Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekretaris

15 Agustus 2020   09:09 Diperbarui: 15 Agustus 2020   09:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu rapat Dewan Guru SMA Tunas Karya aku ditunjuk sebagai sekretaris. Aku divitakompli sebagai sekretais panitia Ebta/Ebtanas tahun akademik sembilan dua sembailan tiga. Itu suatu kehormatan tapi tantangan berat buatku.

Tugas yang harus kuemban adalah menangani masalah surat-menyurat, menyiapkan laporan-laporan berupa uraian dan angka-angka. Aku terperangah mendengar keputusan itu. Persoalannya aku tak mampu mengoperasikan komputer.

Melihat kegelisahanku, teman yang duduk persis di sebelahku menyikut dan berkata: "Tenang Joy, terima aja." Sarannya tanpa beban. Dia tidak tahu kalau aku seperti ditiban papan yang berjibun.

Di luar ruangan baru aku jelaskan duduk masalahnya kepada temanku yang menyikut tadi, Drs. Rudi Buntoro. Aku memberitahukannya bahwa aku buta soal komputer. Aku belum pernah bekerja menggunakan mesin tulis kotak berkaca itu.

"Gimana gua bisa jadi sekretaris?" Begitu keluhku. Mendengar keluhan itu dia tidak berempati dan mengasihaniku. Ia justru mendorong dengan kata-kata yang lumayan menyayat. Karena kami sahabat yang karib, dia sengaja menyayat hayatku agar kubangkit.

"Belajar dong. Gua aja bisa, masa elu kagak." Aku tersentak tertempelak. Wow, sebuah dorongan yang menohok harkat kemanusiaanku. Aku seperti didorong dan terjun bebas dari lantai empat belas. Ya, aku harus belajar.

"Kalau dia bisa, aku pun harus bisa. Tidak ada pilihan lain," gumamku menahan geram. Aku sungguh bertekad menelanjangi kebodohanku sendiri. Semoga ada teman berkenan dan mau menolongku.  

Mulailah setiap hari aku tongkrongi orang yang lagi mengoperasikan komputer di saat tidak mengajar. Apakah di kantor tata usaha atau di ruang belajar/kelas (komputer) bersama siswa.

Aku benar-benar menelanjangi segala kebodohanku dengan bertanya sedetail mungkin. Semua yang tidak kuketahui dan yang asing bagiku aku tanyakan tanpa malu. Aku bertanya pada guru komputer atau murid yang kutemui yang kuanggap pandai dalam hal ini.

Tak dinyana kami, guru-guru yang mau ditawari belajar komputer secara gratis. Penawaran ini dari dari BKN (Bina Komputer Nusantara). BKN adalah lembaga yang memberi pelajaran komputer di sekolah kami (SMA Tunas Karya).

Rencana dan rancangan lama belajarnya akan berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Syukur aku bisa mengikuti dan mencernanya dengan baik. Walaupun terasa sulit pada awalnya.

Setelah kursus percaya diriku bertambah. Pekerjaan sebagai sekretaris yang diembankan kepadaku dapat aku selesaikan dengan baik. Selain itu, sebagai wali kelas aku mencoba memanfaatkan 'kotak ajaib' itu untuk meringankan tugasku.

Aku merancang leger (daftar nilai) sebelum dipindahkan ke buku rapor. Hasil rancanganku menjadi contoh bagi teman-teman walaupun tidak sempurna. Kebanyakan rekan guru mempelajarinya dariku. Dengan sukarela aku mengajarkan. Gratis. Tanpa bayar.

Aku bangga karena aku yang dianggap anak bawang dapat berbuat sesuatu yang berguna. Sebagai sekretaris, aku dianggap cukup berhasil. Itupun mungkin dipicu oleh hinaan (baca: tantangan) dari temanku. Thank you, brother Rudi!

Waktu di Kelapa Gading itu aku gunakan komputer 'jangkrik' yang notabene belum terlalu canggih. Lain lagi ceritanya ketika aku bergabung di SHB. Semua komputernya -- menurut ukuranku -- canggih sekali. Semuanya pakai 'tikus' -- Mouse.

Aku bengong (ternganga) menyaksikan mesin-mesin itu. Kembali aku seperti terpuruk ke titik beku. Walaupun aku pernah belajar, namun melihat komputer Macintosh aku bingung. Aku belajar lagi. Aku telateni lagi seperti dahulu. Syukurlah, aku bisa.

Setelah mampu mengoperasikan mesin-mesin macintosh itu, aku sekali lagi membuat terobosan baru. Sementara semua teman guru memberikan laporan nilainya secara manual (tulis tangan), aku mengerjakannya dengan 'kalkulator' besar, komputer.

Seperti di Tunas Karya, teman-temanku pada 'menyontek' dan meng-copy cara dan hasil kerjaku. Sampai di sini aku dapat membuktikan dan membenarkan kata-kata lawas sarat motivasi nan keren ini: "Where there is a will, there is a way."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun