Kebanyakan orang tua selalu berpesan begini kepada anaknya, "Nak, rajin-rajin belajar, perhatiin guru yang menjelaskan, biar dapat nilai bagus!"
Kata yang dicetak tebal itu memang sederhana. Pesan yang disampaikan orang tua kepada anak memang mempunyai tujuan yang positif. Namun, siapa sangka pesan itu menjadi sugesti yang berakibat negatif pada pola pikir anak. Mengapa?
Sekarang, segala sesuatu diukur dengan nilai. Barangsiapa yang mendapat nilai bagus, maka dia adalah orang yang pintar. Menurut pengamatan saya, 90% murid sekolah berpendapat bahwa nilai yang bagus adalah jaminan untuk masa depan. Kita bisa melihat realitas bahwa murid dengan nilai UN tinggi bisa masuk ke sekolah favorit atau mendapatkan beasiswa. Pendapat yang seperti ini pula yang kemudian membuat banyak siswa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus tersebut. Salah satu trik yang sangat umum adalah MENCONTEK.
Jadi, kita tidak usah heran dengan berita-berita mencontek massal yang sering diberitakan setiap musim UN. Jangan heran pula ketika ada seorang ibu yang didemo oleh tetangganya gara-gara dia melaporkan kasus mencontek massal di sekolahnya. Tidak usah heran juga dengan berita seorang anak SMA yang gantung diri gara-gara tidak lulus UN. Semua itu sebenarnya berawal dari pesan sederhana yang tercantum di awal tulisan ini.
Terkadang, nilai juga berlaku tidak adil kepada banyak orang. Ketika pengumuman kelulusan saya waktu SMP, saya menjagokan beberapa teman saya yang memang pintar dalam bidang akademik untuk mendapatkan peringkat 10 besar UN tertinggi di sekolah. Ternyata perkiraan saya meleset. Dari 10 siswa yang menjadi 10 besar, 5 di antaranya adalah siswa yang sama sekali tidak dijagokan. Orang-orang boleh berpikiran positif kalau dia belajar lebih rajin atau beribadah lebih giat. Nyatanya orang-orang itu malah membanggakan diri bahwa mereka dapat nilai tinggi dengan mengandalkan kunci jawaban UN yang disebarkan pihak-pihak lain. Salah seorang teman yang saya jagokan menangis ketika itu, dia bilang, "Gue udah jujur, kenapa gue malah ngga mendapat nilai setinggi itu? Dengan nilai gini doang gue ga bisa masuk SMA itu. Tau gini gue juga lihat kunci!"
Baru-baru ini saya juga mengalaminya. Menjelang ulangan biologi, saya belajar habis-habisan karena kemampuan saya dalam biologi memang sangat kurang. Namun, saya hanya berhasil mendapatkan nilai 70. Tetapi, betapa terkejutnya saya ketika guru saya mengumumkan nilai biologi teman-teman saya. Banyak di antara mereka yang berhasil mendapatkan nilai 100, padahal mereka bahkan tidak terlalu memperhatikan materi yang diajarkan guru. Akhirnya saya tahu kalau mereka mendapatkan bocoran soal dari anak kelas lain yang sudah ulangan.
Sungguh miris melihat kenyataan ini. Sekolah yang seharusnya menjadi ajang untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya malah menjadi ajang untuk menyia-nyiakan uang orang tua. Pikiran murid yang ingin pergi sekolah sekarang bukannya untuk mendapat ilmu, tetapi untuk mendapat nilai tinggi.
Karena itulah, saya, yang masih duduk di bangku sekolah, ingin menyampaikan kepada Bapak/Ibu guru sekalian untuk lebih memperdalam esensi "Bagaimana cara menerapkan ilmu yang disampaikan agar ilmu itu tidak sia-sia?" bukan malah menyampaikan "Bagaimana cara kamu belajar untuk mendapatkan nilai 100?". Nilai memang salah satu cara untuk mengukur kemampuan, tetapi jangan terlalu dijadikan beban dan tujuan utama untuk para siswa.
Kutipan-kutipan favorit saya:
“I failed in some subjects in exam, but my friend passed in all. Now he is an engineer in Microsoft and I am the owner of Microsoft.”
“I studied every thing but never topped.... But today the toppers of the best universities are my employees”
― Bill Gates
(source: http://www.goodreads.com/author/quotes/23470.Bill_Gates)
Bill Gates, salah satu orang tersukses di dunia saja pernah tidak lulus ujian. Namun, dia bisa menjadi orang sukses. Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa nilai bukanlah tolak ukur utama kemampuan siswa. Sukses tidaknya seseorang tergantung pada seberapa banyak dia mengamalkan dan menerapkan ilmu yang telah dia dapat.
Maka dari itu, saya juga ingin mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai "Keutamaan Ilmu Dibandingkan Harta"
1.ilmu adalah warisan para nabi dan rasul,sedangkan harta adalah warisan fir'aun dan qarun
2.ilmu akan menjaga kita,sedangkan harta sebaliknya, kitalah yang harus menjaganya
3.semakin banyak ilmu semakin banyak orang yang menyayangi dan menghormatinya.sedangkan semakin banyak harta,semakin banyak musuh dan orang yang iri kepadanya
4.ilmu jika diamalkan malah akan semakin bertambah,sedangkan harta jika digunakan akan semakin bekurang
5.pemilik ilmu akan dihormati dan mendapat sebutan baik,sedangkan pemilik harta seringkali dicemooh dan mendapat julukan yang buruk
6.ilmu tidak ada pencurinya sedangkan harta banyak pencurinya
7.pemilik ilmu akan diberi syafaat (pertolongan) dihari akhir kelak,sedangkan pemilik harta akan dihisab diusut asal muasal hartanya oleh allah swt
8.ilmu akan kekal selamanya,sedangkan harta akan habis suatu saat nanti
9.pemilik ilmu akan dijunjung tinggi dengan kualitas manusianya,sedangkan pemilik harta akan dijunjung tinggi dengan kualitas hartanya
10.ilmu itu akan menyinari pemiliknya,sehingga hatinya menjadi lembut.sedangkan harta akan membuat gelap mata pemiliknya,hati menjadi keras dan hidup tidak tentram
Ternyata ilmu lebih penting dari yang kita bayangkan. Jadi, marilah kita memperbarui niat kita, teman-teman kita, maupun anak-anak kita agar kita mencari ilmu demi kemajuan bangsa, bukan demi mendapat nilai bagus untuk diri sendiri.
Pesan Mama kepadaku, "Belajar yang rajin, ya! Biar Mama bisa melihatmu di TV sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!"
^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H