Setelah kursus percaya diriku bertambah. Pekerjaan sebagai sekretaris yang diembankan kepadaku dapat aku selesaikan dengan baik. Selain itu, sebagai wali kelas aku mencoba memanfaatkan 'kotak ajaib' itu untuk meringankan tugasku.
Aku merancang leger (daftar nilai) sebelum dipindahkan ke buku rapor. Hasil rancanganku menjadi contoh bagi teman-teman walaupun tidak sempurna. Kebanyakan rekan guru mempelajarinya dariku. Dengan sukarela aku mengajarkan. Gratis. Tanpa bayar.
Aku bangga karena aku yang dianggap anak bawang dapat berbuat sesuatu yang berguna. Sebagai sekretaris, aku dianggap cukup berhasil. Itupun mungkin dipicu oleh hinaan (baca: tantangan) dari temanku. Thank you, brother Rudi!
Waktu di Kelapa Gading itu aku gunakan komputer 'jangkrik' yang notabene belum terlalu canggih. Lain lagi ceritanya ketika aku bergabung di SHB. Semua komputernya -- menurut ukuranku -- canggih sekali. Semuanya pakai 'tikus' -- Mouse.
Aku bengong (ternganga) menyaksikan mesin-mesin itu. Kembali aku seperti terpuruk ke titik beku. Walaupun aku pernah belajar, namun melihat komputer Macintosh aku bingung. Aku belajar lagi. Aku telateni lagi seperti dahulu. Syukurlah, aku bisa.
Setelah mampu mengoperasikan mesin-mesin macintosh itu, aku sekali lagi membuat terobosan baru. Sementara semua teman guru memberikan laporan nilainya secara manual (tulis tangan), aku mengerjakannya dengan 'kalkulator' besar, komputer.
Seperti di Tunas Karya, teman-temanku pada 'menyontek' dan meng-copy cara dan hasil kerjaku. Sampai di sini aku dapat membuktikan dan membenarkan kata-kata lawas sarat motivasi nan keren ini: "Where there is a will, there is a way."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H