Tuhan sedang menumpahkan seember bintang di langit yang sebelumnya dicat dengan warna cahaya keemasan. Nelayan-nelayan sudah menyandarkan perahu ketepian dan bergegas pulang menemui anak-istri. Burung laut sudah pulang kesangkarnya. Air laut mulai pasang, menandakan malam tiba.
Seorang anak laki-laki dengan bau laut di tubuhnya yang juga memiliki hati langit, tengah mondar-mandir di tepi pantai mencari sesuatu. Saat itu senja baru saja tergelincir dari atas sana, berbekal kantong  dari anyaman bambu dan sebuah senter kecil anak itu terus menyisiri bibir pantai.
Kedua mata yang membawa ombak di dalamnya tak lengah menatap satu demi satu pasir dan batu karang. Entah apa yang ia cari di hari yang sudah gelap. Sesekali badan dan bibirnya bergetar menahan dingin angin malam.Â
"Apa yang kau cari adik kecil?" tanya salah satu bintang jatuh. Anak kecil tersebut tidak heran lagi, karena ini bukan pertama kalinya ia mendengar bintang jatuh berbicara
"Aku mencari keadilan wahai bintang," jawabnya.Â
Anak laki-laki itu sering melihat orang membuang keadilan dari kantong mereka. Ada yang datang hanya untuk membuang keadilan dan ada yang membuang sekaligus mengambil kekayaan dengan jaminan, itu mereka harus kembali dan membuang kemanusiaan mereka.
"Aku membutuhkan keadilan itu, ibuku sedang dihakimi penduduk kampung karena mematahkan ranting di hutan milik warga. Padahal ranting itu digunakan untuk menolong pendaki yang kedinginan," lanjut anak itu dengan air yang mulai menggenang di sudut matanya. Tangannya masih terus menelusuri pasir dan bebatuan.
Cahaya bintang semakin tegas terlihat. Telapak tangan dan kaki anak tersebut mulai keriput dihantam dingin air laut.Â
"Percuma saja dik, walaupun kau membawa seribu keadilan pada mereka, mereka tidak akan menerima itu. Percaya padaku, setiap hari selalu kuawasi penduduk di desa ini".Â
Anak laki-laki itu mulai kesal dan melempari bintang dengan pasir laut.