Mohon tunggu...
Yola Ibrahim
Yola Ibrahim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sumatera Utara

Seorang Sapiosexual yang kecanduan Ilmu Psikologi dan sangat aktif di Facebook.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Boleh Nggak Sih Muslim Merayakan Hari Lahirnya?

12 Mei 2022   22:11 Diperbarui: 12 Mei 2022   22:32 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah.

Mari awali artikel ini dengan mendoakan semoga hal-hal baik menghampiri kita yang baca. Aamiin.

Artikel ini saya tulis khusus untuk seorang adik (saya sebut adik atas dasar bersaudara satu keturunan dari nabi Adam) yang hari ini genap berusia 16 tahun dan tidak akan saya sebut namanya. Haha.

Sekedar disclaimer: saya muslim dan dalam Islam nggak ada yang namanya perayaan ulang tahun. Saya setuju. Sampai di situ kita sudahi dulu, kita bisa bahas alasan kenapa nggak boleh dan gimana cara memperingatinya dengan benar.

Sebenernya apa sih hari lahir itu? Secara etimologi hari lahir itu berasal dari kata milad yang berakar dari kata walada, artinya memperlahirkan. Secara terminologi hari lahir adalah peristiwa penting bagi seseorang, awal mula kehidupan dan kehadirannya di muka bumi.

Merayakan hari lahir atau ulang tahun itu nggak ada dalam sejarah umat muslim, tapi mengingat hari lahir itu sangat dianjurkan. QS. Al Hasyir (59):18 dijelaskan, "ingat masa lalumu untuk masa depanmu (akhirat)".

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti ra. Sejarah ulang tahun sendiri pertama kali dimaksudkan sebagai perayaan hari kelahiran Firaun yang mengaku Tuhan di Mesir tercatat dalam kejadian 40:20. Barangkali atas dasar ini umat muslim dilarang merayakan hari ulang tahun, sebab sama aja kayak kita sepakat dan mengimani orang yang menyekutukan Allah SWT.

Sejarah hari lahir di umat muslim identik dengan Maulid Nabi yang diisi dengan sholawatan, mengenang kehidupan Nabi sebagai suri tauladan dan dakwah bukan pesta. Yang menarik di sini adalah seluruh ulama satu suara kalau nabi sendiri nggak pernah memperingati maulid nabi semasa hidupnya bahkan juga sampai masa para sahabat mengambil alih. Terus darimana perayaan ini datang?

Maulid Nabi sendiri pertama kali diperingati pada tahun 364 H oleh Dinasti Fatimiyun yang dipimpin raja Al-Muiz di Mesir. Tahun 480 pada masa pemerintahan Al-Afdal, peringatan Maulid Nabi sempat dihapuskan dan dihidupkan kembali setelah beliau wafat di tahun 515 H oleh raja baru bergelar Al-Amir liahkamillah. Dan yah, masih berlangsung hingga sekarang di beberapa tempat atau beberapa aliran. Poin penting dari Maulid Nabi sendiri adalah ibarat napak tilas alias mengingat kembali dan meneladani Nabi khususnya sifat-sifat terpujinya.

Sejatinya mengingat/memperingati hari lahir itu boleh dengan tujuan sebagai ajang kesempatan introspeksi a.k.a memuhasabah diri dengan catatan tidak membuat seremonial besar-besaran yang biasanya hanya buang-buang duit. Memuhasabah apa-apa sifat yang buruk yang harus ditinggalkan, apa yang harus ditingkatkan, terlebih agar mengingatkan kita pada kematian.

Menurut Kemenag NTB 2018, peringati/rayakanlah dengan syukuran sekedarnya bersama keluarga atau teman dekat atas dasar bersyukur masih dikasih kesempatan bernafas, sehat dan diberi kehidupan. Sebab merayakan juga bisa menjadi pengingat untuk mengevaluasi apa aja yang udah dikerjakan selama ini dan apalagi yang harus ditingkatkan kemudian hari. Sekedarnya aja, nggak ada perayaan yang berfoya-foya. Sebab Allah tidak suka umat yang berlebih-lebihan (al-Anam: 141).

Yang bertambah itu usia, tapi umur itu berkurang. Lantas jika hanya mendekatkan pada kematian kenapa dirayakan? Merayakan kematian?

Tua itu kepastian, dewasa itu pilihan. Banyak di luar sana yang udah berusia lanjut, tapi kelakuan sama dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SMP. Sebaliknya, banyak anak di bawah umur yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Ini membuktikan kalau usia hanya sekedar angka bukan tolak ukur orang dikatakan dewasa. Mengingat hari lahir itu momentum pas untuk mengingatkan diri supaya menjadi pribadi yang lebih baik lagi, pribadi yang dewasa, mental yang matang.

Mengingat/merayakan hari lahir harus dibarengi keinginan berubah, bukan cuma merenungi. Mulai belajar menjadi bijaksana, belajar menjadi orang yang bernilai dan bermanfaat serta punya tekat untuk meninggalkan hal-hal yang nggak bermanfaat. Yang paling penting selain untuk memuhasabah diri adalah latihan berakhlak. Kita boleh miskin, boleh bodoh, boleh nggak goodlooking, satu yang kita nggak boleh; nggak berakhlak.

Semakin matang usia seseorang seharusnya semakin matang pula akhlaknya. Suka berkelahi itu kebiasaan anak SMP, di usia anak SMA tinggalkan kebiasaan itu. Nggak bisa nerima perbedaan dan saling ejek itu kebiasaan anak SD, di usia kepala dua belajarlah nerima perbedaan. Udah ada porsinya, nikmati prosesnya.

Terakhir, selamat menua untuk kita semua, khususnya adik saya yang hari ini lagi memperingati hari lahirnya. Kamu masih muda, rajin belajar, jangan tinggalkan ibadah, jaga kesehatan, bentuk karakter dan junjung akhlak.

Yuk bisa, yuk!
-Yola

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun