Mohon tunggu...
Yokebet Mega
Yokebet Mega Mohon Tunggu... Guru - Guru dan pembelajar

I am an ordinary person who believes that life is full of miracles. I learn from my life and anything around me then share my experience and views to others.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hidup dengan Endometriosis, Kista, Miom, dan Adenomiosis

24 Oktober 2017   08:28 Diperbarui: 24 Oktober 2017   22:57 22698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Aku menjalani operasi histerektomi (angkat rahim) 16 Juni 2017. Sebagai perempuan single, bukanlah hal mudah memutuskan untuk operasi angkat rahim. Beberapa minggu setelah operasi, aku menulis pengalamanku di media sosial, membaca reaksi teman-teman memotivasiku untuk berbagi dengan lebih banyak orang.

Pada awalnya aku merasa nyeri haid yang aku rasakan adalah sesuatu yang normal seperti yang dialami teman-teman yang lain. Ketika mulai bekerja, nyeri haid, haid berat dan kram perut semakin mengganggu, bahkan hampir setiap bulan ijin tidak masuk kerja. Akhirnya kuberanikan diri periksa ke dokter kandungan di Jogja tahun 2007. 

Betapa deg-degan rasanya waktu pertama kali ke dokter kandungan, duduk di ruang tunggu dengan banyak ibu hamil menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dari hasil pemeriksaan ditemukan kista ovarium dan miom. Saat itu aku merasa takut dan kuatir, ingin rasanya curhat dengan almarhumah mama, yang dulu pernah mengalami kondisi yang hampir sama. 

Bersyukur, kakak-kakak dan teman-teman mendukung dan selalu jadi pendengar setia. Menurut dokter, masih bisa diobati dengan terapi. Aku pun menjalani terapi hormon selama hampir setahun. Tujuan terapi hormon adalah menekan produksi hormon sehingga diharapkan kista dan miom tidak bertambah besar. Setelah berbulan-bulan minum obat dan kontrol ke dokter secara berkala, kista dan miom mengecil dan akhirnya hilang. Lega sekali rasanya.

Sekitar tahun 2013 saat aku bekerja di Surabaya, gejala-gejala gangguan haid kembali terasa, sakitnya semakin hebat dan tidak tertahankan. Setelah bercerita dengan kakak perempuanku, dan atas sarannya aku kembali memeriksakan diri ke dokter. Ternyata kista dan miom tumbuh lagi, bahkan kali ini kista tumbuh di kedua ovarium. 

Dokter melakukan observasi dan melihat apakah kista dan miom bertambah besar atau tidak. Sejak saat itu pain killer atau obat penahan sakit menjadi teman setia, karena tanpa minum obat aku tidak bisa bekerja. Pekerjaanku sebagai guru membutuhkan energi besar ketika di kelas, apalagi sebagian besar muridku anak-anak. Beberapa kali sakitnya tidak tertahankan sampai harus ke Unit Gawat Darurat.

Setelah beberapa bulan kondisiku tidak membaik, akhirnya dokter menyarankan untuk operasi laparoskopi untuk mengambil kista dan miom. Menurut dokter kista yang tumbuh di kedua ovariumku adalah kista endometriosis, jadi ada kemungkinan jaringan endometriosis tumbuh juga di dalam rongga perut, dengan laparoskopi jaringan tersebut bisa dibersihkan. Dokterku saat itu mengatakan kemampuan bedah laparoskopi ginekologi hanya dimiliki oleh beberapa dokter di Indonesia.

Dekat dengan keluarga menjadi sesuatu yang penting saat itu, setelah minta ijin ke atasan aku pun pulang ke Jogja. Aku mengunjungi beberapa dokter kandungan di Jogja untuk meminta pendapat mereka tentang kondisiku. Dari pemeriksaan demi pemeriksaan, ada satu kondisi lagi yang ternyata aku alami, namanya adenomiosis.  Kembali aku galau, nggak tahu harus berbuat apa, operasi pasti biayanya mahal,operasi laparoskopi itu apa, resikonya seperti apa dan begitu banyak pertanyaan yang terlintas.

Pencarian dimulai, aku googling dan bertanya ke teman-teman apa itu endometriosis, kista, miom, adenomiosis dan operasi laparoskopi, demi mengetahui apa yang terjadi dalam tubuhku. Dari berbagai sumber aku menyederhanakan istilah-istilah kedokteran di atas sebagai berikut:

  • Endometriosis: Tumbuhnya jaringan endometrium di luar rahim, misalnya di ovarium, usus halus, usus besar, bahkan bisa tumbuh juga di paru-paru.
  • Kista Ovarium: Kantung yang biasanya berisi cairan yang berkembang dalam indung telur/ovarium, kebanyakan jinak. Salah satu contohnya kista endometriosis. Ukuran kista tidak selalu berkaitan langsung dengan tingkat rasa sakit yang diderita. Ukuran kista kecil, tapi sakitnya bisa jadi luar biasa, sebaliknya kistanya besar tapi mungkin tidak terasa sakit.
  • Mioma Uteri: Tumor jinak pada dinding rahim.
  • Adenomiosis: Kondisi dimana jaringan endometrium tumbuh di dalam lapisan tengah rahim (miometrium). Adenomiosis sering salah didiagnosis sebagai mioma uteri, karena dari hasil USG hampir sama. Bedanya adenomiosis bentuknya tidak beraturan dan batasnya tidak jelas seperti miom.
  • Laparoskopi adalah teknik bedah invasif minimal yang menggunakan alat-alat berdiameter kecil untuk menggantikan tangan dokter melakukan prosedur bedah di dalam rongga perut. Kamera mini digunakan, dokter melakukan pembedahan dengan melihat layar monitor dan mengoperasikan alat-alat tersebut dengan kedua tangannya. Keuntungan teknik laparoskopi antara lain, kerusakan jaringan lebih ringan, nyeri pasca operasi lebih ringan, lama perawatan lebih singkat, resiko infeksi lebih kecil, sisi kosmetik lebih baik karena sayatan yang minimal, serta masa pemulihan yang lebih cepat.

Melihat kondisi saat itu akhirnya diputuskan untuk operasi laparoskopi di Jogja tahun 2014. Puji Tuhan, operasi berjalan lancar, masa pemulihan pun cepat. Satu minggu setelah operasi aku sudah naik motor, minggu ke dua aku sudah kembali ke Surabaya dan bekerja. Setelah operasi ada beberapa tahap terapi yang harus dijalani, injeksi hormon selama beberapa bulan yang mengakibatkan tubuh dalam kondisi menopause sementara. 

Kemudian terapi dilanjutkan dengan minum obat hormon. Sekali lagi aku bersyukur, biaya rumah sakit tercukupi dan harga obat injeksi yang mencapai 1 juta lebih pun bisa terbayar. Kalau dihitung secara logika, aku tidak punya uang sebanyak itu tapi hanya karena pertolongan Tuhan, semua dicukupkan. Dukungan keluarga dan teman-teman juga sangat membantu mempercepat pemulihanku.

Tiga tahun setelah operasi, 'teman' lama datang lagi. Nyeri haid, kram perut dan haid berat kembali jadi teman bulanan. Setelah periksa ke dokter, hasil USG menunjukkan kista dan miom tumbuh untuk kesekian kalinya. Mulai lagi dengan terapi hormon, kali ini aku lebih tenang karena sudah berulang kali mengalami. 

Tiga bulan menjalani terapi tiba-tiba aku megalami pendarahan. Pada awalya aku tidak terlalu kuatir karena hanya flek-flek yang normal selama terapi hormon. Tetapi setelah 2 minggu pendarahan semakin banyak, aku merasa harus berkonsultasi ke dokter. Beliau mengatakan kalau kondisinya seperti ini lebih baik operasi angkat rahim. Ketika dokter bertanya kapan mau operasi, aku tidak siap menjawab saat itu. 

Aku mengatakan akan memikirkan dulu. Aku menemui dokter lain untuk mendapat second opinion. Dokter kedua mengatakan hal yang sama, bahkan beliau mengatakan lebih cepat lebih baik. Kalau tidak operasi, beliau menjelaskan alternatif terapi, tetapi itu tidak menjamin kesembuhan dan di sisi lain aku sudah capek menahan sakit dan mengalami anemia hampir setiap bulan. Aku pulang dengan hati galau, kuatir dan takut, aku menangis di kamar kos. 

Setelah menangis sepuasnya, ada perasaan lega, teringat sudah berapa dokter  kandungan yang aku datangi, berapa kali terapi hormon yang aku jalani, operasi laparoskopi beberapa tahun yang lalu, aku merasa lelah. Dalam waktu singkat aku memutuskan untuk operasi laparoskopi histerektomi total, artinya rahim dan serviks diangkat, dan kedua ovarium juga diambil dengan teknik laparoskopi.

Setelah itu semua seperti sudah diatur, persiapan operasi berjalan dengan lancar. Atasanku di kantor sangat perhatian, keempat kakakku juga mendukung apa pun yang menjadi keputusanku, teman-teman juga siap membantu. Aku merasa mendapat kekuatan yang luar biasa untuk mengambil keputusan yang besar ini, rasa takut dan kuatir yang sempat dirasakan kabur entah kemana.

Aku menjalani operasi histerektomi bulan Juni 2017 di Surabaya. Karena pernah menjalani operasi laparoskopi sebelumnya, dengan percaya diri aku merasa mampu menghadapinya kali ini. Puji Tuhan, operasi berjalan dengan baik, bahkan tidak perlu transfusi. Dua kantong darah yang sudah disiapkan tidak jadi dipakai. Satu hari setelah operasi aku sudah bisa duduk, turun dari tempat tidur dan berjalan pelan-pelan. Dua hari setelah operasi sudah diijinkan pulang dari rumah sakit.

Ternyata setelah itu yang terjadi tidak sama dengan operasi yang dulu. Sebelumnya, tidak ada organ tubuh yang diambil hanya kista dan miom. Sekarang rahim, serviks dan ovarium diambil, ternyata itu berpengaruh besar dalam tubuhku. Rasa lelah setelah beraktivitas ringan sangat terasa. Tubuh mulai mencari-cari hormon yang dulu diproduksi oleh ovarium, membawaku pada gejala menopause. Sebuah resiko yang aku sadari sebelum operasi.

Inilah hidup baru yang harus aku jalani. Di tulisan berikutnya aku akan berbagi cerita bagaimana masa pemulihan dan proses menopause dini. Tunggu kisah selanjutnya ya.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun