Mohon tunggu...
Yois Saputro
Yois Saputro Mohon Tunggu... pegawai negeri -

suka logika sederhana complicatedly simple bike-to-work-er milagroser

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Selalu [Dibuat] Golput

17 Februari 2014   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang sedang booming bulan-bulan ini? Baliho bergambar calon anggota legislatif. Sebenarnya aku berniat membuat tandingan. Aku hendak menampilkan juga fotoku di baliho besar di tepi jalan raya. Tentu saja, teks yang akan tampilkan bukanlah slogan atau status caleg saya, melainkan status saya yang lain: pemilik suara sah.

Sialnya, tampaknya KPU sudah jauh-jauh hari mengantisipasi rencanaku. Sebegitu jauhnya, mereka sudah memulainya 10 tahun lalu.

Pada 2003 dilakukan pendataan untuk pemilu 2004—yang notabene bakal pertama kalinya orang Indonesia memilih secara langsung calon presidennya. Saat pendataan pada 2003 itu, aku masih kos di Klebengan, Jogja. Aku terdaftar untuk memberikan suara TPS sekitar Klebengan. Tapi kemudian aku pindah kos pada pertengahan tahun. Ke Mranggentegal.

Perpindahan calon pemilih seperti itu sudah diakomodasi. Ada peraturan resmi yang mempersilakan calon pemilih untuk melapor ke ketua RT di tempat tinggal barunya, agar hak pilihnya bisa disalurkan di TPS terdekat tempat tinggal barunya. Saat itu, iklan-iklan layanan publik di radio menyebutkan bagi orang macam aku (calon pemilih yang pindah domisili) ada kesempatan untuk melapor ke RT setempat sampai tanggal 25 (bulan apa? Aku lupa). Tapi ketua RT di kos baruku adalah orang yang sangat rajin. Ketika aku datang padanya pada tanggal 23 di bulan itu, ia menolak mencatatkan namaku dalam daftar calon pemilih yang pindah domisili dan TPS. Alasannya, dia sudah mengirimkan daftar itu ke jenjang di atasnya. Mungkin dia penggemar slogan “lebih cepat lebih baik.” Itulah yang membuatku menjadi golput pada pemilu 2004.

Awal 2006 aku sudah pindah domisili lagi. Kali ini di kampung halamanku, Jepara.

Tapi aku tidak diundang oleh KPUD untuk memberikan suaraku pada pemilihan bupati setempat di tahun 2007. TPS di SD sebelah rumah, dan aku tidak diundang. Alasannya, aku tidak terdaftar. Mungkin KPUD sana tidak memperbarui daftar pemilihnya sejak pemilu 2004.

Pemilihan gubernur Jawa Tengah digelar pada semester I tahun 2008. Entah aku terdaftar atau tidak sebagai pemilih, tapi saat itu aku tidak ikut pesta demokrasi se-Jawa Tengah karena sedang bertugas di kawasan Nusa Tenggara.

Entah pada tahun yang sama atau semester pertama 2009, akhirnya ada undangan untuk aku memberikan suara. Kali ini pada pemilihan kepala desa di kampung halamanku. Waktu pencoblosan adalah pukul 07.00 sampai 14.00. Aku sengaja datang di menit-menit terakhir karena memang sedang banyak pekerjaan dan aku tidak mengajukan dispensasi kepada bos/kantor.

Ternyata aku benar-benar sampai di lokasi pada menit terakhir. Aku tahu itu karena selagi aku akan memarkir sepeda motor, si bos menelpon menanyakan sesuatu yang sebenarnya bukan tugasku. Sialnya, si bos ngotot menyuruhku mengingat-ingat. Sekitar tiga menit habis untuk menerima telponnya. Lebih sial lagi, kemudian kudengar via telpon itu juga ada orang lain di dekat si bos menyahuti ucapannya yang ditujukan padaku: dia yang menangani urusan yang ditanyakan oleh si bos. Aku tinggalkan sepeda motor untuk berjalan menuju TPS yang sudah penuh kerumunan orang yang ingin mengikuti jalannya perhitungan suara. Rupanya jam 14:00:00 sudah tercapai ketika aku masih berjarak belasan meter—plus kerumunan orang—dari meja panitia pemungutan suara. Panitia menyatakan ditutupnya waktu pencoblosan, dan menolakku yang terlambat beberapa puluh detik. Well, kuhargai kedisplinan panitia terhadap peraturan yang sudah mereka tetapkan—sambil kumaki bosku yang membuang-buang waktuku tadi.

Jadi, dalam rentang 2004 sampai 2009 itu aku sudah menjadi golput—di luar kemauanku—di semua level: pemilihan presiden, pemilihan legislatif pusat, pemilihan gubernur, pemilihan legislatif provinsi, pemilihan bupati, pemilihan legislatif kabupaten, dan pemilihan kepala desa. Untung saja camat tidak ditentukan melalui mekanisme pemilu.

2014 ini aku melihat stiker dari KPU tertempel di rumah-rumah warga. Pada stiker itu terdapat tulisan yang menunjukkan jumlah calon pemilih yang tinggal di rumah yang tertempeli stiker, berikut nama-nama calon pemilih. Tapi tidak ada stiker itu di rumah yang sudah kutempati sejak 2010 sampai kini. Padahal, di Kalimantan ini aku sudah memiliki KTP dan Kartu Keluarga terbitan pemerintah daerah setempat sejak 2011.

Jadi golput lagi deh ….

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun