Mohon tunggu...
Yolanda Florencia Herawati
Yolanda Florencia Herawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Jurnalistik yang masih ingin mengasah kemampuan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resesi Seks, Kehamilan Tidak Diinginkan, dan Angan-angan Childfree

4 Januari 2023   19:01 Diperbarui: 4 Januari 2023   19:10 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan berhak memilih untuk childfree (Ilustrasi/Yolanda Florencia)

Pihak-pihak kontra childfree pun kerap menuturkan narasi yang menyatakan bahwa anak dapat menjadi pengikat suatu pernikahan. Menurut mereka, tali ikatan pernikahan akan mudah putus tanpa kehadiran seorang anak. Childfree juga dinilai tidak akan membawa kebahagiaan dalam keluarga. Meski tak jarang, kehamilan tidak diinginkan membawa pertengkaran di dalam rumah tangga.

Lagipula, pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu alasan para kaum childfree memegang prinsip untuk terbebas dari anak. Mereka yang kerap menyaksikan pertengkaran dan kekerasan berpotensi untuk melakukan kekerasan serupa kepada anaknya di masa mendatang.

Seorang sosiolog Amerika Serikat, Gelles Richard menemukan adanya pola pewarisan kekerasan antar generasi (inter-generational transmission of violence) yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Orang tua yang berperilaku abusive bisa jadi merupakan korban kekerasan anak di masa lalu. Warisan kekerasan ini akan terus diturunkan dari generasi ke generasi apabila tidak diputus. Itulah mengapa childfree menjadi pilihan beberapa orang untuk memutus mata rantai kekerasan tersebut. 

Namun, childfree terus mendapat cibiran karena dianggap mencerminkan keegosian dan pesimisme manusia. Padahal, mereka hanya melakukan pilihan dalam hidupnya. Mereka ingin mencegah terjadinya kehamilan tidak diinginkan dan turut memutus mata rantai kekerasan.

Kini, ketakutan akan fenomena resesi seks dan krisis demografi ikut jadi alasan menentang kampanye childfree. Meski di Indonesia, fenomena ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. 

Pro kontra childfree tidak seharusnya hanya dipandang sebagai kasus krisis demografi saja, tetapi perlu dipandang lewat sudut pandang hak asasi manusia. Perempuan punya hak atas tubuh dan masa depannya. Laki-laki juga dapat menganut prinsip childfree dengan alasan-alasan yang patut dipertimbangkan dalam kehidupan rumah tangga. Sebab tiap-tiap manusia bukan hanya sekedar angka bagi demografi, tetapi nyawa yang tengah berjuang dalam kehidupan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun