: Tanda petik ("), apostrof atau tanda koma atas (').

Tanda baca yang masuk golongan primer ditempatkan menempel pada kata yang diikuti. Sedangkan yang sekunder harus yang terakhir ditempatkan bila didahului oleh tanda baca primer. Contoh: Siapa yang bilang begitu? Dia suka baca, bercerita, menulis. Katanya: "Kamu harus menulis dengan cara yang benar!"

Semua yang sudah kuuraikan, sekali lagi kukatakan, bukanlah sebuah kajian ilmiah. Ia datang dari pemahaman dan pengalamanku saja. Itu karena sering kulihat dan baca dari tulisan-tulisan para senior yang juga adalah pakar. Jadi aku hanya membahasakannya kembali dengan cara yang kumampu. 

Untuk sementara itu yang bisa kuutarakan padamu, sahabat. Barangkali masih banyak hal yang belum terdeteksi dan kuungkap. Biarlah itu menjadi bagian teman-teman lain yang lebih jeli meneropongnya. Kita tunggu saja. Saatnya pasti akan datang.

Harapanku, semoga uraian ini bermanfaat bagi teman-teman pegiat literasi. Terutama untuk para pembaca yang berkeinginan menulis berolahnalar dan berolahrasa. Semoga pula apa yang kutulis tidak menggurui. Tapi kalau ada, maafkanlah!

Tabe! 

Tilong-Kupang, NTT

Senin,6 September 2021 (15.05 wita)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun