Rencananya pula aku akan berbelanja bahan-bahan untuk memasak opor. Sayur temannya ketupat. Cuma tahun ini aku tidak sempat membuat ketupat. Perhatian dan waktuku tersita oleh cucu-cucuku. Jadi aku ganti dengan lontong saja. Toh tidak jauh berbeda. Walaupun agak kurang sempurna. Tapi no problema. Aku juga menanak nasi sebagai antisipasi kalau-kalau lontong habis. Atau ada yang lebih suka nasi.
Karena ini sudah kulakoni sejak masih remaja jadi bukan sesuatu yang sulit lagi. Hanya tenaga yang memang tidak bisa dibohongi. Makin tua, makin tipis tenaga. Untung anak-anak juga sempat membantu mengeksekusi yang berat-berat. Kadang kalau kelelahan aku hanya menginstruksikan supaya mereka yang menuntaskannya. Semua aman terkendali.
Karena bagiku, itu sudah terprogram otomatis sebagai seorang ibu rumahtangga asli. Aku hanya di rumah melayani sebagai istri dan mama yang baik. Dan juga sudah menjadi budaya untuk menyiapkan segala yang berhubungan dengan lebaran maka itu bukan lagi sebuah perkara berat. Bukan suatu hal yang rumit. Semuanya mengalir lancar. Aku dan anak-anak senang-senang saja dalam menyiapkannya.
Itu bukan berarti aku meremehkan. Sebab aku bukan tipe perempuan macam itu. Tipe yang suka meremehkan sesuatu. Tapi aku juga bukan tipe yang menyulit-sulitkan sesuatu yang sederhana. Tepatnya aku realistis. Melakukan sesuatu seperti yang harus kukerjakan. Mengerjakan dengan kemampuan yang kupunyai juga tentunya. Aku tak mau dan tak suka yang heboh. Yang lebai aku tak nyaman. Dan tak mau. Normal saja.
Oleh karena itu, sejak malam aku sudah berdiskusi dengan suamiku tercinta. Aku bilang padanya: "Pa, sehabis sahur terakhir subuh nanti aku tinggal ke pasar, ya. Papa tunggu di rumah. Sambil baring menemani Ino dan Oni. Paling juga aku udah balik mereka belum pada bangun. Papa tidur-tiduran aja nggak usah beres-beres." Begitu pesanku. Dan dia merespon dengan manis tanpa aksara.
Kami semua beristirahat dengan sukacita. Sukacita karena subuh nanti adalah sahur terakhir. Sukacita karena besok adalah hari kemenangan besar. Hari lebaran. Idul fitri. Sukacita karena respon suami yang lembut dan menyentuh walau tanpa kata. Tanpa aksara. Hanya dengan sedikit tanda yang biasa dan selalu dilakukannya padaku. Kami semua terlelap hening bahagia.
Seperti biasanya aku adalah orang pertama yang lebih dahulu meninggalkan tempat tidur. Aku menuju dapur untuk mempersiapkan sahur terakhir kami. Tidak wah. Sederhana saja. Nasi. Sayur. Ikan goreng. Kerupuk. Semua komponen hidangan itu adalah yang tidak terselesaikan semalam. Jadi aku tak repot. Hanya memanaskan yang perlu. Ditambah teh manis panas bagi semua anggota keluarga. Beres!
Setelah terhidang di mejamakan aku bangunkan satu-satu untuk menikmati sahur terakhir di bulan ramadhan ini. Kami semua duduk mengelilingi menjamakan sederhana itu. Suami duduk di kepala meja. Aku di sebelah kirinya. Lalu di sebelah kiriku Rachma, putri sulungku yang didampingi suami di sisi kirinya. Di depanku Fitri, putri bungsuku dan suami di sebelah kanannya.
Setelah doa makan yang kami panjatkan dengan khusyuk kepada Allah Sang Mahapencipta yang dipimpin suamiku, kami pun menyantap sahur terakhir ini dengan nikmat penuh sukacita. Hanya kami yang orangtua yang sahur. Ino dan Oni, cucu-cucuku masih terlelap dalam alam senyap di awang-awang. Makhlum Ino masih berumur dua setengah tahun dan Oni baru satu tahun. Ino putra pertama dari putri pertamaku. Dan Oni adalah putra sulung dari putri bungsuku.
Sesudah menikmati sahur terakhir ini aku kembali sibuk dengan mengecek semua persiapan terakhir menjelang idul fitri siang nanti. Anak-anak, menantu dan suami kembali ke tempat tidur masing-masing. Aku akan menyusul tapi masih merapikan yang tersisa sehabis sahur dan memasukkan jajanan-jajanan yang belum terwadahkan. Setelah itu baru aku baring-baring sedikit menanti mentari merekah baru ke pasar.
Karenanya aku tidak ke kamar tidur. Takut kebablasan. Aku berbaring di sofa saja. Namanya juga berbaring atau baring-baring berarti tidak lelap. Pikiranku malah mendahuluiku ke pasar. Pikiranku sudah menjelajahi lapak-lapak di dalam pasar untuk mengetahui posisi di mana aku harus membeli apa. Ia sudah menyusuri lorong dan gang dalam pasar tradisional atau pasar basah tempatku biasa berbelanja bahan makanan.