Sekitar pukul 18.00 WIT suara tahrim dari masjid Al-Ijtihad sudah terdengar. Langit mulai menguning di separuh magrib ini. Anak-anak yang tengah bermain, mulai dipanggil pulang oleh ibunya ke rumah. Kalau tidak cepat pulang nanti diajak bermain sama hantu, kata ibu-ibu penghuni kompleks Kodam Jln. Makodam RT 002, RW 002. Karena memang sepanjang perumahan dinas ini dikelilingi oleh banteng yang diberinama "Benteng Victoria". Benteng peninggalan belanda yang tiap batanya dilekatkan oleh putih telur. Dan konon, banyak orang belanda yang dikubur disana.
Ketika tahrim terdengar bapak sudah bersiap-siap ke masjid, berganti pakaian dan mengenakan kopyah dikepala. Sambil menunggu azan berkumandang bapak duduk di teras. Saya yang baru saja pulang dari kampus mencium tangan bapak dan duduk disampingnya. "Pak, lihat senjanya bagus" kata saya sambil menyodorkan sebuah foto yang dijepret saat perjalanan pulang. Bapak hanya melirik sebentar kemudian memandang ke arah jalan lagi.
"Adzan sekarang berharga nduk, tidak seperti dulu" celetuk bapak. Saya yang tengah melihat status-status teman diberanda  Facebook mengerutkan dahi, tidak mengerti apa maksud bapak. Dan bapak memulai ceritanya ditengah-tengah gemuruh tahrim masjid.
Kata bapak dulu saat pertama kali datang dari Bogor, menginjakan tanah Maluku keadaan Ambon sedang tidak baik-baik saja. Saat itu kerusuhan masih menyelimuti kota ini. Rusuh antara Kristen dan Islam membuat Bapak yang bertugas sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus bertugas menjaga kantor pusat dan  sering meninggalkan ibu, mbak dan saya. Saat kerusuhan azan susah didengar, bahkan untuk diwilayah islam sendiri.
"Tahu gereja yang di dekat masjid itu nduk?" sambil melihat ke arah gereja yang tak jauh dari rumah. "Tahu pak, kenapa emangnya?" jawab saya. Kemudian bapak melanjutkan ceritanya lagi. zaman kerusuhan tidak akan menemukan rumah ibadah bersanding seperti sekarang. Mau sholat tepat waktu di masjid saja susah. Tembakan di mana-mana. Kerusuhan dulu tidak takut dengan aparat sipil. Tentara dan polisi banyak yang mati dibakar dan ditembak karena agama.
Sambil mengusap-usap lengannya yang besar namun sudah berkurang tenaganya, bapak sesekali memberi jeda dalam ceritanya untuk mendengar suara dari pengeras suara masjid. Gereja di dekat rumah berdiri tahun 2004 saat kerusuhan sudah mulai reda. Karena masih takut, maka di dibangun rumah ibadah di dalam kompleks untuk para anggota dan keluarganya. Agar tidak perlu khawatir saat ingin beribadah, karena tak perlu keluar asrama.
Semenjak itu adzan yang terdengar setiap lima kali sehari juga bersamaan dengan bunyi lonceng gereja yang tiga kali sehari berbunyi. Â "sakjane, azan iku apik gawe kabeh uwong. Isok garai ileng nang pangeran dan ngilengno awak'e dungo, seng akhir e gawe ati adem" (sebenarnya azan itu baik buat semua orang. Bisa membuat kita ingat tuhan dan mengingatkan kita untuk berdoa yang akhirnya hati menjadi damai).
Azan tidak pernah memilih siapa pendengarnya. Karena azan bisa mendamaikan hati siapa saja, bahkan untuk orang yang bukan muslim
Saya masih mendengar dengan seksama. Matahari sudah berpulang. Adzan sudah berkumandang. Bapak berdiri dan bergegas menuju masjid. Suara gesekan sandal bapak semakin jauh terdengar. Masjid mulai ramai didatangi orang-orang yang merasa terpanggil untuk berdoa tak hanya orang asrama yang sholat disana, banyak juga orang dari luar yang mampir untuk beribadah. Kebanyakan didominasi kaum adam. Karena ibu-ibu dan remaja perempuan asrama lebih sering salat dirumah ketimbang di masjid.