Mohon tunggu...
Fajar Nurmanto
Fajar Nurmanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bom Sarinah dan Responnya: Cerminan Bangsa yang Berani, Nekat, atau Bodoh?

17 Januari 2016   21:32 Diperbarui: 17 Januari 2016   21:32 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

14 Januari 2016, bom meledak di daerah penghasil “emas” Jakarta, Sarinah. Ledakan bom diikuti oleh rentetan peluru dimana polisi beradu tembak. Suasana mencekam, apalagi dengan banyaknya informasi simpang siur yang mengudara. Sosial media memanas, trafik internet menjadi rame seketika. Banyak orang mengakses untuk mencari kabar terbaru, apalagi ada sentilan bahwa pelaku saat itu masih berkeliaran bebas dan menarget tempat lain.

Media sosial riuh sekali sewaktu itu. Kebetulan memang saya yang selalu selo dan online di rumah sepanjang waktu. Hestek-hestek yang seolah menggambarkan keberanian warga Jakarta, meme bapak penjual sate, dan berbagai macam guyonan lain. Sekilas bagi saya yang tak berada di sana, sangat puas terpingkal-pingkal melihat humor-humor itu berseliweran.

Kalaupun hendak menyacat, pastilah ditimpali dengan mudah. “Kamu kan enggak berada di lokasi langsung, enak mau komentar apa-apa. Kita yang di sana berdiri melawan ketakutan dengan berani, lho.”. Perbandingan yang sangat luar biasa mematahkan komentar apapun dan menghentikan percakapan dengan tema tersebut setelahnya.

Keberanian, nekat, dan kebodohan, menurut saya selalu tipis bedanya. Berani pada pandangan saya adalah sikap atau nyali untuk membenarkan segala hal yang melanggar hak asasi kemanusiaan. Contohnya bersuara ketika Freeport menggunakan senjata untuk mendiamkan warga sekitar. Bisa juga minimal menandatangani petisi atas kasus pemukulan terhadap ibu-ibu yang dilakukan militer beberapa waktu silam di pegunungan Kendeng. Padahal mereka hanya menolak pembangunan pabrik semen yang akan merusak ekosistem di sana.

Beda lagi dengan nekat. Nekat adalah sadar ketika tidak mampu, namun memaksakan diri demi gengsi. Semisal jalanan Indonesia yang pendek dan sempit, tapi nekat balapan lamborghini. Padahal mobil Lamborghini itu kalau dipakai balapan di sirkuit Sentul, cc mesinnya masih turah-turah. Akhirnya mobil milyaran itu ringsek, padahal masya Tuhan. Berapa banyak karya kreatif atau UMKM yang bisa dibiayai dengan uang untuk membeli Lamborghini tersebut?

Bodoh adalah mental yang paling banyak kentara di media sosial kita. Hujatan, caci-maki, cumpah cerapah, dan sebagainya sering sekali mondar-mandir dalam linimasa. Simak saja postingan-postingan di media sosial, macam komentar-komentar di facebok, instagram, dan lain-lain. Padahal, bisa jadi yang mereka umpat itu tidak pada tempatnya. Semisal mengumpat PKSPIYUNGAN yang justru melesatkan ranking mereka di Alexa Rank karena trafik situsnya makin tinggi.

Sudah tahu PKSPIYUNGAN itu situs macam apalah, masih dikomentari. Betapa besar sekali energi para netizen Indonesia. Mungkin juga luapan macam itu penting sebagai katarsis dari tekanan hidup sehari-hari yang kian menghimpit, siapa tahu. Penulis tak hendak menghakimi, mengatur, atau mengajak untuk merubah pola tersebut.

Penulis hanya ingin agar masyarakat kita lebih adil bahwa setiap daerah di Indonesia memang memiliki masalahnya masing-masing. Namun tak perlulah berduka cita sampai Paris, ketika di berbagai daerah di negeri Indonesia sendiri, ketidakadilan merajalela. Tak perlulah duka yang telalu dalam ketika satu polisi meninggal di Sarinah, sementara 41 anak-anak generasi penerus bangsa di Papua meninggal karena penyakit dan tak terekspos di media kita.

Kalau anda mau bersimpati di media maya, salah satu saran penulis adalah mencoba cari karya-karya anak negeri di internet. Banyak dari mereka yang berusaha mandiri, mendistribusikan karya-karya tersebut dengan gratis. Harapannya? Tentu saja demi prestasi untuk memajukan bidang yang digelutinya, sekaligus agar diterima oleh saudara satu bangsanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun