Mohon tunggu...
Fajar Nurmanto
Fajar Nurmanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sikap Penting di Era Teknologi Informasi: Skeptisisme 2.0

31 Januari 2016   16:30 Diperbarui: 1 Februari 2016   15:43 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia pemasaran mengalami perubahan total semenjak datangnya era internet. Dulu, perusahaan-perusahaan mensurvei masyarakat secara langsung untuk menemukan insight pemasaran. Survei dalam rangka riset pasar maupun pemasaran ini bisa memakan waktu hingga tiga bulan. Setelah itu, barulah merumuskan iklan, kanal dan program pemasaran, atau komunikasi pemasarannya.

Dulu, orang-orang kebanyakan malas diwawancarai untuk kepentingan riset pasar atau pemasaran. Para periset sampai menyiapkan imbalan tertentu agar bisa mendapatkan data dari responden. Responden juga mengalami proses menimbang, apakah akan menerima tawaran, menjawab sepenuh hati, atau sekedar sekenanya. Mereka berpikir skeptis, karena sadar bahwa jawaban yang diberikan, dapat mengusik kehidupan mereka ke depannya.

Prasangka seperti itu cukup masuk akal. Mengingat salah satu elemen dalam riset seperti itu pasti menanyakan dua buah pertanyaan umum. Pertama, melalui saluran apa sebuah perusahaan bisa mendapatkan perhatianmu agar mempertimbangkan untuk membeli produk mereka. Kedua, bagaimana pola aktivitasmu sehari-hari. Tak heran kalau banyak orang yang skeptis terhadap riset-riset demikian.

Sekarang tren pemasaran berubah. Perusahaan-perusahaan tidak perlu lagi terjun langsung ke lapangan selama puluhan hari. Mereka dapat melakukan riset pasar dan pemasaran dari dalam bilik atau ruangan yang terkoneksi internet. Satu hari pun bisa dirasa cukup untuk mengetahui kondisi masyarakat atau tren yang tengah berkembang.

Perkembangan telepon pintar memiliki andil yang besar dalam kejadian ini. Telepon pintar yang terkoneksi dengan internet, pasti mensyaratkan penggunanya untuk memiliki akun terpadu. Bisa berupa alamat surat elektronik, ataupun akun media sosial. Satu akun terpadu tersebut kemudian dapat digunakan ke berbagai aplikasi yang memiliki kegunaan berbeda-beda.

Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemiliki aplikasi. Data penggunaan aplikasi dan profil pengguna bisa dipakai sebagai modal telaah aktivitas sehari-hari. Dari situ, data tersebut kemudian bisa digunakan untuk menyusun metode penyampaian pesan yang pas pada masyarakat. Metodenya bisa berbagai macam, misalnya pesan penawaran produk, iklan di laman situs yang tengah dibuka, dan berbagai bentuk lainnya.

Pernah saya merasa aneh karena kaget, peramban yang tengah dipakai tiba-tiba memunculkan halaman baru sendiri. Padahal halaman baru itu tidak pernah saya buka atau ketahui sebelumnya. Ternyata halaman-halaman pop-up tersebut menampilkan iklan. Iklan yang ditampilkan juga relevan dengan history dari berbagai macam keyword yang pernah saya gunakan. Oke, ternyata data pola penggunaan media maya saya dipakai sebagai alat pemasaran.

Saya paham ini memang tak semestinya dipermasalahkan. Sama seperti stasiun televisi yang butuh iklan untuk mendanai siaran, demikian juga dengan media-media di internet. Tetapi satu hal yang mengusik adalah gencarnya iklan-iklan tersebut muncul, sehingga membuat seolah-olah internet adalah ruang yang kian sempit. Setiap kita akan membuka sesuatu, ditampilkan iklan-iklan yang memenuhi laman. Apa tidak buneg?

Antisipasinya cukup sederhana sebenarnya. Cukup kita hidupkan lagi skeptisisme yang dulu sudah pernah ada. Mungkin bisa disebut dengan skeptisisme 2.0, dimana kita memblokade diri dari banjir aplikasi di telepon pintar dan membatasi penggunaan pada hal yang sebatas diperlukan. Tak perlulah bangun begadang semalaman hanya untuk menonton hiburan berupa potongan-potongan video di YouTube yang sebenarnya tak berpengaruh untuk hidup kita. Semisal kamu butuh hiburan animasi, ya cukuplah menonton animasi, semacam Gob and Friends, Disney, Pixar Studios, Hebring, dan lain-lain. Mari memakai internet dengan bijak dan skeptis.

 

Ilustrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun