Kosa kata bahasa Timor memiliki kemiripan bunyi atau pengucapan dan penulisan dengan bahasa Inggris. Namun pengertiannya bag utara dan selatan. Sangat jauh berbeda. Itu yang menggoda kami untuk bereksperimen saat belajar bahasa Inggris.
Misalnya: Of artinya nanti dalam bahasa Timornya. Thank you bila diucapkan dengan aksen bahasa Timor yang dimiringkan akan berbunyi sen kiu, artinya menanam pohon asam. Please bila diplesetkan akan berbunyi palis artinya biarkan. Dan lain-lain.
Kawan, kami berdua keasyikan mengata-katai kata-kata bahasa Inggris dengan kata-kata bahasa Timor. Kata-kata yang kami ucapkan mempunyai pengertian yang lain dari yang dimaksud oleh ibu. Kami pun tertawa. Kadang lucunya bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Ibu Didi.
Pada saat seluruh kelas tertawa kami pun lucu. Kami terpingkal kegelian bukan karena lucu yang datang dari kata-kata ibu guru. Tetapi akibat pembahasan kami berdua dalam bahasa Timor. Kata anak zaman now: So far so good. Semuanya berjalan baik-baik saja. Aman sentosa dunia dan akhirat.
Kebiasaan itu membuat kami semakin menjadi-jadi. Kami terus mengotak-atik kata-kata bahasa Timor yang menyebabkan kelucuan lokal (cuma kami berdua). Kebablasan. Kami tidak memperhatikan keterangan guru lagi. Yang mestinya tidak lucu menurut ibu guru, justru kami tertawa.
Ia mulai curiga. Sekali, dua kali masih dibiarkan. Ketiga kalinya ia sudah tak tahan. Maka tanpa ekspresi marah ia menyentil hidung kami, aku dan Aloy. Hanya satu kali. Tapi cukup keras. Demikian kerasnya sehingga menyebabkan gelembung bening bergulir dari bola mataku. Bukan menangis. Rasanya seperti mau bersin yang tertunda.
Mungkin beliau tidak tega menampar atau menempeleng kami. Lalu dengan satu kalimat perintah ia bilang: "Ke sana kamu, tikus-tikus kecil" Ia menunjuk ke luar. Ke arah lapangan tempat kami biasa melaksanakan upacara bendera.
"Berdiri di tiang bendera itu sampai pulang sekolah." Dengan mulut terkancing rapat kami berdua meninggalkan ruang kelas. Semua pasang mata mengikuti menghantar kami hingga kami tiba di singgasana kesengsaraan.
Menyadari kelakuan kami yang bejat itu, kami bersumpah untuk jangan pernah melakukannya lagi. Kami berdua berjanji di terik matahari siang yang menusuk kulit. Janji ini disaksikan pula oleh sebuah tiang yang di atasnya melambai elok sang merah putih. Kami berjabatan sambil mengucapkan ikrar: "Kita harus menjadi yang terbaik."
Sumpah itu bukan tong kosong bohong melolong. Ikrar itu bagai pecut yang membuat kami berlari kencang. Kami membuktikannya dengan kerja keras yang membuahkan. Â Kami naik kelas dengan predikat memuaskan. Sekalipun bahasa Inggrisku hancur.
Aku naik kelas dua (sebelas) dengan predikat peringkat satu. Terbaik dari seluruh siswa kelas satu (sepuluh) yang berjumlah hampir seratus anak. Kami semua terbagi ke dalam dua kelas paralel -- A dan B.