[caption id="attachment_375854" align="aligncenter" width="300" caption="Gereja Santa Chatarina dengan latar belakang Masjid Diponegoro (foto: y.prayogo)"][/caption]
PAGI baru merayap. Sekitar seribu umat Katolik telah berhimpun di muka Gereja Santa Chatarina yang berada di dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pria perempuan, tua muda, anak-anak orang tua, berkumpul untuk merayakan Misa Minggu Palma. Di tangan mereka tergenggam daun palma atau palem. Tak lama kemudian, mereka melakukan perarakan. Mereka berkeliling mengitari Masjid Diponegoro, melewati depan Klenteng Kong Miao, melalui Pura Hindu Dharma (Pura Penataran Agung Kertha Bumi), dan mengelilingi Wihara Arya Dwipa Arama.
Perarakan Minggu Palma berjalan lancar. “Kalau di Taman Mini sih, tidak ada halangan. Setiap Minggu Palma, kami pasti mengadakan perarakan seperti ini. tidak pernah ada masalah,” ujar seorang umat.
Sementara, di samping Gereja Santa Chatarina, umat Kristen Protestan juga sedang mengelar kebaktian. Mereka pun merasa tak terganggu dengan perarakan yang dilakukan umat Katolik.
Usai perarakan, umat Katolik kembali khusyuk beribadah di dalam gereja. Sejurus kemudian, rombongan umat Hindu mengadakan ritual perarakan melewati jalan di muka Gereja Santa Chatarina. Perarakan berjalan lancar, ibadah di dalam gereja pun tak terganggu.
Tak lama kemudian, adzan duhur berkumandang. Umat Islam berduyun memenuhi Masjid Diponegoro yang berdampingan dengan Gereja Santa Chatarina.
[caption id="attachment_375855" align="aligncenter" width="300" caption="Enam tempat ibadah di Taman Mini (foto: y.prayogo)"]
Tak selalu indah
Bisa jadi, hal tersebut hanya terjadi di Taman Mini Indonesia Indah. Tak ada halangan bagi siapapun untuk menjalankan ibadah. Kebebasan beribadah dijamin seratus persen, sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Tempat peribadatan pun berdiri berdampingan, tanpa ada persoalan berarti.
Sementara, di luar Taman Mini, kehidupan dan hubungan antarumat beragama tak selalu indah. Banyak peristiwa mencederai kebhinekaan agama di negeri ini. Pada akhir tahun lalu, Direktur The Wahid Institute, Zannubah Arifah Chafsof Wahid atau yang kerap disapa Yenny Wahid melaporkan bahwa ada penurunan jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada 2013, menurut sigi lembaga ini, ditemukan 245 kasus, sementara pada 2014 terdapat 154 kasus.
Kecenderungan serupa juga diungkapkan Setara Institute. Setara Institute mencatat, selama 2013 terdapat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan pada 2014, peristiwa pelanggaran menurun menjadi 121 kasus.
Data berbeda disajikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI. Lembaga ini menunjukkan peningkatan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2014. Pada 2013, Komnas HAM menerima laporan pelanggaran sebanyak 39 berkas pelaporan. Sedangkan pada 2014 berkas pelaporan yang diterima Komnas HAM sebanyak 67 berkas.
Data-data tersebut menyajikan dinamika kehidupan umat beragama di Indonesia yang masih diwarnai dengan kasus-kasus intoleransi. Hal ini juga menunjukkan, masih banyak warga negeri ini yang belum dimampukan menerima “yang lain” sebagai satu saudara sebangsa.
[caption id="attachment_375856" align="aligncenter" width="300" caption="Mari belajar kebhinekaan di Taman Mini. (foto: y.prayogo)"]
Taman keberagaman
Di sinilah peran penting Taman Mini Indonesia Indah sebagai wahana tempat pembelajaran bagi warga bangsa ini. Taman Mini bukan saja menjadi tempat wisata dan hiburan, tapi ia menjadi sarana belajar tentang hidup berdampingan secara damai dengan “yang lain”. Maka, ia pun disebut sebagai taman. Taman yang menyediakan diri bagi aneka tanaman dan beragam bunga untuk tumbuh berdampingan, tanpa saling mengganggu.
Di taman itu ada Masjid Diponegoro yang dibangun pada 1973. Masjid berkubah keemasan ini diresmikan Presiden Soeharto. Di samping masjid, tumbuh Gereja Santa Chatarina. Tempat ibadah umat Katolik ini dibangun bersamaan dengan Masjid Diponegoro. Bangunan seluas 2860 meter persegi ini pernah disinggahi pemimpin tertinggi umat Katolik sejagat, Paus Yohanes Paulus II.
Di taman yang sama, berdiri Gereja Haleluya. Gereja yang dihiasi menara lonceng dengan puncak simbol ayam jantan ini menjadi tempat ibadah jemaat GPIB dan jemaat Advent. Tak jauh dari Gereja Haleluya, berdiri Pura Hindu Dharma, tempat sembayang umat Hindu. Sementara, di samping Pura Hindu Dharma terdapat Wihara Arya Dwipa Arama, tempat berdoa umat Buddha. Tempat ibadah yang terakhir kali dibangun di taman ini adalah Klenteng Kong Miao. Tempat ibadah umat Konghucu ini mulai dibangun pada 2009.
[caption id="attachment_375857" align="aligncenter" width="300" caption="(foto:y.prayogo)"]
Ya, taman ini menjadi indah. Aneka bunga bermekaran. Tak ada peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di taman ini. Taman ini menjadi taman keberagaman. Setiap perbedaan dihargai dan dijunjung tinggi. Perbedaan justru menjadi senjata utama untuk semakin bersatu, bukan untuk bercerai-berai.
Datanglah ke taman ini! Taman ini memang kecil, maka ia disebut mini. Di taman ini ada berwarna-warni perbedaan, maka ia disebut indah. Dan, taman ini menghadirkan kebhinekaan negeri ini, maka ia disebut Indonesia. Marilah mereguk dan menyemai keindahan hidup bersama dalam perbedaan di taman yang mini, yang indah, dan yang Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H