Di suatu sore Papa mengajakku berkeliling kebun di sekitar rumah. Di pekarangan kami. Kami berjalan di antara pepohonan buah tangan kami anak-anaknya. Pepohonan dari berbagai jenis buah.
Waktu masih kecil, Papa membiasakan kami menanam pohon. Pohon apa saja yang ada manfaatnya. Terutama pohon yang buahnya bisa dimakan, seperti: Kelapa, pisang, nangka, mangga, dan lain-lain. Buah dari pohon-pohon ini bisa kami nikmati nantinya di kemudian hari.
Karena kami masih kecil-kecil maka waktu menanam, Papalah yang menggali lobangnya. Kami yang meletakkan benih. Benih apa saja. Siapa yang memasukkan benih ke dalam lobang yang digali oleh Papa, dialah pemilik pohon tersebut.
Begitulah cara Papa mendidik kami mencintai lingkungan alam. Didikannya pada kami untuk melestarikan lingkungan hidup di mana kami ada dan hidup. Ia melatih kami bersahabat dengan alam. Karunia Allah bagi keberlangsungan umat manusia.
Ketika kami berada pas di bawah salah satu pohon kelapa di samping rumah, ia berjongkok. Ia meratakan pandangannya denganku. Kami sama-sama menyaksikan detik-detik tenggelamnya sang mentari di kaki langit.
Siang segera berakhir. Ia akan berganti dengan datangnya malam. Matahari kembali ke pembaringannya. Rembulan akan menampakkan wajahnya. Ia akan menyapa dunia dengan senyum cahaya temaram yang membias dalam kelam.
Kemudian dengan perlahan namun tegas ia mengangkat lengan kanannya rata dengan bahu. Ia menunjuk memaksa mataku melihat ke arah matahari yang berwarna merah keemasan di ufuk Barat sana. Sang penguasa siang yang akan segera digantikan.
Sambil ia berucap: "Usia Papa seperti senja merah di kaki langit sana. Sebentar lagi ia akan tenggelam. Ia akan kembali pada peraduannya." Ya. Usia Papa, usia kita semua seperti senja merah itu. Akan segera kembali.
Namun ucapan kenangan itu tetap membayang. Abadi dalam sanubariku. Kata-kata yang -- menurutku -- sarat filosofi ini diserukannya kepadaku ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Di Raknamo. Di kampungku.
Entah kelas berapa? Mungkin kelas empat atau lima. Pesan yang dapat kutangkap dari ujarannya itu adalah ia sudah tua. Dan tak lama lagi ia akan kembali ke haribaan Sang Khalik. Dan memang ia telah kembali dalam damai rumah abadinya.
Kemudian sambil menurunkan telunjuknya ia meneruskan: "Papa tidak mempunyai harta yang dapat Papa wariskan untuk masa depanmu. Hanya semangat belajar yang dapat Papa tularkan padamu demi meraih cita-cita lebih dari yang Papa punyai sekarang. Jangan pernah berhenti belajar."