Kutipan kedua berasal dari pemikiran sang proklamator tercinta, Mohammad Hatta. Ia berkata: "Sebagaimana suluh menerangi jalan di waktu gelap, demikian ilmu menerangi pikiran kita di kala menempuh masalah yang gelap rupanya dan tak tentu ujung pangkalnya."
Pepatah dan kutipan di atas akan memaksa menuntun kita menengok peran orangtua dan guru. Didikan dan situasi pahit yang kita hadapi serta ilmu sebagai suluh penerang kehidupan adalah peran keren yang dimainkan oleh orangtua dan guru. Pribadi-pribadi ini yang sering memberi kita didikan dan tuntunan agar tidak mudah menyerah, meski susah pun pahit rasanya.
Nah, tulisan ini merupakan kenanganku bersekutu dengan para guru hebat itu. Aku akan menyebutkan satu atau dua guru mewakili lainnya yang telah membentukku sejak di bangku Esde hingga perguruan tinggi. Mereka semua sangat berarti bagiku. Semoga aku dapat melakukan dan menyampaikannya dengan gamblang kepada Anda.
Mereka Bagiku Sebelum Sekolah
Ketika aku belum mengenyam pendidikan di sekolah, orangtuaku adalah guru terbaik. Mereka mengajari dan membentukku dari segi karsa. Yaitu hati sebagai sentral berkelakuan hidup yang baik. Papa dan Mama mendidikku dengan ketat agar kehendakku tidak bertentangan berbenturan dengan kehendak orang lain di mana pun aku ada dan temui.
Suatu saat aku ingin sekali mencicipi ikan asin yang adalah titipan orang untuk dijual. Aku sangat tergiur tapi tak berani memintanya pada Papa atau Mama. Karena itu aku berusaha dengan segala daya untuk mengambil dan menikmatinya. Aku kerahkan nalar dan ragaku untuk menjangkaunya.
Kenapa susah ambilnya? Sebab ia berada di tempat yang tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak dijamah kucing dan anjing yang memang banyak di rumah dan yang berdatangan dari para tetangga. Papa menggantung ikan itu di plafon ruang tamu. Dengan begitu ia aman. Kecuali Papa Mama dan orang dewasa yang sanggup mengambilnya.
Karena badanku kecil, aku susun kursi sebanyak-banyaknya hingga tangan mungilku bisa menggapainya. Sesudah itu aku mengambil hanya satu ekor ikan kecil tapi bukan teri. Aku menikmatinya sebagai lauk saat sarapan. Tentunya ketika makan, tidak diketahui siapapun. Nikmatnya tak teruraikan kala itu.
Tapi kawan, Papa tahu kalau jualannya tidak utuh. Ada yang mengambil tanpa sepengetahuannya. Selidik punya selidik, aku terciduk. Papa memarahiku dan memberi pesan ini: "Kalau ingin sesuatu, minta. Jangan mencuri. Itu perbuatan yang tidak terpuji. Jangan pernah ulangi lagi!" Pesan itu membekas dan mengabadi hingga kini: Lebih takmakan daripada mencuri.
Sebagai konsekwensinya, aku digantung dekat sekali dengan ikan-ikan itu. Entah bagaimana cara Papa melakukannya. Yang pasti aku tidak jatuh dan juga tidak cedera dan/atau mencelakakan. Karena aku tidak sakit secara fisik. Aku dibiarkan bergelantung di situ di samping ikan asinnya hingga sore hari. Lumayan, bukan?
Mereka Bagiku di Esde