Melihat keseriusanku, ia iseng menengok sambil lalu. Dan secara tidak sengaja ia melihat kekeliruanku menempatkan tanda koma (,). Maka secara halus ia mengoreksi dan memberitahukan di mana seharusnya tanda itu kutempatkan.
Ketika itu aku menempatkan koma (,) jauh dari kata yang diikutinya. Misalnya: Anak itu , Rico , tinggal di sini. Tanda koma tidak menempel pas di huruf terakhir dari kata sebelumnya. Ia dengan ramah mengoreksinya. Ini sebuah edukasi yang aplikatif.
Sejak saat itu hari lepas hari aku terus menekuni dan menelusuri teknik menulis yang baik dan benar. Yaitu cara menempatkan tanda baca dalam hal ini. Baik belajar melalui tulisan orang lain maupun teori-teori yang kudapat. Kutelisik cara menempatkan tanda baca dari buku-buku bacaan maupun referensi.
Dengan bekal suka membaca, aku terus mencari dan menggalinya. Aku menimbanya dari buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris. Aku sangat getol membaca buku teori menulis semacam itu. Buku-buku yang sedikitpun tidak menyinggung keahlianku sebagai guru olahraga.
Karenanya seorang rekanku yang guru bahasa pernah bersloroh nyeletuk: "Mau jadi guru bahasa, ya?"
Sambil tersenyum aku berespon dan menjawab: "Belajar boleh, kan?"
Sampai aku menulis menyelesaikan kisah ini, dunia kepengarangan terus menggoda hatiku. Bahkan telah merampas sebagian perhatianku. Semakin aku belajar, semakin kurang rasanya pengetahuanku.
Aku terus belajar melalui membaca dan menulis. Sekalipun aku tak punya instrumen canggih semacam mesin tik atau computer untuk menulis. Aku tetap dan terus menuangkan ide-ide yang mengalir. Aku patrikan ide yang berdatangan dalam kepala ke atas kertas bekas. Itu sudah cukup. Dan, semoga berguna. Ya, seperti tulisan ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H