Mohon tunggu...
Joe
Joe Mohon Tunggu... -

Hasrat, kemauan, idealisme, tiang penyanggaku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hak Asasi Manusia; Sensitivitas Publik

9 Juni 2016   12:20 Diperbarui: 3 September 2016   18:41 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by PMKRI Denpasar

(Opini: Yoh. Sandriano N. Hitang)

“Kebenaran ini akan kami genggam, bahwa setiap manusia diciptakan sama, bahwa hak-hak asasi (hidup, kebebasan berbicara-berpendapat, beragama, kebutuhan hidup aman, tentram, dan sejahtera) melekat dalam dirinya,dalam darahnya, dalam martabat dirinya…..”

Hak asasi manusia dalam beberapa dekade terakhir menjadi pilihan topik yang sering diperbincangkan. Adanya kesadaran akan hak-hak dasar yang dimiliki manusia menjadi langkah awal dalam perjuangan menggapai kemerdekaan hak sebagaimana yang disebutkan. Spirit ini kemudian melahirkan tekad juang untuk menjunjung tinggi hak-hak manusia sebagai subyek yang tak terpisahkan dalam realitas hidup. Semangat ini semestinya menjadi komitmen penuh bangsa ini terhadap segala pelanggaran dan penindasan terhadap hak-hak dasar manusia.

Tinjauan Filosofis

Ditinjau dari sisi filosofisnya hak asasi manusia merujuk pada sebuah pandangan bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. Di sisi ini, asasi berarti hak-hak tersebut tertanam dan melekat erat dalam jati diri kita sebagai manusia. Tak peduli apapun suku, agama, ras, jenis kelamin yang dimiliki, setiap manusia dipandang sejajar oleh karena martabat yang sama dan akan terus ada dalam dirinya. Hak asasi manusia ada bukan karena regulasi yang diciptakan manusia. Hak asasi manusia ada karena kita adalah manusia. Hak asasi ada justru karena ke-manusia-an kita.

Zeno, salah satu filsuf Yunani Kuno (300 SM) menegaskan bahwa secara kodrati, hak-hak asasi berasal dari manusia dan bukan pemberian pemerintah. Lebih lanjut, Peter Leuprecht dalam uberlegungen zum internationalen schutz der menschenrechtemenegaskan bahwa hak asasi manusia terdiri dari 3 hal yang saling kait-mengait. Pertama, hak asasi manusia bersifat universal (universalitat). Dalam ciri ini, hak asasi manusia berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali. Kedua, hak asasi manusia tidak dapat dibelah-belah (unteilbarkeit).Dalam hal ini, hak politik tak dapat dipisahkan dari hak ekonomi demikian halnya hak budaya. Semuanya menjadi satu kesatuan yang melindungi manusia dari segala bentuk ketertindasan. Ketiga, hak asasi manusia selalu bersifat sosial yang melintasi batas-batas budaya, agama, ras, dan lain sebagainya. Rasa solidaritas muncul dengan sebuah pemahaman bahwa kita adalah mahluk yang senantiasa saling melindungi satu sama lain seraya mencegah peradaban jatuh ke dalam hukum yang sering disebut-sebut sebagai “hukum rimba.”

Kesadaran Hak Asasi Manusia

Seiring perkembangan dialektika peradaban, perjuangan untuk memerdekakan hak-hak dasar manusia dari segala ketertindasan mulai nampak saat berbenturan dengan pengalaman dan krisis sosial kemasyarakatan.

Di Inggris misalnya, pada abad ke-17 tokoh-tokoh gerakan menegaskan hak-hak asasi warga negaranya untuk hidup dan bertindak bebas. Revolusi Perancis di tahun 1789 sedikit banyak mengisyaratkan pentingnya perjuangan terhadap hak-hak dasar manusia. Belum lagi gerakan-gerakan sosial politik di Amerika Utara dalam memperjuangkan kemerdekaannya dari kolonialis Eropa Barat. Puncak pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia mulai nampak pada abad ke-20 saat kekejian, kekerasan dalam perang dunia seolah menjadi tontonan menarik. PBB, melalui Declaration of Human Rights membuka mata dunia untuk bangkit, memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Di titik ini, dunia sadar ada sesuatu yang lebih berharga daripada “kekuasaan”, ada sesuatu yang lebih bernilai dan itu tak lain ialah penghargaan sedalam-dalamnya akan hakikat manusia.

Potret Indonesia; Sensitivitas Publik

Dalam konteks ke-Indonesia-an, semenjak reformasi 1998, hak asasi manusia tak lagi sekedar himbauan etis. Hak asasi manusia tak lagi sekedar seruan-seruan profetis. Komitmen bangsa ini pada hak asasi manusia dikukuhkan sebagaimana termaktub di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998. Komitmen ini mendapatkan basis legal konstitusional setelah amandemen kedua UUD 1945. Keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjadikan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional bagi setiap warga negara. Kondisi ini mengarahkan bangsa Indonesia untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai fondasi, sekaligus prinsip dan nilai, yang tak-boleh dikesampingkan.

Menyoal kejadian-kejadian yang marak dijumpai saat ini, agaknya memberikan perhatian lebih pada hak asasi manusia, menjadi sebuah tuntutan peran yang tak dapat di elak. Sensitifitas publik kian tak terbendung melihat maraknya pelanggaran hak asasi manusia dewasa ini. Sebuah tanda tanya besar bahwasanya hak konstitusional sebagaimana dimaksud, kerap tak diindahkan oleh Negara dalam praktiknya. Praktik pelanggaran hak asasi manusia dalam pelbagai bentuknya seolah berkeliaran tak terkendali bahkan cenderung sistematis. Ibarat bola salju yang menggelinding, pelanggaran hak asasi manusia semakin hari semakin membuncah bahkan tak dapat dibendung.

Menelisik data yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, tertanggal 1 April sampai dengan 28 April 2016, Komnas HAM melalui Subbagian Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan telah menerima berkas pengaduan dengan jumlah 606 berkas. Di antara jumlah berkas yang diadukan terdapat 249 pengaduan hak atas kesejahteraan, 217 pengaduan hak atas keadilan, 66 pengaduan hak atas rasa aman, dan beberapa klasifikasi pengaduan hak lainnya. Belum lagi pengaduan-pengaduan hak yang dilakukan sebelumnya. Kondisi ini menghantarkan kita pada sebuah keprihatinan yang layak untuk dikaji, dibedah, sebagai acuan pemaknaan sedalam-dalamnya terhadap hak asasi manusia. Keprihatinan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, mesti menjadi kesadaran kolektif bahwa perjuangan hak asasi manusia mesti diperjuangkan dalam setiap dimensi kehidupan jika tak mau moral bangsa ini, kian hari kian menipis.

Peran Publik dalam Penegakan HAM

Hak asasi manusia ada untuk melindungi kebebasan manusia sebagai warga Negara. Plato, Aristoteles menekankan bahwa eksistensi sebuah Negara bukan ditujukan pada Negara itu sendiri, melainkan untuk manusia demi tercapainya kebutuhan hidup aman, tenteram, dan sejahtera. Praktik pemajuan HAM tidak semata-mata murni inisiatif Negara sekalipun Negara punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM warganya. Jika pada masa lalu inisiatif negara ini dilahirkan terutama oleh tekanan komunitas internasional, saat ini berangsur-angsur dipicu oleh desakan public domestic. Itu berarti kesadaran publik mulai muncul di saat bersamaan publik punya tanggung jawab juga meretas persoalan HAM yang marak terjadi. Pertanyaanya adalah, apa susungguhnya peran kita dalam konteks pemajuan hak asasi manusia?

Hemat saya, hal yang dapat dilakukan oleh publik adalah, pertama, membangkitkan sensitivitas terhadap persoalan HAM dan ditujukan bagi partisipasi yang sebesar-besarnya dalam perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Kedua,mengupas kembali peran pemerintah dalam konteks penegakan HAM di Indonesia. Negara melalui pemerintah semestinya tidak hanya membentuk peraturan perundang-undangan tentang HAM. Tidak juga dengan hanya membentuk kelembagaan HAM di Indonesia. Pemerintah seyogyanya membangun upaya preventif (pencegahan) melalui program-program pemerintah yang mengarah pada pendidikan karakter dan moral bangsa. Semangatnya tidak hanya sekedar menjalankan program seperti yang telah dilakukan tetapi lebih kepada mendorong pembentukan karakter dan moral bangsa. Ketiga, turut serta berpartisipasi aktif baik dalam bentuk usulan terhadap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia maupun dengan menyebarluaskan informasi mengenai hak asasi manusia pada berbagai lapisan masyarakat.

Demikian kita diajak untuk turutserta menegakan HAM sebagai pilihan sikap perjuangan demi bangsa yang lebih baik. Sebab, “ Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.” (Romo Mangunwijaya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun