Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Hatta
Muhammad Naufal Hatta Mohon Tunggu... Dokter - Naufal

Seorang yang ingin membagikan pelajaran yang didapatnya melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teman Tak Bernyawa

13 November 2019   19:00 Diperbarui: 13 November 2019   19:02 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay.com/id/photos/teman-mitra-sol-pantai-2288329/

Barang-barang berserakan didalam kamarku. Tumpukan kardus berisi barang-barang pribadiku tergeletak diatas kasur. Debu-debu mengotori lantai kamarku. Tepat pada hari ini aku akan pindah ke desa. Alasannya sederhana, orangtua ingin melindungi aku dari kejamnya polusi udara kota. Ini berawal Ketika aku sedang belajar di kamar, tiba-tiba saja dada ku sakit dan spontan langsung pingsan. Bangun-bangun aku merasa berada di rumah sakit. Sejak itu aku merasa tidak enak ketika berada di kota. Pingsan, sesak. Aku merasa berputar-putar diantara kedua kegiatan itu.

Ketika membereskan lemari, aku menyadari ternyata banyak buku tersimpan disana. Buku anak-anak, buku pelajaran, novel, dan eksiklopedia. Aku sudah lupa kalau lemari ini meyimpan semua buku ku. Sejak ibu mengenalkanku ebook, aku lebih suka membaca ebook daripada buku. Alasannya sederhana, praktis karena aku tidak perlu membawa buku yang memberatkan tas lagi. Selain itu, ebook bisa diakses dengan ponsel dan memungkinkan menyimpan banyak ebook. Sehingga aku dapat membaca buku lain ketika bosan dibandingkan harus berat-berat membawa banyak buku.

Setelah memindahkan semua buku, aku merapikan meja belajarku. Disana berceceran kertas-kertas laporan praktikum maupun makalah. Dulu, Aku malas membuang kertas-kertas itu karena banyaknya pekerjaan dan tugas yang membuat ku jarang memakai meja belajar. Ketika aku pulang ke rumah, aku langsung merebahkan badan di kasur karena kelelahan. Begitu seterusnya hingga menumpuk dan membuatku semakin malas membersihkannya.

Aku menemukan barang berharga di meja belajar. Celengan. Berbentuk tabung plastik kecil yang ditempeli stiker culoboyo. Celengan inilah yang menjadi teman baikku dahulu kala. Ibu membelikan celengan itu ketika aku masih kecil. Sebenarnya celengan itu sudah rusak karena aku memaksa mengambil uang didalamnya. Robek di tempat memasukkan uang. Namun, aku memperbaikinya dengan menambal bagian yang rusak tadi.

Celenganku sudah beralih fungsi sejak aku memperbaikinya. Aku menggunakannya untuk menyimpan surat, bukan uang. Ide ini terlintas ketika aku menyadari banyak pemikiran perasaan yang selalu ada di otakku. Aku malu untuk menuliskannya di buku karena takut akan dibaca oleh orang lain. Akhirnya, aku menuliskannya di kertas dan memasukkan ke celengan agar tidak dilihat orang lain.

Teman sehari-hari. Itulah deskripsi singkat tentang celenganku. Bukan berarti aku selalu membawa celengan dimana pun aku pergi, melainkan salau satu benda yang bisa aku jadikan pelampiasan disetiap harinya. Aku berada di lingkungan kota dan inilah yang membuatku memiliki teman sedikit, bahkan hanya teman satu sekolah saja. 

Akibatnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sambil menulis sajak dan cerpen sendirian. Genre yang aku tulis pun bervariasi, tergantung dari mana aku mendapatkan ide. Namun, hanya genre roman saja yang aku masukkan celengan, selebihnya aku ketik dan aku publish di web pribadiku.

Hampir setiap hari aku memasukkan surat ke celenganku. Biasanya aku menulis tiga kalimat. Bahkan, aku bisa menuliskan lima kalimat dan satu puisi dalam sehari. Bergantung pemikiran usil yang lewat dalam pikiranku. Pernah saat Itu aku jalan-jalan menelusuri kota. Disana, aku banyak menemukan ide setelah melihat berbagai aktivitas yang terjadi. Disaat itu pula aku akan menuliskannya karena takut apabila ditunda malah lupa. Entah itu di ponsel atau di buku kecil yang biasa aku bawa.

Kuliah membuatku jarang menulis. Aku lebih banyak menyelesaikan laporan praktikum. Celengan yang selama ini menjadi teman sehari-hari mulai dipenuhi debu. Terkadang ketika aku melihatnya, aku merasa sedang berada di masa lalu. Menulis kata demi kata dan akhirnya dimasukkan ke celengan. Kadang tertawa atau kadang sedih. 

Sekarang, aku hanya bisa mengisi celengan ketika benar-benar tidak ada tugas. Itu pun kalau aku mempunyai ide tentang sendu. Malah kebanyakan aku lebih terpikir tentang kehidupan karena realita universitas yang bergaya formal. Aku akhirnya memutuskan untuk menyimpan celenganku dan aku akan memberikannya pada seseorang kelak.

27 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun