Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menjadi Atlet

31 Agustus 2020   07:17 Diperbarui: 31 Agustus 2020   07:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita tentang menjadi atlet ini tadinya ingin aku tampilkan di bagian sebelumnya. Sebab ia serangkai atau berdampingan dengan sub judul Tae Kwon-Do. Namun aku berubah pikiran dan menempatkannya di sini. Karena menjadi atlet adalah bagian dari sebuah karir.

Setelah berhasil memprakarsai lahirnya Tae Kwon-Do IKIP Jakarta kami berlatih serius. Latihannya dua kali seminggu di kampus Timur gedung FPOK lantai dua. Kami yang sembilan orang itu dibimbing dengan disiplin dan keras. Baik dalam hal teknik maupun soal performa fisik.

Kami dimotivasi untuk bertarung di arena setelah memperoleh sabuk kuning  polos. Sabuk kuning adalah tingkataan kedua setelah putih. Berarti kami baru naik satu anak tangga. Dengan demikian keterampilan dan pengalaman belum mumpuni. Belum siap untuk bertarung di arena kejuaraan. Namun kami bertekad untuk ikut.

Kejuaraan antarmahasiswa ini diselenggarakan oleh Upancas (Universitas Pancasila). Waktu itu kampusnya masih berlokasi di sekitar jalan Proklamasi. Upancas dengan sendirinya menjadi tuan rumah. Kejuaraannya berlangsung pada tahun delapan lima.

Menghadapi kejuaraan itu frekwensi latihannya ditambah. Porsinya menjadi lebih banyak dua kali lipat dari biasanya. Lebih banyak secara intensitas maupun bebannya. Kami latihan pagi dan sore.

Dengan persiapan demikian kami merasa siap. Aku diturunkan di kelas Bantam dengan berat badan sekitar 53-an kilogram. Kalau aku tidak salah ingat. Aku sudah tidak ingat lagi dari mana lawanku kala itu. Yang masih kuingat ia berikatpinggangkan sabuk hitam. Entah benar atau tidak ia penyandang sabuk itu? Yang jelas aku ciut.

Aku hanya pemegang sabuk kuning. Polos lagi. Berarti baru tiga bulan mengenal gerakan-gerakan Tae Kwon-Do. Namun aku tak bisa menghindar. Sudah di tengah arena. Semua pasang mata tertuju kepada kami.

Akhirnya aku kerahkan segala daya upaya dan pengalaman yang serbaminim dalam blantika baku pukul ini. Ternyata aku harus mengakui keunggulannya. Aku ditundukkan. Kalah angka mutlah.

Kawan, biar kuuraikan sedikit tentang tingkatan dalam Tae Kwon-Do. Seperti yang aku ketahui. Tingkatannya pada masa itu ditandai dengan warna sabuk. Diawali dengan putih. Kuning polos. Kuning strip. Biru muda. Biru muda strip. Biru tua. Biru tua strip. Merah polos. Merah strip satu. Merah strip dua. Baru terakhir hitam.

Karirku di dunia per-Tae Kwon-Do-an tidak lama. Aku hanya mampu mencapai sabuk biru muda polos. Itu karena aku tak mampu mengatur waktu dengan baik. Selain itu aku juga harus berjibaku mencari biaya hidup yang menyita waktu dan perhatian.

Itu adalah pengalamanku yang pertama dan yang terakhir. Aku tak pernah bertanding lagi hingga aku selesaikan kuliahku. Aku tak ikut lagi akibat cedera yang aku alami pada pertandingan di Upancas dulu. Cedera di lutut kanan yang menimpa diriku itu merupakan kenangan yang masih dan terus membekas sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun