Ketika kami sibuk menyibak menyabet aku melihat tupai. Tupai atau kelompok tupai itu berlari berkejaran di bambu. Mereka berkejaran karena terkejut melihat aku dan papa datang. Mereka terus menuju puncaknya dan menghilang. Entah ke mana?
Burung-burung tekukur dan perkutut merasa terusik. Mereka beterbangan mencari tempat yang lebih aman. Mereka beterbangan secara berkoloni. Dan hampir saja aku ditambrak. Mungkin karena kaget atas kedatangan tamu-tamu asing.
Dengan perjuangan berat akhirnya kami pun sampai di tempat yang dituju. Â Kami tiba di rumpun-rumpun bambu yang bagus-bagus. Bambu dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Cocok sebagai wadah lilin nanti.
Bambu-bambu itu memiliki ruas yang panjang. Mulai dari yang ukuran kecil-kecil. Ukuran sedang. Dan yang besar sekali. Semua ada di antara pepohonan berumpun itu. Aku dan papa bebas memilih.
Papa memilih dan memotong bambu yang diperlukan. Yaitu yang sebesar jempol kaki. Harus seukuran itu agar lilin bisa masuk. Bisa masuk artinya tidak kesempitan atau tidak kesesakan bila memasukkan lilin.
Aku juga mencari, memilih dan memotong yang kuperlu. Aku mencari yang sebesar paha. Yang rongganya besar. Aku perlu seukuran itu supaya bisa dijadikan meriam. Meriam bambu dengan rongga besar menghasilkan dentuman yang memuaskan.
Masing-masing kami disibukkan dengan kepentingan sendiri-sendiri. Kepentingan yang berhubungan dengan pemanfaatan bambu-bambu itu. Karena sibuk aku dan papa seolah tidak saling menghiraukan.
Setelah ketemu yang kumau aku tak bisa memotongnya. Terlalu susah dijangkau. Aku hanya membersihkan sekelilingnya dulu. Sambil memikirkan bagaimana mengeksekusinya sampai tumbang. Tetap aku tak bisa. Kuminta papa membereskan menyelesaikannya.
Selain sebesar paha orang gede ia juga harus panjang dan lurus. Panjangnya kira-kira dua meter kurang lebih. Juga harus tebal agar tidak gampang pecah akibat bunyi yang dihasilkannya sendiri. Gelegar bunyi meriam bisa merobeknya. Jangan sampai senjata makan tuan.
Setelah memperoleh semua yang kami perlukan kami pun pulang. Kami kembali menyusuri jalan setapak yang kami buat tadi. Tetap papa di depan dengan bebannya sendiri. Aku di belakang dengan memanggul meriamku. Aku melihat bangkai ular tadi yang terpotong-potong tergeletak di sisi jalan.
Sesampai di rumah aku langsung mendandani meriamku. Aku rapikan bagian luar bambu. Sedangkan bagian dalamnya aku bolongi dengan linggis dari bagian ekor. Maksudnya agar buku-buku pembatas ruas bambu bagian dalam lobang.