Mohon tunggu...
yolaagne
yolaagne Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Jurnalistik

sorak-sorai isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Matamu Ada Sepotong Swastamita

22 November 2020   09:51 Diperbarui: 22 November 2020   09:53 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan itu membenamkan matahari diantara kelopak mata dan kaca matanya.
Di sana lah matahari sering terbenam serupa senja di cakrawala.

Gendis suka membenarkan letak kaca matanya yang sebenarnya tidak bergeser atau merusut. Ia hanya senang mengetahui kaca matanya dalam keadaan baik-baik saja. Setiap hari, menjelang sore ia duduk di bukit penuh batu nisan, bersiap-siap menenggelamkan matahari di kedua matanya.

Entah sudah berapa lama sejak kejadian itu ia harus menjadi cakrawala untuk matahari yang hendak istirahat. Ia hampir tidak ingat lagi, atau saking terlalu menempel hingga diluar kepala. Ia tidak ingat lagi kapan terakhir kali hidup sebagai perempuan normal tanpa semburat cahaya kuning keemasan dikedua mata.

seharusnya ia tidak menemukan kisah Sukab dan Alina di angkringan malam. Ia mendengar sekelompok remaja sedang asik bercerita, menyesalkan perbuatan Sukab yang memotong senja untuk Alina yang dikirimkan melalui pos. "Bagaimana sih Sukab itu, harusnya ia yang mengantar langsung sepotong senja itu. Bukan pak pos"

Berbeda dengan sekelompok remaja itu, Gendis merasa apa yang dilakukan sukab adalah hal romantis yang akan ia lakukan kepada kekasihnya. Gendis mulai mencari sudut senja paling cantik, ia menaiki gunung, berjalan di pematang sawah, menaiki bianglala, dongeng senja di buku. 

Segala cara ia lakukan untuk menemukan sudut senja yang paling cantik. Hingga ia sadar sudut senja tercantik adalah ketika ia duduk bersama kekasihnya dan menghabiskan sore dengan memandang matahari terbenam.

Akhirnya ia mengajak pacarnya duduk di bukit kecil dipenuhi nisan. Bagi orang lain akan terasa menyeramkan berlama-lama duduk di sana, tapi tidak dengan Gendis. Ia betah berlama-lama duduk di sana menikmati waktu dan matahari terbenam.

Ketika itu matahari sudah menguning dan bulat seperti kuning telur. Dengan hati-hati Gendis memotong sebagian matahari terbenam dan memasukannya ke dalam kantong. 

Seketika kantong basah oleh cahaya senja dan cahayanya sangat menyilaukan mata. "Ini kuberikan untukmu, sepotong senja yang masih hangat" Gendis tersenyum lebar, sembari menyerahkan kantong bercahaya itu. Tidak lupa ia membenarkan letak kaca matanya, tentu ia tidak boleh kehilangan momen ketika pacarnya menerima kantong itu dengan tersenyum dan mengecup kening Gendis.

"Gendis, maaf aku sudah tidak mencintaimu. Apalagi ini, kau memotong senja yang ada di langit sana? Rupanya kau sudah tidak waras lagi Gendis. Sudah kubilang, buku-buku yang kau baca akan membuatmu tidak waras".

Lelaki itu pergi meninggalkan Gendis  dengan sekantong cahaya. Gendis belum beranjak dari tempatnya. Ia masih mematung tidak percaya dengan apa yang terjadi. Lelaki yang ia cintai dan lelaki yang menjadi alasan Gendis memotong senja berucap demikian menyakitkan. Ia bahkan tidak memberi kesempatan Gendis untuk bicara.

Ia menunduk, letak kaca matanya bergeser tapi tidak ia benarkan. Sekarang ia bingung harus diapakan sepotong kecil senja ini, sayang jika dibuang. Ia pun berlari dipenghujung sore, di antara nisan menuju rumah. Sesampainya di rumah ia mengambil segelas air putih di gelas kaca dan menumpahkan sepotong senja itu ke dalamnya. 

Airnya seketika berubah kuning, bercahaya, dan beraroma manis permen kapas. Gendis memandangi gelas itu beberapa saat, setelah itu ia meminumnya hingga teguk terakhir. "Laki-laki bodoh, senja manis begini kau tolak"

Semenjak itu, sebagian senja selalu terbenam dari matanya. Setiap sore ia datang ke bukit, menghabiskan sorenya di sana. Tidak terlalu terang cahaya senja di mata Gendis, karena ia hanya memotong sedikit bagian dari senja. Namun, anehnya siapapun yang melihat senja yang tenggelam di mata Gendis, ia akan merasa sedih mendadak. 

Seperti film, potongan-potongan kesedihan itu akan muncul ketika menatap mata Gendis saat matahari terbenam. Diantara letak kaca matanya, cahaya kuning itu akan membuatmu bersedih, tak peduli seberapa bahagia ketika itu.

Ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikan dirinya seperti semula. Minum air putih yang banyak juga tidak berpengaruh apa-apa. Gendis menganggap ini adalah hukuman karena telah egois dan berani melubangi senja yang seharusnya dinikmati banyak orang. Ia menerima hukuman itu, dan mata Gendis tetap menjadi tempat perpulangnya sebagian matahari, hingga ia menutup umur senjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun