Mohon tunggu...
Yohanes Prayogo
Yohanes Prayogo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Warga negara Indonesia yang ingin terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar di Rahim Dapur Ibu

19 November 2020   08:26 Diperbarui: 19 November 2020   08:32 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Ch. Minari. "Ch" merupakan singkatan dari "Christina", nama baptis yang biasa disematkan seorang Katolik. Ia hanya lulusan SMP. Tahun ini, usianya 73 tahun.

Selama 45, ia menemani suaminya yang wafat pada 2014 lalu, saat usianya 74 tahun. Suaminya seorang purnawirawan Polri. Ikatan perkawinan mereka membuahkan empat orang anak, dua perempuan dan dua laki-laki.

Sebelum suaminya purna karya dari dinas Kepolisian, ia seorang perempuan yang aktif dalam organisasi para istri Polisi, Bhayangkari. Dari kegiatan itu pula, ia menjadi mahir memasak, walaupun hanya masakan rumahan.

Selain di Bhayangkari, ia juga aktif di organisasi Wanita Katolik RI. Ia pernah dipercaya sebagai pengurus uang organisasi tersebut.

Namun, semenjak suaminya purna karya dari dinas Kepolisian, ia mesti memutar cara untuk membantu keuangan keluarga. Apalagi, kala itu anak-anaknya masih membutuhkan banyak biaya, terutama untuk melanjutkan pendidikan.

Selepas purna karya, suaminya bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah instansi pemerintahan. Penghasilan seorang pensiunan Polisi dan penjaga keamanan tentu tak cukup, apalagi tiga anaknya masih menempuhkan pendidikan formal.

Kemahirannya memasak makanan ala rumahan pun dimanfaatkan. Bersama seorang rekannya, ia mulai menerima pesanan katering untuk aneka acara. Mula-mula, pesanan berasal dari kenalan, tetangga, dan kerabat.

Pesanan katering mulai mengalir. Hampir setiap minggu, selalu ada pesanan. Mulai dari arisan keluarga, khitanan, syukuran, ulang tahun, sampai acara pernikahan.

Pesanan semakin mengalir tatkala menjelang hari raya Idul Fitri. Tak hanya santapan untuk berbuka puasa, pesanan aneka kudapan khas Idul Fitri juga membanjir.

Pun jika Natal tiba. Pesanan aneka kudapan khas Natal juga mengalir. Satu pekan menjelang Natal, sehari-hari dia selalu berpeluh di dapur.

Pagi bertemu pagi lagi, ia selalu berada di dapur. Seakan tak ada waktu untuk memejamkan mata sejenak. Seolah tak ada jeda untuk membaringkan badan. Suaminya pun selalu membantu. Jika pesanan membludak, seluruh anggota keluarganya berjibaku di dapur.

Bisnis itu dijalankannya secara sederhana, tak ada manajemen yang rumit. Pemasaran pun hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Mafhum, kala itu belum ada media sosial atau platform jual beli online seperti sekarang. Ia juga tak fasih bicara soal manajemen bisnis kuliner.

Semua dilakukannya dengan sederhana. Pesanan diterima, makanan diolah lalu diantar sesuai jadwal, lantas dibayar. Meskipun kecil, bisnis itu lumayan membantu perjalanan moda ekonomi keluarganya.

Di sela mengelola bisnis kecil ini, ia masih meluangkan waktu untuk aktif berkegiatan di RT, RW, dan Posyandu. Mungkin, inilah caranya untuk "melebarkan sayap" bisnisnya. Dan memang benar, dari relasi berkegiatan ini, pesanan lumayan mengalir.

Bisnis ini terus berjalan, tanpa ada perubahan cara mengelolanya. Semua dijalankan secara sederhana.

Hingga suatu saat, bisnis ini harus berhenti, lantaran tak ada lagi yang bisa membantunya berjibaku di dapur. Anak-anaknya mulai berpencar. Ada yang melanjutkan pendidikan di luar kota. Ada yang mendapat pekerjaan di luar pulau.

Praktis, hanya seorang anak dan suaminya yang bisa membantu di dapur. Raganya juga kian menua. Encok mulai dirasa di sana-sini. Dan akhirnya, bisnis ini benar-benar harus berhenti.

Kini, ia menikmati masa senjanya di rumah. Tetapi, ia masih memasak di dapur, paling tidak untuk dinikmati cucu dan anaknya.

Dia memang tumbuh dan hidup di dapur. Dapur, baginya bukanlah tempat yang kotor dan "terbelakang". Lantaran, dari sanalah mengalir aneka makanan yang menghidupkan. Dari dapurlah, ia menghidupi keluarganya.

Di dapur itu pula, aku semakin mengenalnya. Ialah perempuan pertama yang kukenal dan kusapa "Ibu". Dari rahimnya aku tumbuh. Rahimnya bagaikan dapur, tempat aku belajar rupa-rupa hal. Belajar mengolah aneka bahan menjadi sesuatu. Belajar berkarya dengan penuh keugaharian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun