Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Ada Sebagaimana Aku Ada Karena Mereka Ada Bagiku

17 Agustus 2021   17:12 Diperbarui: 17 Agustus 2021   17:25 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutipan kedua berasal dari pemikiran sang proklamator tercinta, Mohammad Hatta. Ia berkata: "Sebagaimana suluh menerangi jalan di waktu gelap, demikian ilmu menerangi pikiran kita di kala menempuh masalah yang gelap rupanya dan tak tentu ujung pangkalnya."

Pepatah dan kutipan di atas akan memaksa menuntun kita menengok peran orangtua dan guru. Didikan dan situasi pahit yang kita hadapi serta ilmu sebagai suluh penerang kehidupan adalah peran keren yang dimainkan oleh orangtua dan guru. Pribadi-pribadi ini yang sering memberi kita didikan dan tuntunan agar tidak mudah menyerah, meski susah pun pahit rasanya.

Nah, tulisan ini merupakan kenanganku bersekutu dengan para guru hebat itu. Aku akan menyebutkan satu atau dua guru mewakili lainnya yang telah membentukku sejak di bangku Esde hingga perguruan tinggi. Mereka semua sangat berarti bagiku. Semoga aku dapat melakukan dan menyampaikannya dengan gamblang kepada Anda.

Mereka Bagiku Sebelum Sekolah

Ketika aku belum mengenyam pendidikan di sekolah, orangtuaku adalah guru terbaik. Mereka mengajari dan membentukku dari segi karsa. Yaitu hati sebagai sentral berkelakuan hidup yang baik. Papa dan Mama mendidikku dengan ketat agar kehendakku tidak bertentangan berbenturan dengan kehendak orang lain di mana pun aku ada dan temui.

Suatu saat aku ingin sekali mencicipi ikan asin yang adalah titipan orang untuk dijual. Aku sangat tergiur tapi tak berani memintanya pada Papa atau Mama. Karena itu aku berusaha dengan segala daya untuk mengambil dan menikmatinya. Aku kerahkan nalar dan ragaku untuk menjangkaunya.

Kenapa susah ambilnya? Sebab ia berada di tempat yang tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak dijamah kucing dan anjing yang memang banyak di rumah dan yang berdatangan dari para tetangga. Papa menggantung ikan itu di plafon ruang tamu. Dengan begitu ia aman. Kecuali Papa Mama dan orang dewasa yang sanggup mengambilnya.

Karena badanku kecil, aku susun kursi sebanyak-banyaknya hingga tangan mungilku bisa menggapainya. Sesudah itu aku mengambil hanya satu ekor ikan kecil tapi bukan teri. Aku menikmatinya sebagai lauk saat sarapan. Tentunya ketika makan, tidak diketahui siapapun. Nikmatnya tak teruraikan kala itu.

Tapi kawan, Papa tahu kalau jualannya tidak utuh. Ada yang mengambil tanpa sepengetahuannya. Selidik punya selidik, aku terciduk. Papa memarahiku dan memberi pesan ini: "Kalau ingin sesuatu, minta. Jangan mencuri. Itu perbuatan yang tidak terpuji. Jangan pernah ulangi lagi!" Pesan itu membekas dan mengabadi hingga kini: Lebih takmakan daripada mencuri.

Sebagai konsekwensinya, aku digantung dekat sekali dengan ikan-ikan itu. Entah bagaimana cara Papa melakukannya. Yang pasti aku tidak jatuh dan juga tidak cedera dan/atau mencelakakan. Karena aku tidak sakit secara fisik. Aku dibiarkan bergelantung di situ di samping ikan asinnya hingga sore hari. Lumayan, bukan?

Mereka Bagiku di Esde

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun