Saya lahir dan besar di Indonesia. Ada darah Tionghoa dan sedkit darah Jawa mengalir dalam tubuh saya. Hanya nenek dari ayah dan  nenek buyut dari ibu yang  orang Jawa, tetapi saya lebih tahu tradisi dan budaya Jawa. Panggilan Cina tidak terlalu mengganggu karena kami menggunakan kata itu untuk bercanda dengan teman-teman. Seringkali teman-teman menyebut saya Cina palsu karena kulit tidak putih, mata tidak terlalu sipit dan tidak bisa bahasa Mandarin atau bahasa daerah Tionghoa sama sekali. Kalau sedang di pasar atau toko, dan penjual menyebut harga dalam bahasa Tionghoa, saya sama sekali tidak mengerti berapa harga yang dimaksud. Ada pengalaman lain ketika saya dan teman-teman jalan-jalan di pasar, para penjual memangil saya "mbak", sedangkan teman saya yang asli 100% orang Jawa dipanggil "cik".  Kami pun mentertawakan hal-hal seperti ini.
Saya bersyukur orangtua saya mendidik kami sebagai orang Indonesia. Mereka mendidik kami untuk sadar bahwa nenek moyang kami dari Negeri Tirai Bambu, tapi kami lahir dan besar di Indonesia, Indonesia adalah tanah air kami. Kami sama sekali tidak diajari berbahasa Mandarin, tapi kami bisa berbahasa Jawa. Almarhum ayah saya adalah seorang pendeta, beliau mengajarkan nilai-nilai Kekristenan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ada persekutuan doa keluarga, kami membaca Alkitab dan buku renungan harian dan berdoa bersama, setiap dari kami mendapat giliran untuk memimpin persekutuan itu. Tidak pernah sekalipun ayah saya menjelekkan agama lain. Almarhumah ibu saya seorang guru, yang pernah aktif berpolitik. Saya ingat saat itu sekitar tahun 80an, ibu saya termasuk salah satu calon anggota legislatif dari partai yang berlambang pohon beringin. Meskipun kalah dan tidak menjadi anggota DPRD saat itu, ibu saya menunjukkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat minoritas, beliau menggunakan hak politiknya. Kedua orangtua saya aktif di ingkungan sosial, seperti ronda, arisan, petemuan ibu-ibu PKK, dan aktivitas lain. Kami, lima bersaudara, pernah dimasukkan sekolah negeri, supaya kami bisa berteman dengan orang-orang yang berbeda dan bersosialisasi.
Kami pun menjadi keluarga Indonesia. Satu kakak perempuan saya menikah dengan orang NTT dan satu kakak laki-laki saya menikah dengan orang Batak. Keluarga kami bertumbuh menjadi semakin berwarna. Seorang keponakan, anak dari sepupu, memutuskan untuk menjadi mualaf dan menikahi seorang Muslim. Sama seperti keluarga mana pun yang anggota keluarganya berpindah keyakinan, ada rasa sedih dan kecewa, tetapi ini tidak menjadi alasan untuk membenci atau menjauhi. Kami pun datang di acara akad nikah di masjid dan kami masih menjalin hubungan yang baik dengan keponakan dan istrinya. Mereka adalah bagian dari keluarga kami.
Nilai-nilai nasionalisme yang ditanamkan dalam keluarga kami, membuat saya bisa hidup dalam perbedaan. Saya berteman dengan siapa saja dari latar belakang yang berbeda-beda. Saya Indonesia dan saya cinta Indonesia. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H