Mohon tunggu...
Yokie S
Yokie S Mohon Tunggu... Freelancer - Adalah seorang Pelacur Spiritual yang merangkap sebagai Penulis Gelap secara fungsional.

Situs alamat saya ini, sejak awal, sudah saya rancang dengan konstruksi tanpa pintu. Jadi Anda, bebas mau keluar, atau mau masuk, atau mau jungkirbalik sekalian. Entah kenapa Admin Kompasiana yang cantik itu mengizinkan saya meluncurkan tulisan-tulisan tidak beres saya di sini. Saya kira sudah cukuplah semua basa-basi penghantar ini ya? Saya bukan ahli silaturahmi soalnya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyembelih Racun Moral Personalistik!

6 November 2019   18:28 Diperbarui: 6 November 2019   19:33 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam segitiga kacamata saya,


Jika memang problematik manusia membuat saya terpaksa untuk menelanjangi persoalan jubah-jubah Tuhan di muka Bumi, sebagaimana itu telah membuat banyak orang-orang beriman kecolongan dan melarikan dirinya dari rel mekanisme rasionalitas, sehingga dampak keseluruhan itu bermuara pada samudera ilusional yang kacau, maka saya dengan terpaksa harus menempatkan Tuhan pada dua jenis persoalan dasar yang berbeda.

Maksudnya, bukan menempatkan Tuhan ke dalam konsep dualisme. Tetapi menodong Tuhan pada mimbar terdakwa. Karena, sudah jelas jika saya menuntutnya melalui pintu teoritis, itu tidak akan bisa dilakukan. Jadi, metode saya untuk menguliti soal-soal yang membatu seperti itu, adalah mengurainya menjadi dua bagian.

"Yang pertama, apakah Tuhan itu memang ada".

"Yang kedua, apakah Tuhan itu harus ada".

Kontras soal antara keduanya, jelas!
Substansi jawaban dari keduanya juga akan bermuara pada laut yang berbeda. Termasuk itu juga akan ikut mempengaruhi spekulasi dan prasangka-prasangka manusia di dalam hidupnya. Apakah Tuhan memang ada, ataukah Tuhan dipaksa harus ada.

Jika Anda, atau saya sebut saja kita, menodong lagi kepastian yang valid dari keduanya, maka yang akan terlucuti selanjutnya adalah tentang apa-apa yang menjadikan manusia itu berkewajiban. Hukum apa yang membuat manusia itu menjadi punya kewajiban. Apakah Anda memang sejak muncul ke muka bumi ini sudah terlahir dengan beban kewajiban di lintas manusia. Atau apakah Anda memang pernah melakukan perjanjian, yang dimana prosesi tanda tangan kontrak itu dilakukan di luar kesadaran Anda dengan sesosok makhluk imajiner di ujung langit yang tidak pernah muncul.

Saya beri Anda kata kuncinya.

Jika yang berlaku adalah spekulasi pertama, bahwa Tuhan ada, maka akan lebih mudah Anda menjawab itu, bahwa seluruh kewajiban dan tindak-tanduk moralitas yang Anda lakukan, adalah sebuah bentuk persembahan kepada Tuhan. Maka Tuhan, menggantinya dengan kado spesial yang sebagaimana dalam pemahaman manusia akar rumput itu disebut sebagai pahala.

Lain dengan spekulasi kedua bahwa Tuhan harus ada, maka di sini tidak ada kado untuk Anda! Cari sendiri.

Di sini, isi kepala Anda akan dibantai habis-habisan, karena mau tidak mau Anda kemudian akan melontarkan kritik terhadap wujud moralitas. Bahwa untuk apa Anda melunasi kewajiban jika tak ada timbal baliknya? Adalah titik dimana Anda menyadari untuk apa Anda harus penuhi kewajiban itu dengan sesadar-sadarnya. Di sinilah, Anda sebagai manusia akan bisa terjawab, apakah Anda adalah memang manusia asli, atau manusia kardus.

Itulah kenapa bagi saya orang-orang beragama tidak akan pernah menjadi dewasa secara manusia. Karena yang mereka pakai, adalah spekulasi pertama, menduga-duga dengan asumsi personalistik. Dalam ilusi mereka, sesosok makhluk aneh akan memberikan mereka kado spesial kelak.

Saya mengakui adanya hukum timbal-balik, secara empiris. Sebut saja itu adalah sebab-akibat. Tetapi jenis timbal-balik yang saya maksud, bukan jenis timbal-balik yang datang dari sesosok makhluk aneh yang tinggal di atas langit.

Dalam pemahaman saya, ketika manusia telah melunasi kewajiban humanitasnya, maka manusia itu pantas mendapatkan kebahagiaan. Langsung dan nyata. Kalau saya menyebutnya, kebahagiaan moral. Sudah jelas bukan kebahagiaan yang altarnya berada surga.

Lagi-lagi, sepertinya tulisan ini tidak akan putus. Padahal saya sudah capek. Tapi mulut saya sepertinya masih ingin mengoceh jalan terus.

Jadi, jika Anda masih memakai spekulasi pertama, yaitu bahwa Tuhan ada, maka ketika Anda selesai melunasi sesembahan kewajiban Anda kepada Tuhan Anda itu, coba congkel-congkel sedikit, apakah Anda merasakan timbal-balik kebahagiaan moral?

Jika ya, artinya angan-angan Tuhan Anda itu memang cocok untuk Anda pakai.

Jika tidak, lebih baik Anda cekik saja Tuhan Anda itu sampai mampus dan buat Tuhan yang baru.
.
Bung Plontos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun