Siapa sangka seekor tikus hitam berukuran kecil, bisa digemari jutaan orang. Tentu saja bukan tikus asli yang berkeliaran di selokan atau gedung perwakilan memakan uang rakyat. Tikus yang dimaksud adalah Mickey Mouse, tokoh rekaan dalam animasi buatan Walter Elias Disney, atau yang dikenal luas sebagai Walt Disney.
Walt Disney menjadi industri animasi besar dengan pendapatan tahunan sekitar 35 miliar dolar Amerika. Awalnya Walter menggambar sebagai penyaluran hobi. Ia menjalani berbagai pengalaman seperti menjadi sopir ambulans, ditolak oleh angkatan bersenjata karena belum cukup umur, sampai dibajak perusahaan animasi pertamanya. Karyawannya diambil alih oleh Charles B. Mintz karena Disney menolak diturunkan gajinya di tengah kesuksesan karakter Oswald the Lucky Rabbit.
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa animasi semenjak masa Pak Karno menjadi presiden. Simak Si Doel Memilih, sebuah animasi dua dimensi yang berisi ajakan untuk mengikuti pemilihan umum pertama di Indonesia (karya Dukut Hendronoto). Animasi kemudian banyak diminati karena menjamurnya televisi di Indonesia. Meskipun awal kemunculannya hanya untuk iklan layanan masyarakat, tapi masyarakat mulai menggemarinya.
Awal tahun ’70-an, muncul studio animasi di Jakarta bernama Anima Indah. Kalau tidak salah, pendirinya adalah warga negara Amerika. Ia kemudian merekrut karyawan untuk disekolahkan menjadi animator. Kala itu animasi dipandang sebagai prospek yang menjanjikan sebagai metode baru dalam penyampaian pesan di dunia periklanan.
Berlanjut ke tahun ’80-an yang kian semarak karena animasi mulai dikembangkan dalam format film. Ada beberapa judul sewaktu itu. Seperti “Rimba si Anak Angkasa” oleh Wagiono Sunarto selaku sutradara, animasi serial TV “Si Huma”, dan “PetEra”.
Tahun ’90-an dunia animasi dalam negeri kian ramai. Cek Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang, dan Satria Nusantara. Ada juga animasi serial Hela, Heli, Helo yang dibuat di Surabaya dengan teknik tiga dimensi. Setelah itu, tepatnya pasca ’98, animasi dengan konten cerita rakyat kian menjamur macam Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas, juga Petualangan si Kancil.
Masuk era milenium kedua, perkembangan animasi makin tak bisa dianggap remeh. Banyak studio animasi bermunculan, contohnya Red Rocket Animation, Castle Production, dan lain-lain. Berbagai judul animasi juga bermunculan dengan ciri khas menggabungkan animasi 2D dan 3D.
Film animasi menjadi semakin serius, dimulai dengan masuknya mereka ke layar lebar. Ada Janus Prajurit Terakhir di tahun 2003 dan Homeland yang dirilis pada Mei 2004. Sampai juga pada akhir-akhir ini yang terbaru, Battle of Surabaya yang hak distribusinya telah dilirik Walt Disney.
Hari ini kita mengenal Hebring, Sapa Jarwo, Bilu Mela, Gob and Friends, dan banyak lagi. Sayang tak semuanya tampil di televisi, sehingga tak bisa disaksikan secara mudah. Kebanyakan mencoba indie dengan menampilkan karya mereka di YouTube. Tak apalah, kita bisa lebih bebas mencari cerita yang sesuai selera. Daripada menontn animasi televisi yang penuh sensor irasional?
Kadang ada yang ceritanya dipotong, diburamkan gambarnya, atau film animasi yang diputar hanya itu-itu saja. Itu-itu saja pun lebih memilih produksi animasi dari luar negeri. Padahal film animasi luar negeri punya standar nilai dan moral sendiri. Belum tentu standar nilai dan moral itu bisa langsung diterima dan dipahami penonton televisi di Indonesia.
Kata Tan Malaka, idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Maka banggalah kita pada animator Indonesia yang tetap berkarya di luar televisi lewat jalur indie. Daripada menuruti permintaan televisi, kalian memilih berkreasi dengan cara sendiri. Tak ada hasil manis tanpa peluh keringat terlebih dahulu. Semangat berkarya animator Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H