Teringat cerita bertahun-tahun lalu ketika saya berkunjung ke rumah teman di desa. Saya sangat menyukai rumahnya yang terletak di atas bukit, sederhana, tapi nyaman, dan udaranya sangat sejuk. Teman saya itu memiliki anak laki-laki kembar. Waktu itu tahun ajaran baru sekolah akan segera dimulai. Saya pikir kedua anak teman saya itu pun masuk SMP seperti anak lainnya.
"Ah, cuti dulu saja sepertinya ...." Demikian jawaban teman waktu itu yang membuat saya shock.
Setelah beberapa saat mengumpulkan keberanian untuk bertanya, saya pun melancarkan protes, "Tapi kan SMP itu gratis. Iya bener kan?"
Teman saya hanya menggelengkan kepala, lalu melempar senyum lemah. Tak lama kemudian meluncurlah ceritanya. Saya hanya bisa terdiam setelah mendengar alasan mengapa kedua putranya tidak akan lanjut sekolah ke jenjang SMP. Selama ini, setahu saya memang suaminya kerja serabutan. Keuangan teman saya ini masih dibantu oleh orangtuanya. Walaupun begitu, tetap saja hati ini protes, tak rela rasanya kedua anak kembar itu harus berhenti sekolah hanya untuk membantu mencari nafkah. Apakah memang masalah ekonomi ini yang membuat anak putus sekolah dari jenjang SD lebih besar prosentasenya?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penyebab utama anak putus sekolah adalah faktor ekonomi. 67 persen tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena sulit membayar biaya sekolah, sisanya karena harus membantu keluarga mencari nafkah. Jumlah anak putus sekolah sepanjang tahun ajaran 2022/2023 saja sebanyak 76.834 dari semua jenjang, SD sebanyak 40.623, SMP 13.716, SMK 12.404. Miris, karena dari jenjang SD yang tidak lanjut sekolah sangat banyak jumlahnya.
Sekolah Alam Untuk Semua Anak
Sedih rasanya kalau menemukan anak yang putus sekolah itu. Saya sering juga menemukan anak usia SD yang ngamen di jalanan. Awalnya saya suka nanya-nanya, "Nggak sekolah, Dek?" Terus mereka menjawab kalau baru pulang sekolah, lalu lanjut ngamen. Jleb! Rasanya gimana gitu mendengar jawaban mereka itu. Jadi teringat anak-anak saya yang terkadang suka malas-malasan sekolah. Padahal banyak anak di luar sana yang harus sekolah sambil bekerja, dan lebih banyak lagi yang putus sekolah. Sedih rasanya menyadari semua itu, apa tidak ada orang yang bisa menolong mereka?
Kegelisahan saya itu terobati ketika mengetahui sosok pejuang pendidikan Muhammad Farid. Beliau ini pendiri Sekolah Alam untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. Masya Allah, jadi teringat ketika anak saya masih di Sekolah Alam, dan bayarannya itu lumayan menurut saya. Sedangkan Bapak Farid ini dengan mulianya mendirikan Sekolah Alam yang ditujukan untuk mereka yang kurang mampu. Bahkan sekolah pun dibayar dengan sayuran, jika terpaksa malah boleh membayar dengan doa saja. Saya sempat tertegun, niat yang benar-benar tulus dan mulia.
Sekolah Alam Banyuwangi Islami School (BIS) yang didirikan oleh Muhammad Farid terletak di Desa Kopen, Genteng, Banyuwangi. Niat mulia pria yang lahir pada 19 April 1976 ini telah mengantarkannya menjadi penerima ASTRA Indonesia SATU Awards 2010 di bidang pendidikan dengan title "Sayur Untuk Sekolah".
Sayur Untuk Sekolah
Bapak Farid menyadari benar banyak anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Awalnya beliau mendirikan Sekolah Alam sebagai penunjang tesis S2 Manajemen Pendidikan. Beruntung ada yang mewakafkan tanahnya untuk dikelola oleh Bapak Farid menjadi sekolah. Di atas tanas seluas 3000 meter, Pak Farid membangun aula dan langgar kecil, ditambah aula untuk sanggar. Selebihnya, di atas sisa lahan dibangun saung-saung dari kayu yang sederhana.
Pak Farid terkejut dengan biaya Sekolah Alam ketika melakukan studi banding ke Jakarta. Beliau kemudian bertekad mendirikan sekolah dengan biaya terjangkau. Pak Farid mencari murid-murid dari keluarga tidak mampu untuk bersekolah.
"Saya sampai mencari murid ke pasar-pasar ...." Pak Farid menceritakan betapa awalnya ia kesulitan mendapatkan murid. Saking sulitnya mendapatkan murid ia sampai menulis di dream book agar bisa masuk Kick Andy, biar viral dan dikenal oleh masyarakat.
Karena target beliau ini anak-anak yang tidak mampu, jadi soal biaya sekolah juga dipermudah. Siswa yang tidak mampu boleh membayar dengan sayuran. Ada juga siswa yang membayar dengan lauk pauk. Sayuran yang dibawa anak-anak itu nantinya dimasak untuk menu makan mereka. Bukan hanya sekolah yang dibayar dengan sayuran, para guru juga ternyata awalnya digaji dengan sayuran.
Konsep Pengajaran Mirip Pesantren
Karena Sekolah Alam yang dipimpinnya mengusung konsep mirip pesantren, para siswa jadinya wajib menginap. Setiap Sabtu dan Minggu anak-anak boleh pulang ke rumah. Mereka kembali ke sekolah sambil membawa sayuran yang nantinya diolah jadi menu makanan.
Menariknya, Pak Farid berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris dengan anak-anak. Walaupun bayar sekolah dengan sayuran, kurikulumnya ternyata tidak sembarangan. Setiap siswa diwajibkan mengikuti tiga camp, yakni english camp, tahfidz camp, dan kitab kuning camp. Kakak kelas juga wajib jadi mentor, wajib jadi penyampai materi. Hal ini ditujukan agar anak-anak memiliki public speaking yang bagus.
Demikian pula dengan pendidikan iman dan akhlak, Bapak Farid menanamkan kebiasaan salat 5 waktu dan salat duha. Pendidikan agama menjadi salah satu unggulan Sekolah Alam Banyuwangi Islamic School ini. Aktivitas para siswa itu full day, dimulai pukul 2 dini hari untuk salat tahajud, salat subuh, salat duha, barulah pembelajaran dimulai.
Para siswa juga dibebaskan untuk belajar di mana saja, tidak harus di dalam aula. Siswa memiliki kelompok yang terdiri dari 10 orang anak. Para siswa juga sering melakukan outbond dan tadabbur alam. Selain itu juga mereka dididik agar jiwa enterpreneurship-nya tumbuh. Tak ketinggalan multimedia dan bahasa juga harus dikuasai.
Astra SATU Indonesia Awards 2010
Awalnya Bapak Farid tidak tahu telah didaftarkan di Astra Awards. Beliau baru tahu setelah masuk nominasi 20 besar. Ternyata diam-diam Bapak Farid didaftarkan oleh salah satu wartawan media. Tidak disangka beliau mengalahkan para kandidat lain dan memenangkan nominasi penerima Astra SATU Indonesia Awards di bidang pendidikan. Walhasil, hadiah 40 juta ia gunakan untuk keperluan sekolah. Bapak Farid juga diundang Astra untuk memberikan training sekaligus berbagi pengalaman ke seluruh Indonesia. Berkat jadi pemenang juga mimpi beliau jadi kenyataan. Akhirnya, Bapak Farid diundang juga ke acara Kick Andy.
Pendidikan anak bagi saya adalah nomor satu. Karena itu pula saya sering prihatin dengan kenyataan banyaknya anak yang putus sekolah. Apalagi putus sekolahnya itu karena harus membantu ekonomi keluarga. Tapi melihat perhatian pemerintah terhadap pendidikan saya yakin masalah ini dapat diatasi. Terbukti dari anggaran untuk pendidikan yang selalu ditambah setiap tahunnya. Orang-orang seperti Bapak Farid juga pasti banyak di luar sana. Saya yakin apabila kita bergerak bersama, ikut bertanggungjawab, masalah anak putus sekolah karena faktor ekonomi ini dapat diatasi. Masalah pendidikan itu tanggung jawab kita bersama demi masa depan gemilang anak-anak tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H