Mohon tunggu...
YOLANSI HENDRIKUS MOAR
YOLANSI HENDRIKUS MOAR Mohon Tunggu... Peternak - Pecinta Alam

Petani yang senang menulis, ingin hidup bersosialisasi dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Ubi Gadun (Raut) Dikonsumsi Baik bagi Penderita Diabetes

4 Oktober 2021   18:52 Diperbarui: 4 Oktober 2021   19:12 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari Bukalapak

Pernah melihat ubi gadung(raut)? Apakah kita pernah makan ubi gadung(raut)?

Ubi gadung atau raut dalam bahasa daerah Manggarai. Bagi warga Kampung Mahima-Kel.Wangkung-Kec Reok-Kab.Manggarai-NTT, menyebut tanaman ubi gadung(raut) tidaklah asing. 

Pada zaman sebelum kemerdekaan, gadung(raut) menjadikan makanan alternatif Masyarakat ketika beras sudah habis.  Gadung(raut) merupakan sejenis umbi-umbian yang tumbu liar di wilahah hutan  Mahima dan disekitarnya.

Kini Masyarakat di Mahima dan disekitarnya tidak ada lagi yang mengkonsumsi ubi gadung(raut). Meski menyehatkan, minat warga mengkonsumsi ubi gadung(raut) mulai hilang karena Masyarakat tidak mau repot dalam mengolah ubi gadung(raut) ini.

 Sebab, mengolah ubi gadung(raut) memerlukan keahlian dan keterampilan tersendiri. Jika tak diolah dengan baik, bisa menyebabkan keracunan. Ubi Gadung (raut) ini beracun karena getahnya.

Sejumlah penelitian menyebutkan, getah ubi gadung(raut) ini mengandung  zat  toksik yang dapat terhidrolisis hingga terbentuk asam sianida (HCN). Efek HCN yang dirasakan kala memakan ubi hutan tanpa pengolahan baik, yaitu tidak nyaman ditenggorokan, pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.

Di wilayah hutan Mahima dan sekitarnya ubih gadung(raut) mudah ditemukan. Dalam pertumbuhannya, ubi gadung(raut) sangat cepat bisa sampai tiga sampai empat meter. 

Ia bisa menjadi tanaman rambat jika tumbuh di sekitar pohon besar. Tanaman ini memiliki batang berduri kecil. Di banyak hutan, tanaman ini mudah ditemukan, meski dengan nama berbeda-beda. Sejumlah nama lokal ubi hutan ini antara lain; raut (Manggarai), gadu (Bima), dan iwi (Sumba).

Menurut Nenek Kari (82 tahun) di Kampung Mahima, makan ubi gadung(raut) ini sebenarnya menyehatkan dan memiliki khasiat mengobati penyakit tertentu."Kami dulu tak ada kena penyakit gula karena selalu makan ubi Raut" ujar Nenek yang kelahiran 1939 itu. 

Lanjut Nenek Kari menerangkan; sebenarnya mengolah ubi gadung(raut) ini menjadi makanan sangat sederhana. "dulu kami mengolah gadung(raut) dengan cara mengupas kulitnya, stelah itu diiris tipis lalu dijemur untuk dikeringkan, direndam selama tiga hari, lalu ditumbuk menjadi tepung.

Tujuan penjemuran dan perendamaan adalah untuk menghilangkan getah beracun." tutur Nenek yang lahir di zaman  sebelum kemerdekaan ini. 

Ubi gadung (raut) memiliki serat dan kalsium tinggi. Menurut Nurbaya, peneliti gizi dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, dibanding beras atau singkong,  nilai gizi ubi hutan sebenarnya lebih rendah tetapi kandungan serat dan kalsium tinggi. Total energi sikapa 100 Kal, karbohidrat 23,5 gr, protein 0.9 gr dan lemak 0,3. 

Kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan  beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus. Gadung(raut) juga mengandung kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg. Kalsium ini untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan.

Seandainya ada penelitian yang lebih dalam mengenai ubi gadung(raut). Ubi gadung(raut) bisa diperkenalkan kedunia industri dengan adanya teknologi canggih dalam mengolah untuk menghilangkan getah beracun yang terdapat pada ubi gadung(raut) ini, mungkin bisa dijadikan salah satu bahan dasar tepung untuk diolah menjadi makanan untuk masyarakat Indonesia umumnya. 

Karena di Mahima-Manggarai-NTT, ubi gadung(raut) sudah pernah diolah menjadi tepung untuk dijadikan bahan makanan oleh Masyarakat setempat di zaman sebelum kemerdekaan.

Penulis : Olan D'goi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun