Puisi-puisi eyang Sapardi pernah menyembuhkan saya. Kali ini saya membaca hujan bulan juni di bulan Juli dengan bermati-mati.
Sapardi Djoko Damono pagi tadi beristirahat selamanya setelah sakit beberapa waktu lalu. Beranda media sosial seketika dipenuhi pemberitaan berpulangnya sahabat Jokpin ini. Banyak orang merasa kehilangan penyair terbaik Indonesia. Begitu juga saya, antara percaya dan tidak.
Saya memanggil penyair kesukaan saya ini dengan panggilan "Eyang". Setelah membaca salah satu sajaknya Hujan di Bulan Juni, saya merasa memiliki kedekatan melalui puisi-puisinya, maka saya panggil eyang.
Saya telah mendengar kabar sakit eyang terlebih dahulu, ia dirawat di rumah sakit karena penurunan fungsi organ. Entah kenapa pikiran saya sangat buruk ketika itu, saya membayangkan jika dari sakitnya ini ia akan berpulang. Tapi saya yakin eyang akan baik-baik saja seperti sebelum-sebelumnya. Dirawat sebentar kemudian pulang.
Namun, apa yang saya takutkan jauh-jauh hari terjadi, 19 Juli 2020 eyang beristirahat memahat sajak untuk selamanya. Saya menatap kosong ke arah buku Hujan di Bulan Juni, saya belum pernah bertemu eyang secara langsung, tetapi dari sajak-sajaknya saya seperti mengenalnya begitu dekat. Kepergiannya sangat membawa badai kesedihan. Mengapa harus sekarang? Saya bahkan belum menamatkan semua buku eyang.
Puisi-puisi eyang Sapardi pernah menyembuhkan saya. Ketika itu saya dirundung kesedihan, kemudian saya mengambil semua puisi yang ada di rak buku. Puisi berjudul "Pertemuan" menuntun saya membangun bahagia baru. Ia terus melekat di kepala saya sebagai obat ringan yang manis, kemudian hujan di bulan juni yang terkenal itu, saya baca juga meskipun bukan di bulan Juni. Kali ini saya membaca hujan bulan juni di bulan Juli dengan bermati-mati. Terima kasih, eyang abadi selalu dalam obat yang akan selalu saya teguk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H