Mohon tunggu...
Fajar Nurmanto
Fajar Nurmanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berhenti Merayu, Stop Silat Lidahmu dan Mari Ribut dalam Kreasi

10 Januari 2016   22:21 Diperbarui: 11 Januari 2016   15:44 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari kemarin saya sempat undur diri dari pergaulan sejenak. Sengaja menyepi di pinggir jalan dan berusaha terasing di keramaian. Memang serta merta tanpa tujuan, berusaha menapakan akal pada tanah. Bukan tanpa alasan bersikap demikian, karena siangnya juga terantuk oleh sebuah kejadian.

Seperti biasa saya menyelesaikan tanggungan tulisan ringan, ketika dipanggil ibu ke ruang depan. Saya patuhi, begitu di ruang depan ada empat mahasiswa selain relasi saya. Keempatnya dari berbagai kampus berbeda, meminta restu keluarga karena relasi saya dicatut namanya telah mengikuti kegiatan mereka. Awalnya saya pikir itu adalah ajakan liqo atau pengajian kelompok kecil. Maka saya sebelumnya telah menyusun berbagai argumen karena biasanya mereka akan mengajak bergabung.

Jauh lebih parah, ternyata keempatnya adalah anggota MLM dari PT Meli^ SS. Saya yang baru pertama kali dengar, nama tersebut langsung saja tanya, “Kalian itu usahanya ngapain?”. Mereka jawab, “Butuh waktu minimal dua jam untuk menjelaskan usaha kami, Bang.”. Pasrah, saya ingin menolak langsung dengan kasar, namun sungkan di hadapan ibu. Apalagi mereka bilang, relasi saya sudah setuju bergabung.

Ada beberapa hal yang menyesalkan dari kejadian itu. Pertama, relasi saya sudah membayar uang keanggotaan sekitar satu juta rupiah. Kedua, marah karena relasi dekat saya bisa-bisanya termakan promosi MLM macam demikian. Promosi yang selalu ditempeli iming-iming gaya hidup mewah; tabungan ratusan juta, pesawat jet, liburan luar negeri, dan sebagainya.

Dari dulu modus operandi MLM selalu sama; menyasar golongan yang putus asa tidak punya penghasilan, dan mereka yang ingin kaya dalam waktu singkat. Keduanya memiliki kesamaan, tidak memakai logika dan prinsip. Tidak ingin belajar untuk mengembangkan kreativitas serta percaya ada jalan pintas yang mudah untuk lepas dari himpitan ekonomi.

Saya bukan hendak menghujat MLM, toh mereka juga masih bebas berkeliaran di luar sana. akan terlihat pengecut khas masyarakat dunia digital yang mengeluh lewat postingan blog tanpa melakukan perbuatan nyata. Rasa marah dan jengkel ini sebenarnya hanya karena tidak terima lingkaran dekat saya ada yang bisa termakan praktik tersebut.

Ketika para pemodal-pemodal besar mencengkeram perekonomian negara lewat modal di perbankan, masyarakat akar rumput ditawari mimpi-mimpi palsu memabukan.

Saat para pelaku industri kreatif memeras otak untuk mencari ide dan inovasi, pelaku MLM mencibir betapa susahnya pemain industri kreatif cari uang.

Waktu Indonesia harus membangun industri besar dan UMKM-nya agar tangguh menghadapi persaingan global, pelaku MLM malah promosi untuk menyedot uang.

Kala para pemuda yang wegah tunduk pada praktik pincang korporasi berusaha menjadi handal di lahan usaha baru lewat dunia digital, pelaku MLM malah berlatih silat lidah dari rumah ke rumah. Sebagai kontributor konten tulisan, saya merasa sedih. Apalagi untuk para animator yang berjuang keras mempublikasikan karya di YouTube. Tiap 1000 penonton baru bisa mendapatkan satu dolar Amerika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun